Malam ini kami duduk berdampingan, tetapi sepatah kata pun tidak keluar dari mulut kami. Seolah bibir-bibir kami sudah enggan bergerak. Jari-jari kami asyik menekan-nekan layar handphone masing-masing. Otak kami mengembara, keluar dari tempurungnya. Hanya sesekali Pras menghela napas panjang sembari mengelepuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya yang mancung. Diam-diam mata kananku melirik ke arahnya. Aku menyelidiki apa kira-kira yang ditulis Pras? Apa dia masih berhubungan dengan wanita itu? Wanita yang pernah mengaku sebagai kekasih Pras beberapa bulan lalu saat handphone Pras tertinggal di meja tamu rumah kami.
Begitulah hubungan kami kini. Aku selalu mencurigai dering HP Pras dan Pras pun demikian. Dia selalu menanyakan siapa yang menelepon? Siapa yang SMS? WA dari siapa? Ah, aku muak dengan keadaan ini. Aku seperti terpidana di mata Pras, dan aku pun memandang Pras sebagai residivis. Pras seolah tidak pernah jera untuk melakukan kesalahan yang sama setiap tahunnya.
Dalam setahun pasti ada saja bulan ketika Pras merasa dirinya jatuh cinta dengan wanita selain aku. Pras juga mungkin menaruh curiga yang besar terhadapku setelah dia melihat gambar hati di chat-chatanku. Awalnya aku sakit hati dengan Pras yang selalu berbuat curang di belakangku. Disaat aku kehilangan arah itulah sosok Mas Is hadir mewarnai hidupku yang selama ini hanya hitam-putih.
“Harus kita akhiri, Mas.” Agak gemetar suaraku ketika Mas Is meneleponku dua minggu yang lalu. “Loh, kok gitu? Kenapa?” Mas Is terkejut dengan perkataanku dan kudengar sedikit isaknya tertahan di tenggorokan. “Aku takut suamiku tahu, Mas.” “Biar saja, biar suamimu tahu dan dia melepaskanmu untukku.” “Kamu yakin akan hidup bersamaku dan bertanggung jawab atas hidupku, Mas?”
Tidak ada jawaban dari Mas Is. Suasana malam itu terasa tambah hening dan angin malam makin menusuk-nusuk dadaku. “Baik, sudahlah!” HP kumatikan dan aku menutupi wajahku dengan bantal. Terasa sarung bantalku yang membasah mendinginkan mataku, dan lama-kelamaan aku pun terpejam.
Paginya kulihat Pras telah tertidur di sampingku. Mata yang masih samar menangkap seraut wajah Pras yang menghadap ke arahku. Aku teliti wajahnya. Apa yang membuatku dulu memutuskan menikah dengannya? Pras andai kau tahu hanya kamu lelaki yang sudi menikahiku, mungkin kamu akan semakin berulah?
“Sudah malam, yuk kita masuk!” Pras menarik pantatnya dari kursi dan berjalan, sedangkan jemarinya masih sibuk di layar HP-nya. Aku hanya bisa menghirup udara dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Pras, kamu tidak pernah berubah. Mas Is, teganya kamu.
Cerpen Karangan: Iis Nia Daniar Blog: Senjajinggamemerah.blog.co.id Iis Nia Daniar, penulis adalah guru honor di salah satu SMP Kota Bekasi yang karya-karya hanya baru beberapa numpang lewat di beberapa media cetak dan on line.Pengalaman menulisnya baru seumur jagung.