Dulu… Aku mencintaimu dengan segenggam harap. Menyayangimu dengan penuh hasrat. Menjagamu dalam beyang gelap. Saat ku di dekatmu hati memaksaku untuk bisu. Membisu, memandang wajah yang terlihat jelas di hadapku. Setiap bertemu denganmu hatiku bagai bersemi di musim kelabu. Senyummu melekat erat dalam pikiranku. Tawamu terngiang jelas menjelajahi telingaku.
Kini… Hatiku tergores api luka tanpamu. Air mata terurai di wajahku. Kesedihan datang menyelimutiku. Ku tenggelam dalam pedihnya pilu. Seakan dunia menjauh dariku. Ku hanya bisa terdiam kaku. Melihat bahagia berbalut sendu. Aku bagai daun kering yang jatuh tanpa sebab. Apabila daun itu terinjak akan berbunyi, Kreeekkk… Hancur berantakan. Itulah hatiku sekarang.
Beberapa pekan lalu… Di SMA Surya Ilmu, sekolahku dan dia… Seperti biasa aku akan pulang sekolah bersamanya. Dengan setia aku menunggu di depan kelasku. Karena kelas kita berbeda, jadi aku harus menunggunya. Lama sekali, batang hidungnya tidak nampak juga. Terpaksa, tanpa membuang waktu kutelusuri lorong mencarinya.
Kutemukan ia. Akan tetapi ia sedang berbicara dengan gadis yang pernah kukenal. Kuperhatikan mereka. Sepertinya sedang membicarakan hal yang serius. “Rena, gimana kabar kamu?” “Baik! Kamu?” “Baik juga. Oh ya aku mau ngomong sesuatu nih” “Ngomong masalah apa?” “Kita!” “Maksudnya kita apa ya To?” “Sebenernya sejak kelas 11, aku udah suka sama kamu. Dan sebelum terlambat aku harus ungkapin perasaan aku ke kamu” “Ito!K amu serius?” “Iya. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” “Hah! Tapi bagaimana dengan Fena?” “Aku sama Fena cuma temen biasa, nggak lebih dari itu!”
Seketika hatiku runtuh tak terkira. Remuk, berterbangan bersama angin raya.
“Bener? Kamu yakin?” “Yakin. Aku cinta sama kamu, Ren” Sesaat… “Em… aku juga cinta sama kamu, To” “Thanks! Ren!”
Rena hanya tersenyum membalasnya. Entah mengapa kepalaku pusing dan terasa berat. Mataku gelap dan semakin gelap. Sepertinya aku tak kuat mempertahankan tubuhku sendiri. Setelah itu aku tak tau apa yang terjadi.
Ku membuka mata perlahan. Terlihat cahaya putih seperti lampu pijar. “Fena! Akhirnya kamu sadar juga. Tadi kamu pingsan di lorong sekolah” ucap Rena, saudaraku. “Kamu, Rena! Padahal kamu tadi sama Ito, sempet-sempetnya kamu liat aku” “Kamu kok ngomong gitu, Fen?” “Oo…, kamu maunya kalo aku ngomong kamu abis ditembak Ito, trus kamu nerimanya! Dan status kalian sekarang pacaran!” “Bukan gitu maksud aku Fen!” “Halah! Kamu cuma bisa drama di depan aku. Sekarang pergi dari kamar aku!” “Fen, bisa aku jelasin. Fena!” “Pergi… sekarang!” bentakku.
Tiba-tiba… “Fena, kamu jangan marah sama Rena. Yang sebaiknya kamu marahin itu aku!” “Ito…!” lirih Rena. “Kamu! Ngapain kamu ke sini. Kamu itu gimana sih, baru ditinggal Rena sebentar udah kangen” “Fena! Maafin aku!” pinta Rena. “Udahlah Ren, pergi sekarang!!!” “Fena, kamu jangan kasar gitu sama Rena!” kata Ito. “Pergi semua. Semua jahat! Pergi!!!” “Kalian keluar dulu ya! Fena lagi emosi!” saran mamaku yang juga mama Rena yang tiba-tiba datang.
Sekarang… Aku sudah baikan dengan Rena. Tapi aku tidak mau bicara dengannya. Sama sekali tak mau. Meski aku sudah ikhlas Rena dengan Ito, tapi rasa sakit ini tak terkalahkan akan keikhlasanku. Aku bukan dendam, tapi aku ingin Rena dan Ito merasakan rasa sakitku. Terkhianati oleh cinta. Hancur karena rasa sayang. Diabaikan oleh kesempatan. Ditinggalkan dengan penuh tangisan.
Untukmu Ito, aku setia menunggumu tapi kau malah meninggalkanku. Aku tersenyum kapadamu tapi kau buang kesempatan itu. Aku di sini menjagamu tapi kau malah menjauh dariku. Membuangku jauh-jauh dari pikiranmu. Hatiku tak memberi maaf untukmu. Dan aku tak menganggap kau pernah ada dalam hidupku. Dan jangan pernah berharap aku pernah mencintaimu. Untukmu Rena, kamu memang saudaraku. Kamu sahabat terbaikku. Kamu segalanya untukku. Tapi kamu malah menyakitiku. Kamu buat hatiku tak berdaya. Terpenjara dalam sedihnya gundah gulana. Aku masih menganggapmu saudara. Tapi jangan pernah berharap aku berkata seperti itu dengan mulutku. Jangan pernah berharap aku menyayangimu sepenuh hatiku. Dan jangan berharap pula aku pernah berkorban untukmu. Ku hanya ingin sendiri, meratapi nasib ini.
Terdiam kaku terbelenggu tangisan api. Yang semakin memanas di dalam hati ini. Tak berdaya. Tak kuasa. Takdir memang tak pernah disangka.
Cerpen Karangan: Binti Lestari Blog / Facebook: Lestari Jiyong