Lira duduk diam memandangi tumpukan buku yang tertata rapi di emperan gedung peninggalan Belanda itu. Dari buku pelajaran sampai majalah bekas luar negeri yang selalu terlihat menarik di matanya. Ia selalu menyukai tempat itu. Tempat dimana ia bisa membaca dengan santai, membaui lembaran kertas yang telah dimakan usia, dan memborong banyak bacaan dengan harga yang sesuai dengan isi dompetnya. Dan di tempat itu pula, dulu, ia bertemu seseorang yang dikasihinya. Namun Lira segera membuang jauh-jauh semua ingatan tentangnya. Ia tak ingin angannya terpenjara. Gadis berambut model shaggy itu pun segera membuka-buka salah satu majalah edisi kadaluarsa yang tetap menarik untuk dibaca. Di antara embusan angin sore yang menyibakkan helai helai rambutnya perlahan. Di bawah bayang bayang pohon yang terkadang menjauh karena kelelahan. Terkadang ditatapnya wajah-wajah ingin tahu yang tetap setia di tempatnya ketika apa yang mereka inginkan belum tergapai. Beralih ke wajah-wajah puas dengan tentengan di tangan.
Setiap kali ia melangkahkan kakinya ke tempat itu, ia selalu teringat akan seseorang. Ingat akan masa masa dimana dunia hanyalah seputaran “aku dan dia”. Masa dimana tangannya selalu berada dalam genggaman hangat seseorang yang dikasihi dan mengasihinya. Masa dimana ia merasakan desir-desir halus yang berkelana di dalam lorong-lorong hatinya yang terdalam. Namun kini semuanya telah hilang. Seseorang yang selalu ditemuinya di tempat ini telah pergi meninggalkannya. Tanpa pesan, tanpa kata kata. Lenyap ditelan tanda tanya.
“Sudah sore, pulang yuk.” Seorang pemuda berjongkok di samping Lira. Backpacknya terlihat mengembung karena sarat dengan buku dan majalah yang baru saja ia beli. Lira mengalihkan pandangannya ke arah pemuda berkulit sawo matang itu, lalu mengangguk. Diraihnya tas plastik berisi majalah yang baru saja ia beli, lalu mengibaskan debu yang menempel di celana jeansnya dan beranjak. Lira membiarkan tangannya di genggam oleh pemuda itu ketika meniti satu persatu anak tangga jembatan penyeberangan yang melintas di atas sebuah jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Pemuda yang selama dua bulan ini selalu ada untuknya. Pemuda yang datang tiba-tiba tanpa diminta di antara rasa perih hati yang terkoyak. Pemuda yang sekilas nampak mirip dengannya. Dia muncul tiba tiba di sana, menyentuh komik Tintin yang sama. Lira menatap matanya yang ramah, sementara senyum rikuh terlihat menghiasi bibir pemuda yang wajahnya terlihat sedikit pucat itu.
“Kamu dulu.” pemuda itu menjauhkan tangannya dari komik yang di tulis oleh seorang Belgia bernama Herge. “Kamu aja dulu.” Lira melakukan hal yang sama dengan pemuda itu. Mereka tersenyum dan akhirnya mulai bicara satu sama lain.
Setiap kali Lira mengunjungi tempat itu ia selalu menemukannya di sana. Duduk bersila dengan sebuah buku atau majalah yang mengangga di pangkuannya. Pemuda itu bernama Ren. Ren yang selalu mengingatkan Lira kepada Rhi. Lira tidak tahu apakah ini kasih sayang atau hukuman dari Tuhan yang telah mengirimkan sosok yang sekilas mirip dengan pemuda yang masih mengisi hatinya itu hingga kini.
Lira sibuk memilih dan memilah majalah di hadapannya ketika wangi parfum yang sangat familiar menyentuh hidungnya lembut. “Hai, sudah lama?” Ren duduk di samping Lira. “Belum, pulang kuliah?” Pertanyaan basa-basi yang selalu dilancarkan Lira bila bertemu dengan Ren. Ren menggeleng. “Dari rumah sakit.” “Siapa yang sakit?” Lira menatap wajah pucat itu. “Kamu?” Ren terlihat terkejut mendengar pertanyaan Lira. “Errr… gak ada. Lagi pula kalau aku sakit, mana mungkin aku ada di sini, iya kan?” Ren terdengar gugup. “Lantas?” “Ya, medical check up aja kok.” Ren berkata pelan, sambil sibuk membolak-balik majalah yang ia ambil sembarangan. “Sendirian?” Lira seakan belum puas bertanya, ia melayangkan pandangannya ke setiap sudut tempat itu. “Kan cuma chek up, ya sendiri lah,” “Sudah ya, gak usah dibahas.” Ren tersenyum menafikan dahi Lira yang berkerut.
Matahari perlahan mulai merangkak menuju ke peraduannya, berkas cahayanya menimpa wajah Ren dan Lira yang berjalan pelan di trotoar di bawah naungan pepohonan akasia yang berdiri kokoh. Ren menyentuh lengan Lira lembut. “Ra, kamu tahu, ibarat mentari sore yang bersinar lembut di antara ranting dan dedaunan itu, cahayamu menyelusup ke dalam celah-celah hatiku. Menghangatkan seluruh rongga jiwaku dan menyinari kegelapanku.” Ren tersenyum tipis, jengah dengan kata-katanya sendiri. Lira terdiam, ia tahu kemana arah pembicaraan ini berujung. Ren adalah pemuda yang baik namun Ren bukanlah Rhi. Dan sampai detik ini, perasaannya akan Rhi masih terbungkus rapat di dalam hatinya yang terdalam. “Ra, aku akan merasa bahagia bila kamu mempunyai rasa yang sama dengan ku. Apakah kamu bersedia untuk terus memancarkan sinarmu untuk ku?” “Aku… ” Ren menatap Lira lembut. “Kamu tidak perlu tergesa menjawab pertanyaanku.”
Hari ini seperti biasa mereka bertemu kembali di tempat itu. Dan Ren tidak sedikit pun menyinggung tentang pertanyaan yang ia ajukan kemarin. Kali ini Ren terlihat tidak sehat di mata Lira. “Ren, kamu sakit ya?” Ren menggeleng, “Cuma masuk angin, sedikit.” “Kamu seharusnya tidak di sini, nanti masuk angin kamu jadi banyak lagi.” Ren tertawa kecil. “Gak apa-apa, asalkan bisa bertemu dengan kamu.” Lira menatap Ren khawatir. “Pulang yuk.” Lira meraih lengan Ren. “Tapi aku kan baru datang.” Protes Ren. “Kan masih ada esok.” “Ya, semoga saja.” Ren berdiri, namun tak lama tubuhnya sempoyongan, lalu roboh seketika. Ren pingsan. Lira berteriak histeris, ia panik, orang-orang pun mulai berkerumun. “Maaf, dia kakak saya, barang kali ada yang bisa bantu saya membawanya ke parkiran di sebelah sana?” Lira seakan bermimpi, di sampingnya kini bersimpuh seseorang yang telah lama pergi darinya. Lira menatap sosok itu dengan rasa tak percaya. Seakan tahu dengan apa yang ada di pikiran Lira, Pemuda itu pun berkata dengan tergesa. “Aku tidak akan menjawab semua pertanyaan kamu sekarang Ra, temani aku ke rumah sakit.” Dengan hati yang tak keruan, Lira pun mengikuti apa yang dikatakan pemuda bernama Rhindra itu.
—
“Akhirnya kamu memang harus tahu, maafkan aku.” Rhi berkata lirih. “Kamu jahat.” Lira berbisik. “Aku memang jahat, tapi bukankah akan lebih jahat bila aku mematikan harapan seseorang sementara akulah satu-satunya yang bisa memberi nyawa kepada harapan itu?” “Kamu tega mempermainkan aku.” Suara Lira mulai bergetar menahan tangis. “Kak Ren sekarat Ra. Dan dia sudah ada dalam titik tidak ingin melakukan apa-apa lagi, termasuk operasi yang dapat menolong jiwanya,” “Sampai suatu hari dia melihat kamu.” Rhi menatap Lira dari ujung matanya. “Kamu lah yang membuat semangatnya kembali membuncah, dia seakan memiliki energi baru. Dia berubah pikiran dalam sekejap, dia ingin hidup, dia mau melakukan operasi itu. Dan aku sangat bersyukur sekali dengan keputusannya Walaupun di sisi lain hatiku tercerabik.” “Mengapa kamu tidak menceritakannya semua ini kepadaku? Mengapa kamu pergi begitu saja. Hati kamu itu terbuat dari apa? Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku?” Rhi menunduk dalam. “Apa yang kamu rasakan, aku rasakan juga Ra, bahkan mungkin lebih pedih dari yang kamu rasakan. Kamu tahu, aku selalu melihat kamu di luar sana. Bicara, tersenyum dan tertawa. Terkadang aku ingin melompat keluar untuk menemui kamu, namun itu tidak mungkin.” “Kamu memata-matai aku?” “Aku harus menjaga kakak.” “Mengapa kamu melakukan ini semua? Pergi secara tiba-tiba. Aku tidak tahu harus mencarimu di mana.” Lira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Aku harus melakukan ini Ra. Tak ada jalan lain. Aku pikir akan lebih mudah melupakan bila aku lenyap dari pandanganmu, biarlah aku saja yang merasa tersiksa. Kak Ren menyayangi kamu Ra. Kamulah cahaya dalam hidupnya.” “Dengar ya Rhi, aku bukan cahaya atau apalah itu. Aku juga bukan boneka yang bisa kamu permainkan sesuka hatimu. Aku bersimpati kepada Ren, tapi aku merasa ini semua tidak benar.” Lira merasa dadanya sesak. Sementara Rhi bergeming. “Lusa kak Ren akan menjalani operasi. Aku tidak akan meminta apa-apa lagi dari kamu Ra, karena aku tidak pantas untuk itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kakak membutuhkanmu untuk ada di sisinya saat ia berjuang demi kehidupan yang dulu ingin ia tinggalkan. Aku menyayangi kamu Ra tapi aku juga menyayangi kak Ren. Seperti kamu, dia selalu ada untukku.”
Malam itu, air mata Lira menerjang bagaikan air bah yang tak sanggup untuk dikendalikan. “Ini tidak adil.” Lira bergumam di antara isak tangisnya. Tempat tidurnya berubah menjadi kolam air mata. Ruangan itu dipenuhi dengan nuansa hitam, orang-orang berbisik-bisik pelan dengan wajah muram. Lira terlihat kebingungan. Ia berlari menghampiri sosok yang terbujur kaku diantara wangi bunga melati yang menusuk hidung tak relanya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu seakan ingin membangunkannya, namun sosok itu bergeming. Semua ini nyata, tak akan ada lagi dia yang selalu melindunginya, mendengarkan curhatnya, mengantarkan ke mana pun pergi, dan memberi limpahan kasih sayang yang tulus. Lira menjerit, meraung dan menangis sejadi-jadinya. Nafasnya terengah ketika ia membuka matanya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, dan akhirnya menemukan yang ia cari. Lira memeluk erat sosok yang terlihat terkejut itu seakan tak ingin melepaskannya. “Kak Kei, jangan pernah pergi meninggalkanku ya.” “Ya ampun Ra, kakak kan harus pergi ke Kantor, masa gak boleh. Kalau mau curhat putus cinta nanti malam aja ya. Kompres es mata sembab kamu itu.” Perempuan bernama Keisha itu tersenyum dan mencium pipi adik bungsunya. Lira meraba matanya yang bengkak, ia merasa lega bahwa kakak yang ia kasihi masih ada untuknya.
Aroma khas rumah sakit yang tidak disukai Lira bermain-main di hidungnya seakan enggan pergi. Dari balik pintu, ia memandangi wajah pucat yang tengah berbaring di ranjangnya. Rhi menyentuh lengan Lira lembut. “Aku kira kamu tidak ingin menemui kami lagi. Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Lira menatap Rhi. “Aku ingin melihat orang yang aku kasihi bahagia. Karena kehilangan seseorang yang selama ini ada di sekeliling kita itu rasanya sangat pedih. Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan Rhi, tapi aku tahu apa yang aku rasakan.” Lira melangkah masuk dan disambut oleh dua orang sosok ramah nan bersahaja yang tengah menemani Ren. Demi melihat Lira, senyum Ren pun mengembang. “Sebenarnya aku tidak ingin kamu melihat aku dalam keadaan seperti ini.” Ren berkata lirih, wajah pucatnya bersemu merah. “Keadaan seperti apa? Di mataku kamu baik-baik saja dan akan selalu begitu.” Lira tersenyum. “Berjuanglah untuk kesembuhanmu Ren, jangan pernah mengecewakan orang-orang yang menyayangimu. Aku akan ada di sini, menemanimu dalam setiap helaan nafas perjuanganmu, perjuangan kita.” Lira menggenggam tangan Ren. Sementara itu di balik pintu, seseorang menatap nanar ke arah mereka berdua, tak kuasa menahan bulir air mata yang muncul tiba-tiba.
Cerpen Karangan: Ika Septi Facebook: Ika Septi