Langit senja yang terus memancarkan sinar lembutnya yang anggun. Sedikit menenangkan hatiku yang kacau. Di teras, sambil menunggu Elbert menjemput, aku menyusun kata untuk memutuskan hubnganku dengannya. Karena aku merasa kita tidak cocok. Dia orangnya kasar, terlalu cuek. Sangat bertolak belakang denganku. Kalau kata Amrita dan Jenny, aku dan Elbert serasi. Saling melengkapi. Tapi tidak bagiku. Apapun kata mereka, aku tetap merasa tidak cocok dengan Elbert.
“Laurel…” Panggil seseorang yang aku yakin itu Elbert. Ternyata memang Elbert. Elbert menghampiriku. “Hei…” Sahutku melambai kecil. Aku beranjak mendekati Elbert. “Kita berangkat sekarang?” Tanya Elbert memastikan. Aku mengangguk. Elbert pun menuntunku ke mobilnya. Sesampainya di cafe yang dituju, kita langsung mencari meja dan memesan menu.
Sebelum pesanan datang, aku langsung memulai topik. “Elbert…” panggilku pelan. “Hmm…” Sahut Elbert cuek. Tanpa menoleh dari hp-nya. “Aku mau ngomong.” Lanjutku yang sedikit canggung. “Ya, ngomong sudah.” Elbert langsung mengantongi hp-nya, dan memusatkan perhatiannya padaku. “Mau ngomong apa?” “Aku minta hubungan kita sampai disini.” Kataku berusaha tidak canggung. Elbert terlihat terkejut, beberapa saat kemudian dia melunak. Lalu dia tertawa. “Ha… ha… omonganmu nggak masuk akal, Rel. Apa ada yang salah denganmu?” Jawab Elbert sambil menyentuh keningku dengan punggung tangannya. Buru-buru kutepis. “Ini serius Elbert.” Ucapku tegas. “Tapi, apa alasannya?” Tanya Elbert, membentak. “Aku merasa tidak ada kecocokan di antara kita, kamu terlalu cuek, terlalu kasar dengan hubungan kita. Aku sudah nggak kuat, Elbert.” Balasku yang juga membentak.
Plakk… Seperti yang kuduga, ini pasti terjadi. Aku tidak membalas, hanya meringis menahan sakit. “Yang benar saja, Laurel. Alasanmu itu benar-benar tidak logis.” Maki Elbert sambil menunjuk-nunjukku yang masih berusaha tegar menatapnya.
Bugh… Satu pukulan melayang ke rahang Elbert, cukup membuat limbung. Elbert mencari asal pukulan itu. Hampir ia membalas jika saja tidak ada pelayan-pelayan yang menahannya. Aku kenal orang ini. Aku tau dia. David. Tiba-tiba David menarik tanganku. “Ayo, aku antar.” Aku hanya menurut.
“Bukannya sudah aku peringatkan. Dia bukan orang baik, dan nggak baik untuk kamu. Kumohon, kamu mengerti” Kata David sambil mengendarai motor. “Sebenarnya aku mengerti, Vid. Tapi aku masih trauma dengan kejadian tadi.” “Kamu tau kan? Aku sudah lama menunggumu. Aku mohon kamu mengerti perasaanku yang selalu menunggumu, merindukanmu. Aku mohon kamu mengerti, Laurel.” Ungkap David terdengar tulus.
Tadi, kebetulan ada David yang menolongku. Karena David bekerja sebagai pelayan di cafe tersebut. David memang sudah lama mengejarku. Tapi, tertahan karena aku masih bersama Elbert. “Maaf, tapi aku masih trauma dengan semua ini. Aku minta waktu.” Jawabku. Sesampainya di depan pagar rumahku, David mencium keningku. “Aku akan menunggu sampai kamu tenang, dan bisa menerima aku.” Ujarnya lembut. Aku senang diperlakukan lembut seperti ini. Aku mengangguk. David pun pamit pulang
‘Ya Allah, berikan aku yang terbaik, Ya Allah. Aamin.”
END
Cerpen Karangan: Lailatul Camalia Facebook: Layl Vanquisher