Suara detak jarum jam masih terdengar. Mata ini sungguh berat rasanya untuk aku buka, kuraba leherku sangat panas, kepalaku juga pening. Mungkin karena tadi pagi aku kehujanan. Jam menunjukkan pukul 2 siang, nampaknya hujan di luar sana masih deras. Teringat Rama lagi, segera aku raih ponselku di meja. “Kenapa harus lowbat, sih? Ada-ada aja!” Sungutku kesal, aku bangun dari tempat tidur namun mama tiba-tiba saja masuk memberitahuku bahwa Rama datang menjengukku. “Hah? Serius, ma?”
Rama langsung melambaikan tangan dari balik badan mama. Entah ini sugesti atau apa aku tidak mengerti. Rasa sakit di kepalaku langsung hilang, darimana dia tahu aku sakit? “Tuh, dia demam. Tadi pagi nggak jadi ke sekolah, hujan-hujanan dia.” Rama tertawa kecil mendengar penjelasan mama. Aku hanya diam, masih bingung dengan keadaan ini. Mama bilang akan pergi ke toko sebentar untuk check keadaan di sana sekaligus membayar telepon rumah. Kini hanya ada aku dan Rama di rumah ini. Aku langsung kembali ke tempat tidur, menyandarkan tubuhku dan menarik selimut. Ia masih terlihat cuek denganku.
“Tahu dari mana aku sakit?” “Penting yah kamu nanya itu? Lagipula yang harusnya nanya tuh aku, kenapa kamu bisa kayak gini? Sakit nggak ada kabar, otomatis di absen alpha tadi sama guru.” “Ya gimana mau izin? Tadi pagi hujan, aku terlambat datang ke sekolah, udah gitu..” “Udah gitu apa? Punya handphone tuh digunakan yang benar!” Rusuhnya terhadapku, sikapnya yang ke bapak-an keluar lagi. rambutnya yang basah kuyup meneteskan air yang membasahi bedcover kesayanganku. “Duh, itu rambut keringin dulu kenapa? Airnya netes ke mana-mana tuh.” Rama hanya tersenyum dan malah mengacak-acak rambutnya yang basah. Cipratan airnya mengenai wajahku. “Ihhh Raram jangan gitu, dong. Muka aku basah, nih.” Dia tertawa keras, aku berinisiatif bangun dari tempat tidur melangkah ke lemari pakaianku untuk mengambil handuk kering. “Ehhh buat apaan, tuh?” Aku tidak mempedulikan pertanyaannya. Aku langsung duduk dan menggosok-gosok kepalanya dengan handuk. “Ishhh, apaan nih? Udah sih biarin aja. Handuknya warna pink, emang gue cowok apaan?” “Bisa diam, gak? Kamu bisa sakit gara-gara ini. buktinya aku, nih. Kurang dari 12 jam setelah hujan-hujanan tadi pagi, sekarang aku kena demam. Sudah kamu diam!” Dia menuruti kata-kataku untuk tidak berisik. Semakin lama aku menggosok kepalanya yang basah, ia malah menatap wajahku. Ia menghentikan pergerakkan tanganku, tanganku di cengkeramnya. Kami mulai saling berpandangan satu sama lain, cukup lama. “Rani..” Aku menunduk dan segera bangun dari tempat tidurku. Berbasa-basi untuk menawarinya sup dan teh manis hangat untuk dia santap di waktu hujan ini. Sial, perasaan apa ini?
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, cukup bagiku hari ini bisa bertemu dengan Rama. Aku masih tidak percaya dan tidak sadar bahwa aku bisa bertemu, mengobrol, bercanda dengannya hari ini. Padahal setelah kejadian di parkiran mall waktu itu, aku berpikir dia tidak mau lagi berbicara denganku.
“Raram, sebelum kamu pulang aku mau tanya sesuatu. Boleh?” “Tergantung, mau tanya apa dulu?” Aku berlari kecil menghampirinya dan tersenyum. “Nggak usah lari-lari, dan nggak usah senyum. Lagi sakit juga masih aja bisa begitu. Mau nanya apa, non? “Mau tanya 3 hal.” “Tunggu, 3 hal? Gue berasa jadi jin-nya Aladdin.” “Ihhhh itu kan 3 permintaan, sedangkan gue kan 3 pertanyaan. Itu beda, tau!” “Ya udah cepetan tanya, keburu hujan turun lagi.” Aku tertawa karena ucapannya. “Ehh tapi untuk sekarang 1 pertanyaan dulu aja, deh. 2 lagi nanti.” “Bawel!” gerutunya. “Pertanyaan pertama, kamu tahu darimana aku sakit?” “Dari Fadhil.” Aku mengerutkan kening. Fadhil? Waktu itu bukankah dia bilang kalau dia sedang tidak berbicara dengan Rama? “Kok dari Fadhil? Bukannya…” “Stop! Jangan tanya lagi. 1 pertanyaan doang, kan? Udah yahh, gue mau pulang. Bye!” “Ehh, nggak jadi. Sekarang aku tanya semuanya!” Ia menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Kembali menghampiriku sambil tersenyum. “Gitu, dong. Silahkan nona manis. Gerangan apa yang ingin kau tanyakan pada Romeo?” “Hahahaha, apaan sih kamu? Aku serius, nih. Pertanyaan kedua, kenapa kamu bisa tahu kalau aku sakit dari kak Fadhil?” “Tadi pagi aku sms dia, nanya kemana kamu nggak sekolah hari ini, terus dia jawab, dia jelasin, blaa.. blaa.. blaa, yaa gitu deh.” Ucapnya dengan gaya yang membuatku sangat muak.
“Ok, last question.” “Ssstt.. pertanyaan terakhir, boleh nggak aku yang tanya?” Ia menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Atmosfer ini, terulang setelah kejadian tadi aku mengeringkan rambutnya. Perasaan apa ini? Ia langsung meraih kedua tanganku. “Rani.. kamu sadar, nggak? Kalau selama ini,” Ia mulai terbata-bata dengan pertanyaannya. Aku makin tidak mengerti dengannya kali ini. Tuhan, apa yang akan terjadi?
“Rani..” Aku membalasnya dengan tegas. Dia semakin tidak terkendali, baru kali ini aku melihatnya gugup di depanku. Biasanya tidak. “Rani, aku.. aku, aa.. aku. Aku mencintaimu. Jadilah teman hidupku.” Aku masih tidak percaya dengan apa yang dia katakan padaku. Apa yang harus aku jawab? Mengapa baru kali ini ia mengucapkannya? Tuhan, apa yang harus aku jawab? Langsung saja aku jawab dengan apa adanya. Maafkan aku, Rama.
“Ke… kenapa kamu baru ungkapin itu sekarang?” “Maksudnya?” Aku melepaskan genggaman tangannya. Sekarang aku yang mulai terbata-bata menjelaskannya. “Aku.. aku, aku nggak bisa terima kamu. Aku udah milik orang lain, ram. Aku sama kak Fadhil sekarang, dan aku nggak bisa terima kamu.” “Hahha, kamu pasti bercanda? Nggak, nggak mungkin!” Ucapnya sambil memelas, raut wajahnya kecewa berat. Aku bingung harus menjelaskan apa lagi padanya.
“Rama… dengar aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya.” Ia tidak mempedulikanku, rama langsung berjalan meninggalkanku dan semakin pula ia mempercepat langkahnya. Tubuhku yang lemas karena demam tidak bisa mengejarnya. Aku menghentikan langkahku, emosiku memuncak. “Kamu ke mana aja selama ini? Kenapa baru bilang sekarang, kamu bodoh!” Ia menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku. Nampak air mata mengalir di pipinya yang tirus. Aku menyusulnya, kakiku sempat sakit saat berlari menghampirinya. Di hadapannya aku menangis sejadi-jadinya. Ia menunduk, mengalihkan pandangannya kearah lain. Dada ini sangat sesak dibuatnya. Bodoh, pria bodoh! gerutuku dalam hati. Apa selama ini ia tidak sadar aku menyayanginya?
“Rama, aku sakit nahan ini semua. Kamu hadir disaat yang tepat. Waktu itu, kamu bawa aku ke dermaga. Kamu freak, kamu bertingkah layaknya orang bodoh! Tapi setelah kamu terbangkan lampion-lampion itu, kamu berhasil buat aku jadi manusia paling bahagia! lampion-lampion beterbangan degan indahnya. Warna-warni lampion kala senja di dermaga dan ilalang yang tumbuh. Entah perasaan itu langung hadir. Maafkan aku, rama. Aku juga nggak berani ungkapin ini. Aku pikir kamu akan peka, tapi nyatanya malah jadi seperti ini.” Ia memegang pipiku, ia ingin menahan tangisnya namun gagal. Air matanya tumpah tak tertahankan. Seakan-akan ia perih menahannya.
“Kamu nggak tahu gimana sakitnya aku saat kamu sering berdua dengan Fadhil? Itu buat aku sakit. Untuk menghilangkan sakit, aku menjauh dari kamu. Tapi salah, aku makin sakit saat aku jauh dari kamu. Dan sekarang, kamu sudah jadi miliknya. Kamu nggak tahu gimana sayangnya aku sama kamu, Rani? Fadhil juga, hahahah. Dia, dia penghianat!! Arrgghhh!” Aku menepis tangannya dari kedua pipiku. “Itu dia masalahnya, Rama. Aku benar-benar nggak tahu. Dan kamu nggak pernah mau coba untuk nyatain ke aku. Aku bingung dengan sifat kamu. Pantas saja orang-orang bilang kamu itu freak! Satu lagi, atas dasar apa kamu bilang dia itu penghianat?”
Wajah Rama memerah, emosinya mulai meluap. Ia berlalu meninggalkanku yang terkulai lemas. Hujan mulai turun lagi, tetesannya makin deras. Kami berseteru di bawah hujan senja itu. Rama tidak tahu lagi harus berkata apa. “Kamu mau tahu kenapa aku bilang itu? Haha! Rani… Rani, dia itu sahabat aku. Tapi sahabat macam apa yang menusuk sahabatnya sendiri dari belakang, hah? Jawab!” Ucapnya menggertak ke telingaku. Emosinya makin meluap, aku bingung ingin berbicara apa lagi, yang bisa aku lakukan hanya menangis. jadi selama ini mereka bersahabat, tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? aku sudah menjadi milik Fadhil.
“Maafkan aku Rama, aku benar-benar nggak tahu.” “Maaf hahaha, dengar. Aku ibarat piring yang sudah kamu banting lalu pecah. Setelah itu kamu bilang minta maaf, apa piring itu bakalan balik lagi seperti semula?” Aku diam sambil terisak tangis
“JAWAB RANI!” “AKU MINTA MAAF RAMA!” Ucapku yang tak mau kalah menggertak, ia berlari meninggalkanku. Nyala kilat juga di susul dengan suara petir yang menyambar. Aku bersimpuh di aspal yang basah, menyaksikan ia yang pergi meninggalkanku. Makin jauh ia berjalan, tubuhnya makin hilang dari penglihatan. Rama…
—
Akhir Desember, tepat di malam pergantian tahun aku berdiri di dermaga ini bersamanya. Dan teruntuk kamu yang pernah mencintaiku, aku merindukanmu. Aku berhenti menangisimu, tapi aku memohon juga padamu, jangan biarkan rindu ini menjadi perih di rongga dadaku. Akankah engkau nantinya akan kembali, atau di lain waktu mungkin? Entahlah. Di manapun kamu berada sekarang, tolong ingatlah selalu diriku. Maafkan kesalahanku padamu.
The End
Cerpen Karangan: Fina Septiani Blog / Facebook: finaseptiani50.blogspot.co.id / Fina Septiani
Nama lengkap : Fina Septiani Nama Pena : Helena Vector Alamat : Jl. Gunung Karang No. 24 Pandegang Banten Status : Mahasiswi, Universitas Esa Unggul, Jakarta Hobi : Menggambar, menulis, fotografi, membaca buku, travelling.