“Al! Buruan! Keburu telat nanti!” seru Ray sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara Alicia yang masih di dalam kamarnya berdecak kesal. “Bentar, dong! Sabar napa?!” protes Alicia sambil mengikat rambut sebahunya menjadi kuncir dua di bawah telinga. “Buruan!” seru Ray lagi masih setia menunggu di depan kamar Alicia.
Selesai merapikan rambut dan rok selutut SMP-nya, Alicia keluar kamar dan langsung berjalan mendahului Ray yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. “Ayo, Ray. Berangkat. Lama amat. Keburu telat!” seru Alicia sambil berjalan menuruni tangga. Sementara Ray yang mulai mengikuti Alicia mencibir, “Tadi siapa coba yang lemot banget dandannya?!” “Barusan lo ngomong?” tanya Alicia sambil menoleh pada Ray yang terlihat cuek. “Nggak,” balasnya pendek. Alicia hanya mengangkat bahu kemudian kembali berjalan menuruni tangga. “Mamah! Cia berangkat, ya?” seru Alicia kemudian keluar rumah. Mamanya hanya menjawab dengan anggukan kepala. “Berangkat dulu, Tante,” ucap Ray sopan kemudian segera menyusul Alicia. “Woy, Al! Tungguin, dong!” seru Ray kesal sambil setengah berlari menyusul Alicia yang berjalan menuju ke halte depan perkomplekan rumahnya.
“Lo kenapa, sih?! Nyebelin banget!” ucap Ray kesal setelah sampai di halte. Alicia hanya tersenyum. “Siapa suruh lemot!” balas Alicia dengan senyum kemenangan yang terkembang lebar di wajah manisnya. Sedangkan Ray mendengus kesal.
Tak lama, bus yang akan mengantar mereka ke sekolah pun datang. Dengan sigap, Alicia melompat masuk ke dalam, yang langsung disusul oleh Ray dengan kepayahan. Alicia begitu gesit untuk ukuran seorang cewek. Perjalanan dari rumah ke sekolah ditempuh selama dua puluh menit menggunakan bus, tidak termasuk menunggu bus di halte.
Sampai di halte depan sekolah, Alicia dan Ray segera turun. Mereka seperti biasa, berjalan beriringan menuju ke kelas mereka, mereka sekelas. Mereka terbiasa melakukan aktivitas: Alicia bercerita dengan menggebu-gebu tentang apapun, dan Ray hanya cuek seakan tidak diajak bicara, membuat Alicia terlihat seperti orang gila yang bicara sendiri. Ray melirik sekeliling. Banyak orang yang menatap mereka dengan tatapan seakan-akan bicara “Itu ganteng-ganteng kok temenannya sama orang gila?”. Ray menyikut rusuk Alicia lalu berbisik, “Al, lo diem aja deh mendingan.” Alicia yang tidak mengerti hanya memiringkan kepalanya. Namun Ray malah meninggalkannya di belakang dan segera naik ke lantai atas tempat kelas VIII-G, kelas mereka, berada. “Yah, Ray! Tungguin, dong!” seru Alicia kemudian berlari menyusul Ray.
Setelah berhasil menyusul Ray, Alicia langsung menyerukan protes. “Kok lo ninggalin gue, sih?! Nggak lucu banget, tau!” Ray mendelik kesal pada Alicia lalu memasuki kelas dan berjalan ke bangkunya. “Lebih nggak lucu lagi kalo gue sampe dikira ikutan gila gara-gara jalan sama orang gila,” ucap Ray ketus lalu duduk di bangkunya. Alicia langsung memberengut dan duduk di bangkunya yang ada di sebelah kanan Ray, barisan ketiga dari depan dari lima baris dan barisan ketiga dari kiri dari empat baris. Sistem tempat duduk di sini adalah setiap murid diberi satu meja ukuran 70×70 senti dan sebuah bangku. Otomatis duduknya satu-satu. “Jadi maksud lo gue gila, gitu?!” protes Alicia sambil menggebrak meja. “Bukan gue yang bilang lo gila,” balas Ray cuek lalu mengetuk-ketukkan jarinya ke meja. Sesekali diliriknya Alicia yang sedang sibuk memberengut di mejanya. Seulas senyum terbentuk di wajah Ray. Gadis itu sangat polos.
—
“Al! Lo piket!” teriak Aldi, ketua kelas yang disiplinnya minta ampun. Alicia hanya melirik Aldi tajam kemudian berdiri. “Iya juga, ya? Lupa, gue,” ujar Alicia kemudian mengambil sapu. “Al, lo sapu yang bagian luar aja. Rista udah nyapu sampe luar, tuh,” ucap salah satu rekan piketnya. Alicia hanya mengangguk meng-iyakan.
Di luar Alicia menyapu dengan agak-agak malas. Sampai tiba-tiba seorang cowok yang sedang membawa sebuah tempat sampah kecil berisikan kertas tersandung dan jatuh tepat di bawahnya. “A–aduh. Mati nih gue,” desis cowok itu yang sebenarnya bisa didengar oleh Alicia. Alicia yang semula ingin marah-marah tiba-tiba tercengang. “WAAH!! DASAR!! HARI INI CD KU NGGAK IMUT, TAUK!!” teriak Alicia terlampau keras sambil menutup-tutupi roknya. Semua yang ada di luar kelas pun segera menengok ke arah mereka. Dan kebetulan, saat ini sedang istirahat. Jadi bisa dibayangin ramenya kayak gimana. “E–eh?” cowok itu terlihat agak gelagapan. Namun sebenarnya dalam hati, ‘Yakin? Boleh aku ngecek?’. Cowok itu segera berdiri dan ancang-ancang berlari. Dan seketika itu juga Alicia mulai marah-marah. “Dasar cowok! Kamu lihat, kan?!” teriak Alicia sambil mengejar cowok itu. Cowok itu berlari kalang kabut di kejar Alicia. “Ah, nggak, kok! Nggak, kok!” seru cowok itu sambil tetap belari. Padahal di dalam hati, ‘Celana dalammu warna pink, kan?’. “DASAR!!!”
Semenjak kejadian memalukan itu, Alicia jadi diledekin satu kelas. Bahkan beberapa anak kelas lain. Dan dari situ dia tahu siapa nama dan kelas berapa cowok itu.
Di sebuah pagi, tiga hari setelah kejadian itu… “Al, Al!” panggil Rista. Alicia yang sedang duduk-duduk di bangkunya menoleh. “Kenapa?” tanya Alicia begitu Rista duduk di bangku di depan mejanya. “Ekhem, gue tau siapa cowok yang kemaren itu,” ucap Rista sebagai pembuka. “Namanya Bintang, kelas IX-A,” lanjut Rista. Alicia mengerutkan kening. “Trus, ya, katanya dia itu nerd. Jadi dia itu kutubuku culun gitu…,” lanjutnya lagi. Alicia memutar bola mata muak kemudian berdiri. “Itu nggak penting banget, sumpah!” ucap Alicia kemudian berdiri di depan jendela dan menopang dagu di sana, menatap rombongan orang-orang yang lewat di lapangan basket pagi itu. Sampai matanya menangkap sosok yang sangat khas di sana. Seorang cowok berkacamata dengan rambut lurus dan rapi melambaikan tangan padanya. “Tuh, siapa, tuh? Tipe gue banget, suit, suit…,” goda Ray yang tiba-tiba ada di sampingnya. Pipi Alicia bersemu merah. “Apaan, sih?!” protesnya kemudian berlari keluar. Senyum jahil yang tadinya terpasang di wajah Ray tiba-tiba saja berganti dengan wajah muram. Ada yang merebut hati Alicia, sekaligus melukai hatinya.
—
Alicia bersembunyi di balik loker di ujung koridor lantai tiga. Semuanya kacau. Ketika Alicia keluar dari kelas dia malah semakin diejek. Rasanya sumpek! “Kamu kenapa?” suara itu membuat Alicia menoleh. Alicia tercengang melihat wajah itu. “Ka–kamu?!” pekik Alicia keras. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya menjadi dangdutan mendadak. ‘Ini kenapa gue deg-degan, sih?!’ “Eh? Kenapa?” tanya Bintang khawatir melihat wajah kaget Alicia. “Ugh… Kenapa harus ketemu lagi, sih?” gerutu Alicia sebal. “Kenapa?” tanya Bintang lagi. “Ga pa-pa. Makasih,” ucap Alicia lalu segera meninggalkan Bintang dengan perasaan bingung.
Tiga bulan kemudian… Hari kelulusan kelas sembilan. Semua kelas sembilan wajib memilih satu junior untuk di ajak berfoto bersamanya sebagai kenangan sebelum mereka masuk SMA. Dan di sinilah Alicia sekarang. Di depan gedung aula bersama dengan Bintang untuk berfoto bersama. “Alicia, senyum, dong,” suruh Rista sambil berdecak sebal. “Huaaa!!! Ga mau!! Huaa…!” tangis Alicia keras-keras. “Eh, kenapa?” tanya Bintang khawatir. “Huuaaa…! Pokoknya ga mau!!” tangis Alicia lagi. Sekali lagi Rista berdecak kesal. “Eh, jangan nangis,” ucap Bintang masih khawatir. Ckrik!
Satu tahun kemudian…. Alicia tersenyum senang menatap ijazah-nya. Nilainya memang tidak terlalu tinggi. Namun cukup untuk masuk ke SMA impiannya, bersama dengan Ray. “Ray! Ayo kita foto dulu!” panggil Alicia sambil menarik-tarik lengan Ray untuk lebih dekat dengannya. “Senyum, dong, Ray!” seru Alicia melihat Ray hanya memasang raut wajah malas tanpa senyum. “Oke, satu, dua….” Ckrik!
—
“Eh, itu siapa, tuh?” “Kakak kelas, ya?” “Wah, cakep juga!” Alicia yang sedang menyapu di luar kelas menoleh mendengar bisikan-bisikan anak-anak kelasnya yang sepertinya baru melihat seorang pangeran dari negeri antah berantah. Alicia mencari-cari sumber bisikan cewek-cewek itu dan menemukan seorang cowok dengan gaya rambut spike yang keren abis! Alicia merasa falimiar dengan wajah itu. Sampai ingatannya terpaut pada seseorang pada satu tahun lalu. ‘Itu… Kak Bintang?!’ Entah kenapa, tiba-tiba jantung Alicia berdetak dua kali lebih cepat daripada biasanya. Dia kembali bertemu dengan Kak Bintang. Bahkan kelasnya pun kembali bersebalahan. Rasanya seperti sebuah anugerah. ‘Tunggu. Apa?!’
“Al,” seseorang menepuk pundak Alicia yang sontak membuatnya berjengit. Dan saat menoleh, batinnya bersorak kesal melihat sosok keren –eh?!– yang sedang tertawa melihatnya. “Apaan sih, lo?! Gue bisa jantungan! Lo mau gue mati?!” protes Alicia kesal. Sedangkan tawa Ray malah semakin meledak. “Lo ngapain sih berdiri di depan kelas sambil bawa sapu kayak gini?” tanya Ray setelah tawanya mereda. Mulut Alicia sudah terbuka hendak menjawab, namun langsung dipotong oleh Ray. “Sambil ngeliatin Kak Bintang, lagi!” nada ketusnya keluar. Dia memutar bola mata kesal. “Lo ngarep bakal kejadian kayak satu setengah tahun lalu?” tanya Ray –yang lebih mirip tuduhan– dengan nada getas, membuat Alicia mengernyit bingung. “Ray, lo kenapa–” Ray melangkah pergi sambil melambaikan tangan tak peduli. Sementara itu, perasaan Alicia bercampur aduk melihat kepergian Ray.
—
“Kak Bintang masuk SMA sini?!” pekik Rista dengan mulut cabenya yang keterlaluan kerasnya. Alicia mendelik kesal mengisyaratkan agar Rista tidak lagi berteriak. “Ck, iya. Dan asal lo tahu aja. Lo kenal Kak Seli nggak? Yang dari dulu jadi sahabatnya Kak Bintang itu,” ucap Alicia lagi. Rista mengangguk cepat. “Dia juga masuk SMA ini, loh,” ucap Alicia yang kembali membuat mata Rista melebar. “Tapi kayaknya gue nggak berani berharap, deh,” ucap Alicia lirih kemudian memajukan bibir. Rista mengernyitkan dahi mendengar ucapan Alicia. “Kenapa?” “Ya, Kak Bintang keliatan bahagia banget, tau nggak, sama Kak Seli,” jawab Alicia. Rista hanya menepuk-nepuk pundaknya tanpa berbicara apapun. Sementara itu, berjarak dua bangku di belakangnya, sepasang mata menatapnya dengan sorot kekecewaan.
—
“Al, nggak pulang bareng Ray?” tanya Rista sambil memakai tas punggungnya. Alicia hanya tersenyum lalu menggeleng. “Ray kenapa, sih?” tanya Rista lagi. Alicia mengendikkan bahu. “Tau, tuh. Dari tadi dia diem mulu. Padahal biasanya dia ngisengin gue,” ucap Alicia kemudian memakai tas punggungnya. “Ya udah, Al, gue pulang duluan, ya?” pamit Rista. Alicia hanya mengangguk meng-iyakan.
Alicia melangkah sendirian menyusuri koridor lantai dasar. Lalu saat melewati taman belakang sekolah, Alicia melihat Bintang dengan dua cewek yang memberinya bunga. Bintang sempat melihatnya, namun dengan segera Alicia melangkah lebih cepat untuk meninggalkan tempat menyesakkan itu. Alicia berjalan sambil menekuri lantai koridor. Semenjak masuk SMA, Bintang jadi sangat terkenal. Dalam hati Alicia berharap, jika saja saat ini Bintang tidak terkenal, dia tak ingin Bintang menjadi terkenal.
Pagi yang cerah. Untuk saat ini. Tapi tidak untuk detik-detik berikutnya. Karena saat Alicia bertopang dagu di jendela kelasnya pagi itu, sambil menatap kerumunan orang-orang di lapangan basket yang hendak masuk ke kelasnya masing-masing, mata Alicia kembali menangkap sosok yang sama seperti satu tahun lalu. Melambaikan tangan padanya. Alicia yang sadar bahwa itu adalah Bintang langsung bersembunyi dengan berjongkok sampai tubuhnya tidak terlihat dari bawah. Dia menekuri lantai di bawahnya. Dia sudah berusaha menciptakan jarak. Karena jika dia terus dekat dengan Bintang, mungkin itu akan menjadi sebuah pemicu kekacauan. Tapi Alicia tidak bisa jika terus-menerus hidup di dalam jarak ini. Dia akan menghilangkan jarak ini. Ya, akan dia ungkapkan semuanya.
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Alicia dengan kecepatannya yang luar biasa langsung memasukkan buku-buku dan alat tulisnya dengan asal masuk. Yang penting dia tidak kehilangan jejak Bintang. Berbekal sebuah surat yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop, Alicia berjalan mencari Bintang. Namun langkah pencariannya berhenti di dekat loker dekat tangga. Dia melihat Bintang dan Seli, juga mendengar percakapan mereka. “Maaf, aku nggak bisa,” ucap Seli. “Tapi kena–” “Pokoknya aku nggak bisa!” tegas Seli kemudian menunduk. Bintang tersenyum. “Oh, nggak papa, kok. Ya, mungkin memang belum jodoh,” ucap Bintang sambil memaksakan sebuah senyum. “Maaf,” ucap Seli kemudian berbalik dan pergi. Bintang memejamkan matanya dan sebutir air matanya menetes. Saat berbalik, matanya langsung bertemu dengan mata gadis yang sangat dikenalnya. Alicia.
“Aku ditolak,” ucap Bintang sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Alicia diam saja sambil menunduk. Menyembunyikan suratnya di balik tubuhnya. Kenangan-kenangannya bersama Bintang melintas begitu saja di otaknya. Membuat bibirnya yang semula bungkam akhirnya terbuka. “Aku suka kakak!” kata itu terucap begitu saja. Membuat badan Alicia bergetar. “Ah, nggak papa. Kamu nggak perlu menghiburku, kok,” ucap Bintang sambil meringis lebar. “Maksudku… Maksudku bukan itu,” lirih Alicia sambil menunduk. “Eh, maaf. Aku harus pulang duluan. Maaf, ya,” ucap Bintang kemudian berbalik dan pergi. Meninggalkan Alicia sendirian di sana.
—
“Mama!” teriak Alicia begitu memasuki rumah. Mamanya yang sedang duduk di sofa langsung dipeluknya sambil menangis. “Cia, kamu kenapa, sayang?” tanya Mamanya khawatir melihat Alicia pulang-pulang langsung menangis. “Aku ditolak, Ma,” ucap Alicia sesenggukan. Mamanya melepas pelukan Alicia lalu mengelus lembut rambutnya. “Siapa? Bintang?” tanya Mamanya. Ya, Mamanya memang sudah tahu tentang Bintang. Alicia hanya mengangguk. “Alicia, kamu mungkin ditolak satu cowok. Tapi masih ada cowok lain yang lebih tulus sama kamu daripada Bintang,” ucap Mamanya kembali mengelus rambut Alicia. “Jangan cuma terpaku sama satu cowok, sayang,” lanjut Mamanya kemudian membelai lembut pipinya. Alicia termenung.
Alicia menatap fotonya bersama Bintang satu tahun lalu. Saat kelulusan Bintang. Bibirnya yang gemetaran terus menerus memanggili nama Bintang. Sementara itu di ruang tamu, Ray memasuki rumah Alicia dengan tergesa-gesa. Saat dilihatnya Mama Alicia ada di sana, segera dihampirinya Mama Alicia.
“Alicia ada, Tante?” tanya Ray. Mama Alicia tersenyum. “Tuh, di atas. Lagi nangis. Ditolak, katanya,” ucap Mama Alicia kemudian tersenyum. “Dasar bego,” lirih Ray kemudian berlari menaiki tangga, menuju kamar Alicia.
Saat sampai di depan kamar Alicia, Ray terhenti. Alicia sedang menangis sambil menggenggam erat foto Bintang dengannya. Awalnya Ray ingin mengacuhkan saja Alicia saat bibir gadis itu terus menerus memanggili nama Bintang. Namun setelah berfikir, akhirnya Ray mendekat. Dan dengan cepat, dilepasnya foto itu dari genggaman Alicia, dan dia tarik tangannya agar keluar kamar. Alicia yang sadar bahwa itu adalah Ray tersenyum bahagia. Ya, Mamanya benar. Dia tidak boleh hanya terpaku pada satu cowok. Masih ada cowok lain yang lebih tulus padanya. Satu nama itu, Ray.
END
Cerpen Karangan: Fatimatuzzahra Purnama Putri Blog / Facebook: fatimatuzzahra purnama putri
Penulis, komikus, atau penyanyi? Instagram: @ktswthy66_ Wattpad: @_HanaChan_13 Smule: @ZafaAli1347 (barangkali ada yang mau join nyanyi bareng aku :D)