Ini semua tentang kita, tentang bagaimana wajahmu menengok, tentang bagaimana ujung matamu bersembunyi ketika aku menyadari, tentang bagaimana senyum itu muncul ketika aku melihat, tentang bentangan pasir putih dan awan kelabu mengepul di ujung tenggara. Tentang bagaimana tubuhmu yang tetap kukuh ketika ombak menerpa, tentang jemariku yang begetar, tentang kaus putihmu yang sengaja tak kau lepas, tentang tubuh kecilku yang kaku, serta tentang semua mata yang menatapku, tetapi tak satupun menusuk sedalam senyummu.
Kau terombang-ambing layaknya diriku, disini. Ditemani sekian tanaman laut yang lepas, digayuti hewan laut, dikepulan bias busa putih, diantara harapan yang tak pernah terpecahkan. Tubuhmu lebih besar, lebih tinggi. Tetapi aku tahu hatimu mudah terlebur.
Kau menengok sekilas, aku pun begitu. Kau memeluk papan surfing birumu, aku mendekap diriku sendiri, kau membiarkan ombak membawamu maju mundur, aku bertahan keras agar aku tetap berdiri dengan stabil, kau melihat semburat oranye langit dengan wajah puas, aku melihatmu.
Karang tajam dibawahku seakan meronta ketika aku menapakkan kakiku kepadanya, tapi apa boleh buat, aku tidak bisa menapak air. Tidak apa sakit sedikit setidaknya langkahku pasti, tidak akan jadi masalah bagiku untuk terus berharap selagi masih mungkin terjadi.
Deburan ombak semakin mengamuk, menerpa segala yang bisa diterpa, bebatuan, pasir, deguban jantungku. Rasa takutku mulai bermunculan, berapi-api menjalari pembuluh darahku, melintasi setiap keraguan menembus sebuah harapan, semakin terpacu ketika kau terus menoleh, dan kau beralih ketika aku balas menengok.
Kausmu semakin menipis, tattoomu mulai bermunculan, kau masih memeluk papan birumu, rambutmu sehitam jelaga, kau sempurna. Aku berusaha untuk tenang ketika kau mendekat, medorong keras diriku sendiri untuk tetap diam, berusaha mengabaikan. Nihil. Aku berenang menjauh.
Kau terpaku, aku terbelenggu. Kau mungkin bingung, akupun begitu. Kau berhenti menengok dan melaju membilah ombak, membiarkannya membawamu ketengah. Kau pergi, dan aku sendiri.
Belum pernah ada yang seperti ini, saat ini, pada titik ini, aku hanya ingin duduk disampingmu, meski kita tidak berbicara, aku hanya ingin tersenyum melihatmu dengan dekat. Membiarkan jemariku merasakan kulitmu, menyelam sangat dalam pada matamu, hingga aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang membuatmu lemah.
Belum pernah ada yang membuatku lupa dimana aku berada, sebab saat kau pergi seindah apapun tempat ini pasti tidak akan sama. Aku ingin menjadi ombak yang membawa papan surfmu, aku ingin menari diantara mereka, aku ingin melebur merasakan hangatnya kulitmu, aku ingin samudera membawaku setelahnya.
Lalu kau menghilang, aku terus mencarimu diantara papan yang tengah meluncur, diantara orang-orang yang berdiri bebas seakan merekalah yang menggerakan ombak diantara segala kegelisahan. Aku tetap disini, berdiri diatas karang yang tajam dan ombak kecil yang mendorong tubuh kecilku, menunggumu.
Aku menunduk melihat jemariku yang mulai mengeriput, aku sudah terlalu lama berendam dalam air, tetapi dia masih disana. Aku mengabaikan jemariku dan kembali mencarinya. Tetap tidak ada. Hanya aku, orang-orang yang tak kukenal, tanpa dia.
Lalu dia muncul dari arah kiriku, berenang mendekati pesisir dan berjalan menuju singgasana belukar yang disukainya tadi. Jemariku semakin kasar, tubuhku masih hangat, meski aku tahu aku tengah kedinginan, tak apa.
Aku berusaha menyukai segalanya, menikmati semburat langit, mengagumi birunya laut, membenci diriku sendiri. Kau kembali, tanpa menoleh. Kau menuju daratan meninggalkanku. “Tarik saja aku, tak apa” batinku berujar, tetapi untuk ombak alih-alih dirinya, seakan ombak saja enggan menarikku. Aku pun menyerah, aku berjalan menuju daratan.
Aku menjadi perhatian sekali lagi, bukan darimu, kuabaikan. Aku duduk diatas kayu yang masih kuat dan baru. Kau diantara belukar yang entah bagaimana kau menyukainya. Kalau saja kau bertanya dan memintaku untuk duduk disana, asal bersamamu aku mau. Aku selalu ingin melihat senyummu, melihatmu. Tetapi tidak kulakukan, aku hanya diam dan menatap lurus kearah ombak.
Ombak bergulung dengan tertata dan rapi tanpa ada yang tahu apa yang ia lalui, aku mungkin baik-baik saja, tetapi pernahkan kau bertanya pada angin tentang apa saja yang sudah kita lalui, kita tidak pernah baik-baik saja. Aku tidak akan baik-baik saja selagi kau disana menatap punggungku dalam diam, dan tentu aku akan merasa lebih buruk jika aku tidak menyadarinya.
Kulitku menjadi lebih coklat dan aku tahu kau suka itu, lain dengan kulitmu yang memerah, kuharap kau tahu aku juga suka. Aku melangkahkan kakiku sekali lagi menuju air laut. Dingin. Menjalar keseluruh nadiku, membangkitkan bulu kudukku. Sama seperti nanti ketika kau membisikkan sesuatu. Aku tersenyum. Aku membalikkan badan, lautnya tidak dalam hanya sepinggangku, tetapi ketika ombak datang tingginya bisa mengalahkanku. Aku membiarkan ombak menghantam punggungku, dan tentu saja aku melihatmu yang sedari tadi melihatku. “Kemari saja, tak apa” bisikku, kepada sang ombak, berharap angin mengantarkan kepadanya.
Dia mengernyit, kurasa angin tidak mengantarnya. Ombak terus menambrak punggungku tanpa kusadar ombak yang besarnya dua kali lipat akan datang. Aku tidak siap dan tentu saja ombak itu melahapku habis-habisan. Tubuhku berputar dalam pusaran, membentuk lingkaran kecil diujung jemariku. Tubuhku terangkat, rambutku menari, mataku perih, hidungku terbakar. Aku seakan tenggelam. Kakiku terasa perih, kurasa aku menginjak sesuatu seperti karang kecil yang tajam.
Si raksaka itu pergi, membawa seluruh kekuatan dan kehampaan yang tak pernah tergoyah. Aku berkedip, bingung tak karuan. Kini aku menghadap cakrawala, aku menengok kebelakang melihatnya, ia setengah berdiri ancang-ancang sekaan hendak berlari kearahku. Aku tersenyum, “Aku baik-baik saja” kataku melalui ombak lagi. Aku mengatakannya dengan mataku yang perih dan saluran pernapasanku yang terbakar, seakan seluruh kata yang telah kuucapkan adalah racun dan begini rasanya. Menembus tengkorak dan menyakiti perlahan. Seperti pahitnya madu, aku tidak akan pernah tau apa isinya, apa artinya dan apa isi pikiranmu saat ini.
Kau juga kembali tersenyum, menghela napas, kurasa kau lega. Sama sepertiku ketika aku melihatmu. Lega. Aman. Damai. Kini kau bangkit, aku memutar tubuhku, kau melepas kausmu. Melangkah dengan mantap menujuku, tubuhku gelagapan seperti kehausan sedangkan aku dikelilingi lautan. Tetapi hanya lautan luas ini. Yang terperangkap dalam matamu lah yang mempu membuatku merasa cukup.
Aku berusaha berjalan diantara senggolan air. Licin dan sangat tajam aku ingin berbicara dengamu tapi aku tidak tahu. Kakimu panjang, kau melangkah sangat cepat. Satu detik dan kau sudah berada di air. Sedangkan aku masih disini kesulitan melangkah dan aku yakin aku masih berada di posisi yang sama. Kau berjalan menujuku, dan aku hanya diam kali ini. Kau tersenyum, alisku terangkat.
“Just in case if you slip your feet again” katanya. Aku menggeleng, bukan. Bukan itu. ‘Kalau-kalau aku menyukaimu’ lebih tepat.
Cerpen Karangan: E Raditya