“Heh?! Sinta?!” Pekik Rama mendengar apa yang dikatakan Veri perihal pasangannya untuk sendratari Ramayana itu. Sebenarnya bukan masalah siapa pasangannya. Namun yang jadi masalah adalah, kenapa Sinta?! Cewek lain kan banyak! “Iya. Kata Bu Intan kita pake Sinta aja. Soalnya kan selain namanya yang mirip, Sinta cocok juga mainin peran itu,” jawab Veri. Rama mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangannya. “Astaga Bu Intan!! Kenapa harus Sinta, sih?! Cewek lain kan banyak! Masa iya cewek berandal gitu dijadiin pemeran Sinta?! Ogah gue!!” Teriaknya keras. Seisi kelas yang mendengar itu langsung menolehkan wajah mereka ke arah Rama. Termasuk si empunya nama yang tadi disebut-sebut. “Apa lo bilang?! Cewek berandal?!!” Gantian, seisi kelas menoleh ke arah cewek rambut panjang yang cantik, tapi penampilannya kayak cowok ini. Kalo aja rambutnya nggak panjang dan dia nggak pake rok, mungkin dia udah dikira cowok. “Dasar cowok playboy!” Balas Sinta. “Seenggaknya gua laku! Nggak kayak lo! Dasar cewek berandal nggak laku dada tepos!”
JLEB!! JLEB!! JLEB!! Tiga anak panah sekaligus menembus pertahanan Sinta sampai K.O.
“Sin, sabar, Sin. Gua tau perasaan lo kayak gimana. Udah ga papa, Sin,” ucap Riana, sahabatnya, menenangkan. “Tau ah! Yuk, temenin gua ke kantin!” Ajak Sinta kemudian segera meninggalkan kelas yang rasanya jadi sangat sumpek! Selain karena tugas Matematika yang harus dia selesaikan dalam waktu satu jam karena guru-guru sedang rapat, juga karena ejekan demi ejekan yang dilontarkan Rama. Memang apa yang dikatakan Rama adalah berdasar pada fakta. Tapi ya nggak gitu juga kali!
“Sebel banget gua sama Rama. Pengen gua gecek-gecek tuh muka leceknya!” Ucap Sinta penuh penekanan saat berjalan di koridor lantai dua. Riana yang ada di sebelahnya hanya bisa geleng-geleng kepala. “Sin, gua tau lo sebel sama tuh bocah. Tapi ya nggak usah gitu-gitu juga kali.” Langkah Sinta terhenti. “Nggak gitu-gitu juga yang kayak gimana maksud lo?” Riana nelen ludah. ‘Mati gue!’ “Lo tau apa yang udah dia perbuat sama gue?! Waktu MOS, Na!! Dia malu-maluin gua di depan satu angkatan! Plus-nya kakak kelas yang ngurus MOS! Dan lo tau kan apa yang dia lakuin?! Dia nyium gue, Na! NYIUM GUE DI DEPAN SATU ANGKATAN YANG BAHKAN BELOM SALING KENAL!!” “I-iya, Sin. Gua tau. Tapi dia kan juga malu sendiri. Biarin aja lah,” ucap Riana mulai menenangkan. Mereka mulai berbelok untuk menuruni tangga.
“Dan nggak cuma sampe di situ! Dia juga sering banget bikin gua naik darah! Gua tuh sebenernya udah nggak tahan lagi sama kelakuan dia. Pengen banget dia gue masukin ke gentong terus gentongnya gua lempar ke tengah laut biar dimakan ama ikan hiu!!” Ucap Sinta menggebu-gebu tanpa melihat apa yang di depannya. “Hiu nggak makan gentong kali, Sin.” “Serah lah apa itu. Pokoknya gua pengen dia-” DEG!! Sinta terkejut ketika tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang cowok yang keliatannya habis lari maraton. Rambutnya lecek, mukanya penuh keringat, dan bajunya basah kuyup karena keringat. Ini pagi-pagi udah begini amat. Ngapain aja dia?
“Eh, sori. Gua mau ke kelas. Kelas gua di atas. Sori ya. Bay!” Ucap cowok itu cepat kemudian menaiki tangga kembali. Sinta masih terpaku di tempatnya. Cowok tadi… maskulin banget. Bau minyak wangi campur keringatnya, otot tangannya yang keliatan jelas, badannya yang tinggi, dan keliatan proporsional banget! Astaga, cowok idaman Sinta! “Sin?” Riana mencoba menyadarkan sahabatnya yang hanya membeku di tempat itu. “Astaga, Na, dia ganteng banget.”
—
“E buset! Rame amat!!” Ujar Sinta begitu memasuki kantin. Riana mengangguk membenarkan. “Cari tempat duduk, yuk!” Ajak Sinta yang kemudian di-iyakan oleh Riana. Setelah muter-muter kantin yang sumpek banget, akhirnya ada secercah harapan untuk makan di kantin. Elah lebay amat. Cepat-cepat Sinta dan Riana berjalan ke arah bangku itu. Hm, dari empat bangku, satu udah terisi. Cowok sih. Lumayan ganteng. Boleh juga makan sambil modus. “Akhirnya da-HAH?!!”
—
“Kantin rame banget, njir,” ucap cowok itu mencari celah diantara lautan manusia yang sedang mengantri untuk membeli makanan ataupun minuma. Ya kan emang itu yang disediakan kantin. Mana ada kantin jualan seragam sekolah? “Yakin Ram mau makan di sini?” Tanya Veri yang membuat Rama mendelik ke arahnya. “Kalo ga di sini ya dimana?” Ucap Rama kemudian kembali mencari tempat duduk. “Nah, itu ada!” Pekik Rama heboh kemudian segera ke arah bangku yang kosong. Dari keempat bangku itu, satu sudah terisi. Cowok sih. Tapi ga papa lah. Yang penting duduk dulu.
Dengan cepat, mereka berjalan mendekati bangku itu. Namun saat mereka sudah sampai dan siap untuk menarik kursi… “Akhirnya da-HAH?!!” Sumpah! Ini gila! Ini gila!! Ini gilaa!!! Kenapa dia juga harus ketemu sama Sinta sih?! Pake acara rebutan bangku lagi!! Dikira ini sinetron apa?!
“Heh, ngapain lo di sini?!” Tanya Rama galak. “Mau makanlah! Nggak mungkin gua mau mancing!” sewot Sinta. “Ya kali aja lo mau bikin kolam ikan di sini terus mancing di sini!” “Serah lu dah! Pokoknya gua yang duduk di sini!” Ucap Sinta kemudian menarik kursi untuk duduk. “Et tunggu dulu.” Gerakan Sinta terhenti karena sebuah tangan menahannya. “Nggak boleh. Gue yang harusnya duduk di sini! Ini tempat gue! Gue yang nemu duluan!” “Nggak bisa! Gue duluan yang nemu! Lu minggir sana! Ini tempat gue!” “Enak aja lo!! Minggir sana!!” “Elo tuh yang minggir!!” “Ehm, permisi. Ini… tempat gue.” “Eh?!”
—
“Asik!! Dapet tempat makan!! Makasih kak!!” Ucap Sinta senang. Sedangkan Rama yang ada di sebelahnya memberengut. “Kaciaaan… Rama ga dapet tempat duduk…” Ucap Sinta sengaja menggoda Rama. Rama melayangkan delikan kepada Sinta. Tapi Sinta malah menjulurkan lidah kemudian duduk di bangkunya. “Dan lo, maaf ya. Gua nggak bermaksud pilih kasih ato apa,” ucap cowok itu menatap Rama penuh penyesalan. “Ga papa. Udah tradisi kali cowok lebih milih ngasih tempat duduk ke cewek daripada ke sesama jenis. Ntar dikira homo,” jawab Rama judes. Sebenarnya yang bikin dia judes bukan kakak kelas itu. Tapi gara-gara entah kenapa hari ini dia mulu yang sial, Sinta mulu yang hoki. Kan kesel. “Sekali lagi maaf, ya.” “Iya iya. Udah denger. Ga usah diulang lagi.” Rama pergi meninggalkan mereka.
“Ehm, jadi, elo bener cewek yang nggak sengaja hampir gue tabrak tadi, kan?” Tanya cowok itu. “Eh?” Sinta agak terkejut mendapat pertanyaan seperti itu. Bukan apa-apa. Tadi itu dia melamun. “Elo tuh ditanya, Sin!” Bisik Riana pada Sinta. “Eh, oh, i-iya, kak,” jawab Sinta grogi. ‘Astaga, kenapa jantung gue jadi dangdutan gini sih?!’ “Nama lo siapa?” “Sinta.” “Oh, Sinta…” gumam senior itu. “Berarti yang tadi itu Rama dong?” Sinta sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Kenapa bisa sampe Rama? “I-iya kak. Kok tau, sih kak?” Tanya Sinta mulai penasaran. “Ya iyalah. Kan setiap ada Sinta pasti Rama-nya,” jawab senior itu kemudian tersenyum. Namun senyum itu dengan segera meredup.
“Tapi sayang, ya. Bukan gue Rama-nya elo.” “Eh?!”
Bersambung
Cerpen Karangan: Fatimatuzzahra Purnama Putri Blog / Facebook: Fatimatuzzahra Purnama Putri Nama lengkap saya ya seperti yang saya tulis. Saya ini masih amatiran yang butuh bimbingan dan koreksi sana-sini. Jadi, mohon bantuannya!