Ketika angin berhembus kencang, pasti akan terasa melelahkan bagi dedaunan yang melekat pada cabang pohon rapuh. Lantas kenapa kau bersikap seolah semua baik-baik saja? Memangnya siapa yang peduli jika kau menangis? Seperti cabang yang berusaha menggenggam daun dengan erat. Semuanya sia-sia kala angin hadir dan membawanya pergi tanpa arah.
Hujan yang turun dengan deras, sinar matahari yang begitu tajam. Aku selalu berlindung di bawah cintamu. Dengan kokoh kau berdiri tegap dan melindungiku dengan segenap jiwa ragamu. Memangnya siapa yang peduli jika kau mulai tumbang dan goyah? Aku sudah baik-baik saja sekarang. Karenanya kau boleh ragu, goyah, bahkan menangis. Pasti sulit ‘kan berpura-pura? Saking sulitnya, mungkin kau juga lupa sendiri bagaimana rasanya bersikap palsu.
Ketika segalanya terasa sulit karena diriku, jangan tersenyum seolah kau mendapat kekuatan dariku.
Biarkan. Lepaskan. Berikan daun itu pada angin. Sandarkan beban beratmu itu padaku.
—
“Masih tidak ingin bicara?” Aku bertanya pada seorang lelaki yang duduk tepat di depanku. Dia masih menunduk memainkan minumannya dengan sedotan. Lelaki itu hanya mengeluarkan gelengan pelan dan enggan berbicara. Aku menghela nafas kecewa. “Jika kau sudah siap bercerita. Kau boleh datang padaku.” Percakapan kami terhenti sampai di situ. Aku sengaja memberinya waktu untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya.
Satu hari, dua hari, tak terasa seminggu sudah aku dan dia tidak bertatap muka maupun bertukar pesan. Rasanya aku ingin bermigrasi ke planet lain karena bumi terlalu membosankan tanpa dia.
“Malam memiliki seribu mata dan siang hanya memiliki satu mata. Namun, cahaya dunia yang terang akan padam bersama padamnya cahaya matahari. Pikiran memiliki seribu mata dan hati hanya memiliki satu mata. Namun, cahaya kehidupan akan binasa, bersama matinya cinta.” Begitulah Francis W Bourdillon berkata.
Siang hari bumi hanya punya satu mata yaitu matahari. Malam hari bumi punya seribu mata yaitu bulan, bintang beserta jajarannya. Pikiranku mungkin punya seribu mata untuk menatap lelaki lain. Tapi hatiku hanya punya satu mata. Dan mata hatiku sudah mengarah padamu sejak lama.
Meskipun yang kau miliki hanyalah bekas luka. Aku akan tetap memandangmu dengan sempurna. Maka dari itu, kau boleh menitipkan kepercayaanmu padaku.
—
Malam itu, dia datang dengan wajah lesu dan frustasi. Seberat apa masalahmu hingga menghilangkan gairahmu?
Dari dulu aku tidak pernah bisa menelanjangi pikirannya. Dia selalu misterius dan penuh kejutan. Dia menatap mataku dengan sendu. Hatiku seolah teriris nyeri melihat raut muram di wajahnya.
Perlahan dia mendekat. Mengirim sinyal ‘aku butuh pelukanmu’ lewat isyarat tubunya. Aku tidak berkata apapun lagi. Kupeluk dia dengan erat. Saat itu juga luruhlah tameng yang susah payah ia bangun selama ini. Kuusap lembut bahunya yang bergetar karena menangis.
Kami saling menguatkan untuk beberapa menit. Sampai akhirnya dia mengurai pelukanku dan menatap bola mataku dengan lekat.
“Kita akhiri saja hubungan ini.”
Kubilang dia misterius dan penuh kejutan. Apa ini juga bagian dari rencananya mengejutkanku?
“Aku serius. Mulai sekarang kita tidak usah bertemu lagi.”
Aku terkesiap. Dia benar-benar serius. Aku tidak bisa melihat tatapan bercanda dari bola matanya. Tapi aku memang tidak bisa membaca pikirannya. Mungkin saja dia sedang membuat lelucon untuk menyenangkanku.
“Aku tahu kau hanya bercanda.” “Tidak. Aku tidak pernah seserius ini.” jawabnya. “Tapi kenapa?” “Aku ingin berhenti menjadi lelaki brengsek.”
Bagiku dia adalah lelaki terbaik yang pernah ada. Dia yang membuatku kembali menemukan harapan untuk hidup.
“Hei, siapa bilang kau brengsek?” kataku seraya menangkup wajah tampannya dengan kedua tanganku. “Menyakiti wanita dengan menduakannya bukankah itu termasuk tindakan seorang bajingan?”
Ya, aku memang wanita serep. Aku cadangan saat wanita yang sebenarnya sedang tidak ada. Aku memang bukan prioritas. Dan aku bahagia dengan itu. Selama aku mencintainya dan dia juga mencintaiku, aku merasa itu sudah cukup.
“Apa aku serakah jika tetap ingin bersamamu?” tanyaku. “Dia terlalu baik untuk mendapatkan sebuah pengkhianatan dari sahabatnya sendiri. Ayo kita akhiri ini sekarang juga.” “Tapi.. kau mencintaiku dan aku mencintaimu, lagipula dia tidak tahu perihal hubungan kita. Lantas, apa yang perlu kau pusingkan?” “Kau pikir, hubungan seperti ini akan tersimpan sampai maut menjemput?”
Aku menangis. Benar-benar menangis. Orang yang paling berharga di hidupku akan meninggalkanku sebentar lagi.
“Sudahlah jangan menangis. Aku minta maaf, aku tahu ini menyakitimu. Kita lupakan saja. Anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau selalu berkata berikan daun itu pada angin, lepaskan beban beratmu. Mulai sekarang aku ingin hidup tenang tanpa dihantui rasa takut dan bersalah. Aku juga berharap kau hidup demikian.”
“Selama ini aku memintamu menyandarkan bebanmu padaku. Dan ternyata beban terberatmu adalah aku.” Aku meninggalkannya dengan air mata yang sudah membanjiri pipiku.
Kau selalu melindungiku dari hujan. Tapi kau tidak ingin berada dalam hujan yang sama denganku. Selamat. Kau sudah memberikan daun kering itu pada angin.
Cerpen Karangan: Ag