Seminggu yang lalu “Rena! Di sini!” Aku berbalik ke arah suara itu. Hari ini, aku berjanji untuk menemui sahabat lamaku, Varrel, di kafe miliknya. Begitu aku melihatnya, aku segera melambaikan tangan dan berjalan ke arahnya.
“Sorry telat, tadi macet banget,” kataku seraya duduk di seberangnya. Varrel tersenyum tipis. “Ga apa-apa. sekarang kan weekend.” “Jadi, kenapa hari ini kamu seret aku ke sini?” Tanyaku. Dia tertawa renyah. “Kamu kan ke sini secara sukarela, bukan aku yang seret kamu,” dia berdeham. “Aku mau minta tolong. Kamu kerja di perusahaan penerbit kan?” Aku mengangguk. “Nah, novel terbaru aku sudah hampir selesai, tapi aku terlalu sibuk untuk mengirimkannya. Jadi, bisa tolong kamu yang serahkan langsung ke editorku?”
Yah, sobatku ini memang luar biasa. Dia mendirikan kafe bersama adik kembarnya, Verril, yang kini sangat populer di kalangan para remaja. Dan di sela-sela kesibukannya, dia menulis novel fantasi yang bulan lalu menjadi best-selling di kota ini. Bukan hanya cerdas, Varrel juga amat sangat baik hati. Contohnya terlalu banyak untuk kusebutkan, tapi yang pasti, hanya akulah yang tahu akan semua kebaikannya. Ditambah lagi, dia adalah blasteran Inggris dari ayahnya. Jadi tidak heran kalau dia menjadi idola kaum Hawa.
“Tentu, nanti kamu kirimkan saja naskahnya ke emailku,” jawabku dengan senang hati. “Eh, memangnya kamu punya editor?” Dia tertawa lagi. “Sekarang aku punya, yaitu kamu. Kamu mau kan jadi editorku?” “Yah, boleh saja,” ujarku. Setelah itu, kami mengobrol panjang lebar. Maklum, sudah sebulan ini kami nyaris putus kontak. Aku sibuk dengan pekerjaanku sebagai translator dan dia sibuk dengan urusan kafenya. Di tengah-tengah pembicaraan kami tentang masa kecil kami yang dipenuhi hal-hal konyol, ponselku berdering. Pacarku rupanya.
“Halo?” “Ren, kamu keasyikan nostalgia ya? Aku udah tunggu di depan sejak 20 menit yang lalu lho…” Aku menengok ke pintu kaca kafe itu. Benar saja, pacarku, Alvin, sudah menungguku. “Sorry, sebentar lagi aku keluar kok.” “Oke.” Aku segera mematikan ponselku dan menoleh kepada Varrel. Tunggu, hanya bayanganku atau tadi dia kelihatan kesal?
“Pacarmu ya?” Tanyanya seraya tersenyum. Yah, pasti tadi hanya bayanganku saja. Aku mengangguk. “Dia udah di depan. Hari ini kami akan pergi ke festival di alun-alun.” “Wah, habis ini aku juga mau ke sana, hanya untuk mengantar Verril sih. Katanya dia ingin ikut lomba balap sepeda.”
Yep, berbeda dengan kakak kembarnya yang kalem, Verril adalah anak yang aktif dan agak pecicilan. Tapi dia juga menyenangkan untuk diajak bermain saat kami masih SD dulu.
“Kalau begitu aku duluan ya. Nanti kamu ikut aku dan Alvin saja. Kalian sudah lama tidak bertemu kan?” Ajakku. “Iya, tepatnya 5 bulan 20 hari,” ujarnya seraya tersenyum geli. “Oke, sampai ketemu nanti.” Aku melambaikan tangan padanya dan segera berlari ke luar. Alvin sudah berada di dalam mobilnya. Aku duduk di sebelah Alvin yang segera melajukan mobil itu.
“Seru reuninya?” Tanyanya dengan senyum maklum. “Seru. Nanti dia juga mau ke festival untuk mengantar Verril.”
“Emm… Ren, sejujurnya aku merasa ada yang salah dengan anak itu.” Aku menoleh padanya. “Maksud kamu?” “Sulit untuk menjelaskannya. Yang pasti, aku sarankan jangan terlalu dekat dengannya dulu, untuk sementara waktu,” ujarnya pelan, takut membuatku tersinggung. “Iya, aku mengerti, kok. Instingmu kan nyaris selalu benar,” sahutku.
Dan Alvin memang benar. Andai saja seminggu yang lalu aku benar-benar menuruti kata-katanya untuk tidak terlalu dekat dengan Varrel. Kini, aku mengerti apa yang Alvin rasakan seminggu yang lalu. Instingnya mengatakan bahwa Varrel adalah seorang psikopat, dan dia sedang mengincarku.
Kini semua penyesalanku sia-sia. Alvin, pacarku yang sudah hampir menjadi tunanganku tewas terbunuh tepat di hari pertunangan kami.
Kejadiannya dimulai dari saat Alvin akan memasangkan cincin di jariku. Saat itu, aku bahagia sekali. Alvin adalah temanku sejak SMP. Dulu, kami adalah musuh bebuyutan. Tak ada hari tanpa saling melontarkan ejekan bagi kami. Tapi, menjelang akhir SMA, dia menjadi sahabat baikku. Tepatnya karena kami terjebak di gudang dan saat itu sekolah kami sedang terbakar akibat kecerobohan salah satu anggota laboratorium. Kami bersama-sama mencari jalan keluar dan saling membantu. Berkat itulah, kami dapat menyelamatkan diri. Sejak saat itu, kami bersahabat baik, hingga akhirnya, saat aku selesai kuliah di London dan pulang ke Indonesia, Alvin memintaku menjadi pacarnya. Tentu saja aku menerimanya, karena aku sudah tahu betul sifatnya. 10 bulan setelah itu, dia dan keluarganya datang ke rumahku dan melamarku. Aku dan keluargaku setuju, hingga akhirnya terjadilah pertunangan ini. Aku tak pernah menyangka, hari ini aku akan kehilangan pacarku dan sahabat masa kecilku.
Kini di hadapanku, Varrel yang biasanya selalu tersenyum ramah, menyeringai liar padaku. Aku telah terpojok, dan aku masih terpukul dengan kematian Alvin.
“Kenapa…?” Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Alvin telah terbujur kaku di sampingku dengan pisau yang masih tertancap di dadanya. “Kenapa katamu?” Balasnya dingin. “Sejak dulu aku selalu melindungimu. Bahkan saat kau kuliah di tempat kelahiranku, aku bersedia menemanimu dan bahkan memberimu tempat tinggal. Tapi kau malah memilih musuh bebuyutanmu sebagai pendamping hidupmu?”
Ya Tuhan. Hanya karena itu dia tega membunuh seseorang yang sempat menjadi sahabatnya? “Dia sudah menyelamatkan hidupku, Varrel. Saat kebakaran itu terjadi, memangnya kamu ada di sana?!” “Ya, aku ada di sana! Aku berusaha mencarimu ke gudang tapi ternyata kau tidak ada di sana! Aku mencarimu hingga ke seluruh kelas yang ada hingga petugas pemadam kebakaran itu menarikku pergi!” Balasnya setengah membentak. “Dan saat aku nyaris mati karena khawatir padamu, kau keluar dari dalam gedung itu seraya memapah bajingan ini!”
Aku tercekat saat mendengarnya. Kukira Varrel terlalu sibuk melindungi adik kembarnya yang amat dia sayangi. Kukira dia tidak peduli padaku sebesar kepeduliannya kepada adiknya. Jadi, dia seperti ini karena aku salah paham kepadanya selama bertahun-tahun?
“Maaf… maafkan aku…” air mataku mengalir lebih deras lagi. “Kukira kamu hanya memedulikan adikmu… aku kira saat itu kamu terlalu sibuk melindungi Verril…”
Kata-kataku terhenti saat Varrel memelukku dengan lembut. Sebuah benda tajam kecil menembus kulitku. Sial, aku terlambat menghindarinya. Dia menyuntikkan obat bius kepadaku!
“Maaf, kamu harus tidur dulu. Ini tidak akan lama,” bisiknya. Detik itu juga, aku tenggelam di dalam kegelapan yang tak berujung.
Saat aku membuka mataku, sekelilingku tampak berbeda. Segalanya begitu asing bagiku. Dan di atas segala keanehan itu, aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Begitu sakit hingga aku bahkan tidak bisa mengangkat tanganku.
“Selamat pagi,” sapa Varrel dengan senyum ramahnya yang khas. Kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi teko dan 2 buah cangkir. Saat itu, seluruh kesadaranku telah kembali. “Aku ada di mana?” “Di rumahku, tentu saja,” ujarnya seraya menuangkan sesuatu dari teko itu ke dalam cangkir dan mengulurkan cangkir tersebut padaku. “Kesukaanmu, green tea infused with jasmine flower.”
Dengan susah payah aku berusaha duduk bersandar di tempat tidur itu dan menerima cangkir itu. Aroma teh hijau dan bunga melati segera menenangkan seluruh tubuhku. “Kenapa kamu bawa aku ke sini?” Dia menarik sebuah kursi ke sampingku dan duduk dengan tenang seraya menyesap tehnya. “Kalau tidak begini nanti kamu terus-terusan berduka atas kematian bajingan itu.” “Kapan aku boleh pulang?” Tanyaku lirih. “Memangnya kamu akan pulang ke mana?” Aku meliriknya dengan keheranan. “tentu saja ke rumahku.” Dia menyunggingkan senyuman sinis. “Kita ada di rumahku, London.”
Tanpa sadar, aku menjatuhkan cangkir itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping. “APA?!” Dengan tenang, dia menaruh cangkirnya di atas meja dan menghampiriku. “Ada apa? Bukankah kamu pernah tinggal di sini selama 4 tahun?” “Tapi rumahku bukan di sini,” jawabku tegas. “Tolong biarkan aku pulang.” “Memangnya kamu punya uang untuk membeli tiket pesawat?” Balasnya dengan senyum sinisnya. Aku terdiam. Kini aku benar-benar menjadi tawanannya. “Sudahlah, kamu bisa tinggal di sini bersamaku. Kalau saja kamu lebih peka, aku tidak memiliki teman satupun di sini. Mereka semua hanya memanfaatkan diriku. Begitu juga denganmu. Semua teman seangkatanmu membencimu karena kamu adalah siswi favorit para dosen. Kamu bahkan sempat ditawari bekerja di perusahaan yang terkenal.”
Ya, aku mengingatnya. Dulu, semua mahasiswi yang seangkatan denganku mengucilkan diriku. Hanya saja karena Varrel dekat denganku, mereka tidak berani berbuat apa-apa padaku. Hingga suatu hari, Varrel tidak masuk kuliah karena harus melakukan wawancara. Saat semua pelajaran telah selesai, mereka mengunciku di toilet dan bahkan memasukkan banyak sekali kecoak ke dalam toilet. Aku amat phobia pada serangga itu, dan begitu melihatnya, aku langsung menjerit minta tolong. Beruntung Varrel datang menjemputku dan mendengar jeritanku hingga akhirnya aku selamat. Para mahasiswi itu dilaporkan olehnya dan kemudian dihukum oleh para dosen. Tentu saja, setelah itu mereka semakin membenciku namun sejak itu pula Varrel tidak pernah jauh-jauh dariku. Tanpa sadar aku bergidik saat mengingatnya.
Aku merasakan kedua tangan Varrel yang dingin menyentuh wajahku. Senyuman sinisnya telah berganti dengan senyum lembut. “Karena kamu tahu rasanya, kamu pasti mengerti perasaanku kan?” Aku mengangguk lemah. Kini, aku hanya dapat menurutinya, demi nyawaku yang dapat direnggutnya kapan saja.
“Jadi, kamu mau kan tinggal di sini bersamaku? Besok aku akan mendaftarkan pernikahan kita, dengan begitu kita akan selalu terikat dan dapat selalu bersama-sama,” wajah Varrel semakin dekat denganku. Aku beringsut mundur hingga punggungku menyentuh dinding. Aku benar-benar merasa ketakutan. Varrel menarikku dan mencium keningku. “Tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun padamu sampai kamu mau menerimaku.”
Dia benar-benar menepatinya. Berhari-hari, dia dengan sabar menyodorkan dokumen pernikahan untuk ditandatangan olehku dan begitu aku menggeleng, dia hanya tersenyum sabar dan menaruh dokumen itu di atas meja. Di malam hari, aku sering terbangun akibat mimpi buruk. Saat itupun dengan sabar Varrel menenangkan diriku dan menemaniku hingga aku tertidur. Saat aku merasa bosan karena ditinggal bekerja olehnya, dia pulang dengan setumpuk novel tebal dan selalu menyempatkan diri untuk mengobrol denganku.
Setelah 3 bulan, akhirnya aku bersedia menandatangani dokumen itu. Varrel begitu girang saat aku akhirnya mengangguk dan bahkan mengambil sebuah bolpoin. Dia memelukku begitu erat dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Aku mungkin memang sudah tidak waras karena bersedia menikah dengan seorang pembunuh. Namun aku tahu, Varrel bersikap seperti itu karena tidak dapat menahan rasa kesepian yang menghantui hidupnya. Walau begitu, kuharap Alvin memaafkanku. Aku tahu apa yang kulakukan ini terlihat egois karena aku melakukanyan demi bertahan hidup. Namun, dengan selalu berada di dekatnya, aku dapat menjauhkannya dari teman-temanku. Dengan begitu, mereka aman dari Varrel.
Kuharap, kalian juga mengerti.
Cerpen Karangan: Charissa. E Blog / Facebook: Choco Caramella