Jari lentikku menari nari melukiskan huruf demi huruf membentuk kata dan kalimat kalimat indah yang selaras dengan isi hati, pikiranku menerawang jauh dari masa lalu, saat ini, hingga angan angan yang ingin kuwujudkan dengan dia, seseorang dalam impianku. Dia adalah seseorang yang membuatku benar-benar berhenti mencari, berhenti berharap dan berhenti bermimpi kepada seseorang selain dia.
Cinta dalam Jeda Kamu tahu? Banyak orang-orang di sekitarku bertanya apakah aku sudah mempunyai pasangan? Aku menarik napas dalam-dalam, sedikit lengkungan lambat menghiasi bibirku, mengisyaratkan bahwa aku sudah memilikimu Lalu aku katakan kepada mereka bahwa aku sudah memiliki pasangan Dia adalah seseorang yang tak bisa kulihat jelas mata indahnya Tak bisa kugenggam tangannya Tak bisa kulihat senyum hangatnya Tak bisa kupeluk jika aku mulai rindu Dialah sosok pria yang membuatku kecewa jika tak ada kabar darinya Dia yang selalu bikin khawatir anak orang yang jagain dia dari jauh Selalu dia yang menjadi penyebab aku cemburu pada kalian yang selalu punya banyak waktu untuk bertemu, untuk berbagi cerita, untuk sekedar jalan atau minum teh bersama Tapi dia juga pria yang mengajariku bagaimana cara menahan rindu tanpa harus bertemu Bagaimana bisa bertahan meski tak harus selalu dikuatkan Bagaiamana menjalani hubungan yang tak semua orang bisa lakukan
Puisi yang kutulis ini hanyalah sedikit dari bermilenia curahan rasa yang kusimpan dengan rapi di dalam hatiku, hatiku yang memang masih berada dalam di tubuh ini namun kau tahu? Sepenuhnya hatiku telah kau bawa pergi, pergi sejauh jauhnya untuk mengejar impianmu yang lain. Pernah terlintas untuk mencari penggantimu, namun pikiran itu selalu berhenti dan akhirnya yang bisa aku lakukan di sini hanya mampu menunggu dan menjaga hati ini hanya untukmu, sayang…
Burung-burung berterbangan kembali setelah seharian mencari makan, matahari yang semula bersinar dengan gagah saat ini mulai menunduk untuk kembali ke peraduanya, namun saat seperti inilah yang selalu membuatku candu untuk mengingatmu, mengingat kebersamaan kita. Saat senja memang spesial, begitu tenang dan menentramkan. Dari kejauhan aku melihat para petani yang berjalan pulang disertai anak anak kecil yang berlarian di pematang sawah, bibirku tersenyum hatiku kembali menerawang jauh tentangmu, tentang bagaimana kau membuatku begitu nyaman saat berada di dekatmu dan rindu yang sangat menyiksa saat kau jauh dariku.
Masih tergambar jelas dalam memori otakku ketika kamu berpamitan denganku, ketika itu sama seperti saat ini senja 21 Maret 2013, angin bertiup pelan melambai lambaikan rambut panjangku dengan kedua tanganku yang kau genggam erat, kedua matamu menatap dalam seakaan ada gelombang cinta yang ingin kau curahkan kepadaku.
“tapi kenapa sayang? Kenapa harus sekarang?” “ini aku lakukan untuk masa depan kita sayang, masa depan kamu dan aku” “kamu bohong, pasti alasan kamu pergi untuk mencari yang lain, apakah kau sudah bosan denganku?” “tidak sayang, hanya kamu yang ada dalam hatiku tidak ada yang lain, dan aku tidak mungkin mencari yang lain” ucapnya meyakinkanku. “lepaskan tanganku, lepaskan” aku berontak melepaskan tanganku. “dengarkan handa sayangku, percayalah nanti aku akan kembali, kamu adalah alasanku untuk kembali, aku janji” kedua tangannya memegang pipiku dan mata kita jadi semakin dekat. Tak terasa air mataku mulai menetes, aku jawab ucapanya dengan anggukan kecil lalu aku menangis dalam pelukanya, pelukan yang akan sangat aku rindukan jika dia benar-benar pergi. Angin bertiup kencang, dari kejauhan ada gumpalan awan hitam bergerak dengan cepat seakan ikut memahami perasaanku. Aku dan dia, Kharis Karmawan sama sama tenggelam dalam pelukan erat dan tidak memperdulikan lagi air yang mulai jatuh membumi.
—
Aku tersadar dari lamunanku, kini matahari semakin dekat dengan peraduanya dan aku jadi semakin dalam mengingatmu. Pernah ada niat untuk mencari yang lain karena menunggu adalah hal yang tak pasti, ada kemungkinan kamu berpaling kepada seseorang selain aku, mataku yang tak mampu melihatmu secara langsung yang membuatku merasa masih ada celah dalam janjimu itu. Dalam waktu penantianku bukan aku yang terlalu bodoh yang hanya bisa menunggumu kembali, aku juga pernah sesekali membuka hatiku ini untuk orang lain, bukan maksudku untuk mengkhianatimu namun memang menunggu penuh dengan ketidakpastian dan aku benar-benar tidak menginginkan dalam posisi itu.
1 Juni 2016 Namanya adalah alfian Nur Majid, temanku yang diam diam menyukaiku ehh.. apa aku yang terlalu baper ya, tapi tidak sepenuhnya salah kok buktinya dia selalu ada saat aku butuh. Kita.., eh aku dan alfian sama sama menjadi guru di sekolah yang sama, aku adalah guru baru yang ditugaskan di sekolah ini, salah satu SMA Negeri di kota Tegal. Di awal awal aku mengajar, pak alfian lah yang selalu membantuku, mengajak makan siang, sampai membantu mengoreksi jawaban ulangan anak anak. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu baik kepadaku, tapi apapun itu ini posisi yang lebih nyaman dibandingkan harus menunggu kharis yang mungkin juga sudah mempunyai perempuan lain.
Sudah sekian banyak senja yang terlewati, senja yang kini tidak begitu kusukai karena sudah ada yang bisa menggantikannya, tergantikan dengan rangkaian sang fajar dan burung yang bernyanyi merupakan saat aku memulai hari untuk mengajar dan tentunya bertemu dengan alfian. Sampai suatu saat…
“handa, nanti sore jalan-jalan yuk” “hem, ke mana?” “okee yaa, sip” “ehh, tunggu” Belum sempat dia memberitahu tempatnya, dia langsung memacu motornya.
Hari ini aku mengajar seperti biasa, namun aku tak menemukan alfian di sekolah. Aku tak tahu dimana dia tetapi yang ku tahu dia ingin mengajakku jalan jalan nanti sore. Hehehe yee hatiku bersorak gembira…
Sinar matahari yang menyebar di atas air yang tenang, di sini aku di pinggir pantai bersama alfian, sudah sepuluh menit kami sama sama saling memandangi senja tanpa keluar satu katapun. Alfian membuka pembicaraan dengan lembut. “aku mau bicara sesuatu sama kamu han.” “iya, bicara aja ian.” Aku menoleh kearahnya dengan senyumanku. “kamu tahu kan usiaku saat ini sudah waktunya untuk menikah. Orangtuaku selalu menanyakan kapan aku akan menikah.” “lalu?” aku pura pura tidak tahu, meskipun aku sudah tahu maksudnya. “maukah kau membantuku han?” menoleh ke arahku dengan senyuman yang sangat manis. “bagaimana caraku membantumu?” “kamu mau yaa menikah denganku..?” Kali ini senyumannya benar benar manis, seluruh tubuhnya menghadapku dan perlahan lahan tangannya memegang tanganku, dia seperti menunggu jawabanku, aku menunduk sebentar lalu menengadahkan wajahku kutatap matanya dengan teduh lantas kuberikan senyum termanisku disertai anggukan pelan. Dia balik tersenyum kepadaku sampai tak sadar hari sudah gelap.
Lagi lagi aku tersadar dari lamunanku, lamunan yang menggiring kepada awal dari sebuah kesedihan yang teramat sangat. Setelah aku menjalin hubungan dengan alfian, aku mengira ini awal dari kebahagianku setelah perkataan dan perbuatan yang begitu romantis bagai candu yang sangat candu, seperti membuatku masuk ke dalam dunia dongeng yang begitu indah tanpa kesedihan. Namun semua angan dan imajinasi masa depanku dengan alfian semua pudar hancur berkeping keping, tepat saat hari yang seharusnya menjadi momen terindahku malah menjadi hari yang tak akan terlupakan karena alfian diluar dugaanku melakukan hal yang tak pernah terbersit di pikiranku. Sebenarnya aku tak mau mengingat ini tetapi anganku membawanya kembali, kembali mengingatkanku pada kenangan yang sangat pahit dan menyakitkan.
20 Desember 2016 Hari yang seharusnya pernikahanku Sang mentari merangkak naik dengan perlahan lahan menampakan sinar jingga yang menembus jendela kamarku, aku berdiri menatap erat matahari dengan wajah yang begitu ceria yaa memang hari ini aku mungkin tak akan bisa bersedih, karena hari ini adalah hari pernikahanku yeee… aku bersorak gembira dalam hati. Semua perlengkapan sudah terpasang pada tempatnya, rumah calon suamiku sudah meriah penuh dengan hiasan hiasan yang indah, juga para tamu undangan yang sudah mulai berdatangan. Hari ini merupakan hari yang sudah aku tunggu, memang saat ini aku juga masih memikirkan kharis, tapi sudahlah toh dia yang aku tunggu tak juga kunjung pulang, aku bukan wanita bodoh yang hanya bisa menunggu, bukan maksudku juga mengkhianatimu tetapi aku ini seorang wanita yang juga punya hati dan hati ini tak akan kubiarkan kau permaiankan. Saat ini sudah banyak tamu undangan yang datang, jadilah semakin ramai rumah ini dan semua orang kelihatan ceria dengan pernikahan ini.
Saat saat yang kutunggu akhirnya datang, riasan pengantin sudah memenuhi wajahku dan kusiapkan senyum termanis dengan sepasang lesung pipiku. Rasa gugup, khawatir, senang, gak sabar semua bercampur menjadi satu, waktu menunjukan pukul 09.45 artinya lima belas menit lagi aku akan keluar dari kamar ini dan memulai ijab qobul yang diucapkan calon suamiku, disisa waktu ini aku gunakan untuk memperbaiki riasan di wajahku, tentunya aku ingin tampil terbaik di depan calon suamiku. Kini aku sudah duduk di sampingnya, dengan selendang berenda yang menutupi kepala kami, dia memulai mengucapkan ucapan sakral itu. “saya terima nikahnya dwi handayani binti…” Ucapanya terhenti. “berhenti..!!!” tiba tiba ucapan seorang wanita memotong ijab qobul. “mas alfian, kau tega padaku, haaa, lihat apa yang sudah kau lakukan ini dan sekarang kau ingin menikah dengan orang lain” dengan ucapan sedikit berteriak menunjuk perutnya yang sudah mulai membesar.
Bagaikan disambar petir hatiku seakan hancur sehancurnya dicabik dengan begitu kejam setelah mendengar ucapan wanita yang bahkan tak pernah kukenal. Aku menunduk mencoba menahan sakit, aku melihat alfian yang menunduk dalam bahkan tidak membantah apa yang diucapkan wanita itu, apakah ini benar adanya? Setelah apa yang diberikan kepadaku selama ini, kukira dia benar benar lelaki yang baik, namun apakah ini jawaban atas semua ini. Tamu undangan semua terdiam, hening menyelimuti suasana pernikahan ini, aku mencoba menguatkan hatiku, mencoba menerima kenyataan ini yang memang sangat sulit. Aku mencoba berdiri dengan kaki bergetar, mengumpulkan kekuatan untuk menghampiri wanita itu, dia masih berdiri di ambang pintu dengan tangis tersedu sedu, ku hampirinya dengan langkah lemahku dengan mengumpulkan kekuatan untukku tersenyum meskipun hatiku menangis.
“assalamualaikum, nama mbak siapa?” “aku ratih, aku pacarnya alfian dan ini buah cinta kami berdua” menunjuk perutnya yang hamil “alfian sudah janji menikahiku tapi kenapa malah kamu yang menikah denganya?” dia bertanya padaku dengan tatapan sayu. Aku sangat terpukul karena alfian tidak pernah bercerita dia sudah punya pacar dan asstahgfirullah dia sudah melakukan hal yang diluar dugaanku.
“maaf mbak, bahkan aku tidak tahu tentang hal ini, kami belum sah jadi suami istri dan aku bersedia kalau mbak ratih menggantikanku sebagai mempelai perempuanya” dengan senyum keterpaksaan, aku ucapkan ini. Kupegang kedua tanganya dan mencoba meyakinkan tentang ucapanku, kemudian kulepas cincin yang melingkar di jari manisku lalu kupasangkan di jarinya. “mbak ratih yang lebih berhak memiliki mas alfian sepenuhnya, bukan aku.” Aku menuntun mbak ratih untuk bersanding di samping mas alfian, “mass, kau tahu? Kau sudah mengecewakanku dan aku mohon jangan kecewakan wanita sepertiku lagi, lakukan apa yang seharusnya kau lakukan, seorang lelaki harus berani bertanggungjawab atas apa yang sudah dilakukanya.” Ucapanku kepada mas alfian dengan nada marah bercampur kecewa. “maafkan aku handa,” alfian tetap menunduk dan tidak berani memandangku. “tidak perlu minta maaf, ini memang yang harus kau lakukan.”
Aku berjalan menjauhi mereka berdua dan duduk bersama tamu undangan lain, mas alfian sudah mengucapkan ijab qobul dengan lancar, ucapan yang kutunggu memang namun bukan namaku yang menyertainya tetapi nama ratih suciati yang sekarang sah menjadi istrinya. Ini hari pernikahanku, namaku yang tertera di undangan, keluargaku yang datang, aku yang memakai pakaian dan riasan pengantin, tapi apa yang kudapat? aku menjadi tamu yang menyaksikan pernikahanku, aku menjadi penonton di pernikahanku sendiri.
Aku kembali tersadar dari lamunanku, air mataku menetes membasahi pipi, kusingkap rambutku sambil menegakkan wajah. Matahari kini sudah tenggelam di ufuk barat, sinar kejinggaan senja sudah mulai sirna dan kehidupan akan berganti menjadi pekatnya gelap malam, kuhapus air mata ini, air mata yang seharusnya tak pernah ada jika aku setia menunggu. Sungguh sangat menyayat hati yang rapuh ini, pada akhrinya aku harus kembali menunggu seorang kharis, orang yang hampir aku khianati padahal dia sudah berjanji akan kembali.
Kini aku sadar aku memang wanita yang bodoh, bukan bodoh karena tak mampu menunggumu tetapi karena tak bisa mempercayai janjimu. Aku minta maaf kepadamu kharis, entah saat ini kamu berada dimana, aku janji disini akan tetap setia menunggu kepulanganmu. Kali ini bukan hanya kamu saja yang mempunyai janji, aku juga punya janji dan ini harus kita tepati pada saatnya nanti.
Atas nama jarak yang memisahkan kita saat ini, bersabarlah lebih lama lagi, bersabarlah lebih hebat lagi dari yang kau pernah bisai, karena bila Tuhan mengizinkan suatu saat nanti akan ada aku yang selalu kau temui disetiap pagi saat kau membuka mata untuk pertama kali. Suatu saat nanti tak akan ada lagi keresahanmu perihal ini dan itu, sebagian akan terbagi bersamaku. Untukmu yang sedang berjuang demi menghalalkanku, aku akan tetap menjaga apa yang seharusnya terjaga untukmu, doa doaku masih mengangkasa berbintang namamu, aku masih di sini menunggumu, kelak akan kuhapus semua peluhmu, akan kusediakan secangkir teh dengan senyum terbaikku. Iyaa suatu nanti.
Cerpen Karangan: Ahmad Rosidi Facebook: Ahmad Rosidi Namaku Ahmad Rosidi, ini merupakan cerpen ketiga saya dan ini adalah cerita pesanan dwi handayani 3101416047. kritik dan saran sangat saya butuhkan karena saya sadar masih banyak kekurangan. Salam pena!