“Pernah tidak, sebagian dari masa lalu kamu masih menghantui dirimu, meskipun saat ini kamu sudah berada jauh di masa depan? Kalau jawaban itu iya, selamat! kamu masih belum bisa move on,” terang wanita yang ada di depanku ini, Clarin. Dia merupakan seorang psikiater yang mulai membimbingku semenjak tragedi trauma yang ada pada diriku ini.
Berawal dari Sekolah Menengah Pertama, saat itu aku pernah mengalami sebuah mimpi buruk yang mana mimpi itu seolah-olah nyata dan selalu memutari isi kepalaku bak momok kegelapan. Setelah bangun dari tidurku, cucuran keringat dingin tak pernah berhenti menetes dari dahiku. Hal ini yang membuatku sedikit trauma dengan makhluk yang bernama ‘laki-laki’. Bukan, aku bukan seorang androphobia, aku masih bisa menjalankan kehidupanku layaknya manusia biasa. Organisasi, berkumpul, seminar, bahkan kajian masih kuikuti meskipun disana banyak segerombolan pria asing berkeliaran di sekitarku dan bertegur sapa seperti biasanya.
“Hai, Nean?” sontak aku kaget ketika terdengar suara maskulin yang tak asing dari sebelahku. Akupun menoleh bingung lalu tanpa sadar merekahkan senyumanku, karena pria di depanku ini sudah aku kenal sejak lama. “Oh hai, Bo … Boun?” jawabku. “Hehe. masih ingat rupanya, ku kira tadi salah orang.” timbalnya sambil tersenyum padaku dan mengangkat tangannya untuk menjabatku. “O Oh. Yeah, nggak salah kok, Boun.”
“Setiap weekend kamu ikut acara ini juga?” tanyanya padaku. “Iya, kalau ada waktu luang aku hadir, lumayan bisa refreshing juga ketemu teman-teman baru.” “Ooh good!”
“Mn, Nean?” panggilnya. “Mn, ya??” “Kamu sekarang berubah ya?” “Berubah gimana, Boun?” jawabku dengan mengernyitkan dahiku sebentar. “You’re prettier now,” ungkapnya tiba-tiba. “Ha!” jawabku sedikit malu. “Ah, sorry aku kebawa suasana, maksudnya, iya bener kamu berubah, nampaknya makin sibuk aja nih?” elaknya dengan nada tergagap. “Haha. Santai aja kali, Boun. Kita juga sudah kenal lama, kan? Kita dulu malah deket, sedekat nadi. Btw, emang aku dulu nggak cantik apa?” jawabku untuk mencairkan suasana yang sedikit awkward ini. “Ah, bukan gitu, Nean. Okay-okay. Gimana kabar keluargamu sekarang?” “Nggak nanyain aku dulu nih?” Godaku. “Nggak, karena kamu ada di depanku saat ini, jadi ya aku tahu kamu baik-baik saja, dan aku percaya kamu akan selalu baik-baik saja.” “Hehe iya Aamiin, aamiin. Baik aja kok keluargaku, btw aku sekarang tinggal sendiri disini loh, kapan-kapan kalau kamu pengin mampir silahkan,” tawarku. “Wih, hebat, hebat. Anu, aku minta nomor terbarumu dong.” “Nomorku tetep kok, Boun. Biar kamu bisa kontak aku kapan aja, tapi nyatanya kamu juga sudah mulai sibuk sekarang, kan?” “Ah, tentang hal itu, lain waktu aku ceritakan ya, Nean. Sekarang yang harus kamu tahu adalah aku sudah ganti ponsel, ponselku yang dulu hilang karena kecopetan. Sedih deh.” jelasnya dengan sedikit tertawa. “Kasyiaan … oke-oke nih nomerku.” akupun meraih ponselnya lalu menekan angka di layar ini. “Terima kasih, Nonong!” “Hei, masih aja lu ya!” jawabku kesal. “Haha maaf. Kalau gitu akan kuhubungi nanti ya, aku ada jadwal lagi, bye. Jaga diri ya!” pamitnya sembari mengacak ujung rambutku. “Okay, Take care Byee …,” My Bobon. Batinku.
Sebelum kuceritakan, pastinya dari dialog kita sudah terlihat, bukan? Sosok lelaki inilah yang membuatku tegar dan bisa bertahan hingga saat ini. Jika ada waktu lain, aku hanya ingin mengungkapkan agar kita tetap seperti ini saja, tanpa komitmen yang main-main. Jika memang ditakdirkan Tuhan bersama, maka dengan lapang dada akan aku terima.
Beranjak remaja Boun dan aku menjadi teman sebaya yang saling menguatkan, kita dulu belajar bersama, bersaing bersama, bahkan bertengkar bersama. Boun adalah kakak tingkatku, usia kita selisih 2 tahun. Ia seperti sosok kakak laki-laki yang melindungiku dan protektif terhadap bahaya apapun yang mengancamku.
Lalu, takdir waktu berkata lain. Menginjak usiaku yang ke-20, dia menghilang dari kehidupanku. Rapuh? Jangan ditanyakan, aku selalu merinduinya. Memimpikan menggandeng tangannya lagi adalah sebuah do’a yang wajib aku panjatkan sebelum aku memejamkan mataku, dan juga, supaya mimpi buruk itu tidak semena-mena menghadiriku. Entah bagaimana saat itu dia bisa tega menghilang dari hidupku, bahkan pikiran negatifku tentang dirinya tidak bisa terelakkan dari otakku, ya, aku menganggap ia mati. Tak luput juga dengan jarak yang memisahkan kita sebelum ulang tahunku ke-19, namun aku dan Boun masih tetap saling komunikasi bagaimanapun keadaannya. Aku di Indonesia, dia pindah ke Thailand. Jika ada kesempatan lain, aku ingin memeluknya saat ini, bagaimana tidak? Kita sudah terbentang jarak selama empat tahun. Bahkan hingga saat ini aku belum bisa percaya dengan sosok yang ada di hadapanku ini. Andai ada suatu kesalahan pada dirinya, aku harus ikhlas untuk menerima dan menghapusnya. Namun jika itu adalah hal lain, maaf saat ini pikiranku masih belum bisa mencernanya dengan jernih.
Setelah kepergiannya hari ini, aku pun memutuskan untuk beranjak dari gedung aula pertemuan seminar ini dan kembali ke tempat ketenangan, my jingshi room untuk menyelesaikan tugas-tugas kerjaku. Jam pun sudah berdenting menunjukkan pukul 4 sore, tanpa pikir panjang aku bergegas mengendarai motorku.
Sesampainya di rumah, seperti biasanya aku harus fokus berkutat dengan kerjaanku. Melelahkan memang, namun ini juga merupakan salah satu jalan terapiku.
Drrtt … ponselku bergetar cukup lama, segera aku menggeser tombol hijau yang ada di layar, “Ya, halo?” sapaku. “Sawadde khab, nong.” terdengar suara pria dari seberang sana dan tak asing dengan sapaan itu. “Boun?” tanyaku. “Iyap! Gimana? sudah sampai kondo, kah?” tanyanya yang membuatku tersenyum. “Sudah, sekarang aku lagi kerja sebentar,” jelasku. “Okay, maaf kalau aku mengusikmu sekarang, aku butuh waktu sebentar ya, Nong. Dengarkan aku dulu, agar aku bisa menjelaskan semuanya padamu.” “e … Ya.” Jawabku sedikit bingung.
“Maaf jika selama ini membuatmu khawatir, tapi bukan maksudku untuk meninggalkanmu begitu saja. Sedari awal aku sudah tau terkait traumamu …,” aku pun tersontak mendengarnya. “Bahkan sebelum kamu mulai terbuka denganku, Sis Clarin yang memberitahuku, karena waktu itu aku sangat khawatir denganmu. Nean, aku sayang padamu, sebagai seorang kakak, aku berusaha untuk menjagamu. Sebagai seorang sahabat, aku bersedia menjadi tiangmu kapanpun kamu butuh sandaran …,” jelasnya dan air mataku pun tiba-tiba menetes. “Nean, maafkan jika saat itu aku menghilang darimu, pikiranku kalut sebab rasa yang ada padaku waktu itu, begitupun jarak yang memisahkan kita. Aku disana untuk bekerja dan mengumpulkan uang, agar aku bisa kembali menemuimu. Percayalah, jika kau tanya rinduku jawabannya adalah iya. Namun, aku tak mau berkutat dengan hawa nafsuku saja. Aku mulai mengembangkan diri, dan mulai meluruskan semuanya, demi masa depanku.” “Iya, hiks terima kasih.”
“Bertahun-tahun, Sis Clarin mengabarkan semuanya tentang dirimu, dengan begitu aku bisa memantau dirimu meski kita berjauhan. Tapi yang membuatku bimbang adalah, apakah rasa ini sekedar rasa iba?” “Boun …,” air mataku tidak berhenti mengalir. Ternyata rasa yang selama ini kumiliki adalah rasaku sendiri. Apakah aku memang pantas untuk sendiri? “Nean, aku melakukan semuanya agar kamu percaya diri, agar kamu bisa membuat orang lain percaya bahwa kamu itu orang baik dengan jiwa yang baik-baik saja, dan Nean adalah cahayaku. Nean tidak sendiri, mulai sekarang aku masih bisa menemani Nean disini.” “Terima kasih untuk semuanya, Boun, ternyata kamu masih orang yang sama.” “Yahh! Cengeng ya? Nong nggak boleh cengeng dong, yuk kapan-kapan aku ajak ke Thailand, banyak kuliner disana, kita juga bisa berkunjung ke kampung Jawa loh,” ajaknya untuk menenangkanku. “Wih, uangmu sudah banyak nih?” ejekku sambil mencoba merekahkan senyumanku kembali. “Ah nggak sih, aku mau menebus kesalahanku saja, maaf ya Nean. Kamu akan selalu jadi adik tersayangku kok. Mulai dari sekarang hingga nanti saatnya tiba,” pungkasnya. “Ya.”
Begini saja sudah cukup bukan? Jatuh cinta memang bisa membuatmu berubah menjadi diri sendiri, atau bahkan menjadi orang lain. Boun adalah kakak tersayangku saat ini, meskipun awalnya ia hadir dengan rasa iba, namun ternyata rasa lain di antara kita sangatlah berbeda. Dia sosok insan yang diizinkan Tuhan hadir untuk mengobati lukaku yang semu. Bahkan terkadang kita harus berani menghadapi hari terburuk itu seorang diri, karena itu akan membuat kita sadar sebuah arti dari hari yang baik dalam hidup kita.
Cerpen Karangan: Merlyn AS Blog / Facebook: coretanmas.blogspot.com or Merlynda Aulya Seorang mahasiswi aktif di salah satu universitas Surabaya. Hobinya menulis random seperti cerpen, puisi, dan bersajak. Dia juga pernah turut andil menjadi penulis buku antologi pada masanya, kisah yang ia buat hanyalah khayalan belaka. Sebagai seorang wanita digaris tahun 2000-an, ia tentunya masih perlu banyak belajar. Jumpai dia di ig @mrlynd_ or @coretan.mas