Mufti dan Fatika adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di kota Jogja. Mereka baru berkenalan pada akhir-akhir semester dimana studi mereka hampir selesai. Mereka bertemu awalnya karena satu kelompok dalam praktikum, dan Fatika meminta bantuan padanya. Sejak saat itu hubungan keduanya akrab dan berjalan cukup lancar meski tidak mengetahui perasaan satu sama lain.
Sudah setahun mereka sering bersama mulai dari mengerjakan tugas, makan, serta saling bertukar pendapat ketika salah satu dari mereka sukar menentukan keputusan. Fatika sering meminta bantuan kepada Mufti, karena dirasanya Mufti adalah seseorang paling dekat dengannya di fakultas. Fatika sendiri tidak terlalu aktif di kegiatan fakultas, namun lebih aktif di organisasi di luar fakultas, sehingga jarang Fatika memperoleh teman akrab di fakultasnya.
Mufti tidak keberatan jika Fatika meminta bantuan atau pendapat padanya. Karena seringnya Fatika meminta bantuan pada Mufti, maka Mufti merasa bahwa Fatika memiliki perasaan padanya. Demikian pula Mufti, yang juga merasa memiliki perasaan pada Fatika, tapi ragu-ragu untuk mengucapkannya. Masih terbayang dalam benak Mufti masa lalunya dimana ada gadis yang disukainya hanya memanfaatkan bantuan yang ada pada dirinya, setelah itu gadis itu menghilang tak diketahui rimbanya. Tidak ingin dirasanya untuk mengulangi kesalahan yang sama seperti pada masa lalunya
Beberapa waktu kemudian Mufti telah lulus lebih dulu daripada Fatika. Di waktu pengambilan ijazahnya, Mufti juga ditemani Fatika yang tempo hari mengajaknya untuk mengambil ijazah. Setelah itu di pikiran Mufti sedang menimang-nimang sesuatu yang dirasanya penting.
“Apakah benar jika Fatika memiliki perasaan padaku?” pikir Mufti “Sudah setahun kami bersama memang benar kami akrab. Meskipun sifat dan perlakuannya demikan, bukan berarti ia menyukaiku”. Pikirnya lagi
Hal itu masih menjadi konflik dalam diri Mufti hingga beberapa bulan ke depan. Sembari itu pula Mufti juga membantu Fatika mengurus keperluan sidangnya yang baru mendaftar sebulan kemudian. Ditanggapinya dengan sabar pertanyaan Fatika padanya serta dibantu pula mengurus berkas-berkas yang dirasanya sulit. Hingga mendekati sidang tak diragukan lagi bahwa Mufti lah yang membantu Fatika untuk latihan sidang karena tidak ada teman lain bagi Fatika yang sekiranya Fatika percayai.
Mufti melakukan hal itu juga karena masih menunggu panggilan pekerjaan yang sudah ia kirim di beberapa kantor atau perusahaan. Hubungannya dengan Fatika pada waktu itu juga disebabkan karena tidak ada teman lain yang ada bersama Mufti, sehingga tidak keberatan pula bagi Mufti untuk membantunya. Apalagi setelah lulus tentu teman-temannya sudah pada pergi, mulai fokus pada urusannya masing-masing.
Baru setelah Fatika yudisium hal yang janggal mulai terjadi. Fatika sudah jarang menghubungi Mufti, entah apa gerangan. Padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Tidak ada permasalahan yang sekiranya serius bagi mereka. Jika pun Mufti mengirim pesan pada Fatika untuk bertanya kabar, dibalasnya baru beberapa jam kemudian, itu pun hanya sepatah dua kata.
“Mungkin dia lagi butuh sendiri” gumam Mufti agak khawatir. “Atau mungkin ada masalah, tapi dia dulu sering minta saran jika ada masalah” gumam Mufti lagi.
10 hari setelah yudisium tiba-tiba ponsel Mufti bergetar yang menandakan ada pesan masuk. Ternyata dari Fatika yang mengajaknya untuk ke taman pada hari senin pukul 10 pagi. “Aku tunggu besok ya, aku ingin ngomong sesuatu” Isi pesan tersebut. Mufti bingung bukan kepalang. Telah memiliki firasat Mufti jika Fatika mungkin akan bercerita tentang laki-laki lain yang tidak diketahuinya. Namun tetap dibalasnya pesan itu “Baik Tika”
Esoknya pukul 10 pagi Mufti bertemu dengan Fatika di taman sesuai yang dijanjikan. Agak sedih kelihatannya Fatika. Karena dari matanya yang sembab menandakan dia menangis pada malam harinya, menangisi seseorang mungkin.
“Mengapa kau terlihat sedih begitu Tika?” tanya Mufti was-was karena yakin pasti tentang laki-laki lain. “Beberapa hari lalu aku ketemu seseorang, dia orang yang kukagumi waktu masih ngurus organisasi dulu. Dia banyak membantuku saat susah, saat sedih dan saat aku terpuruk. Kemarin aku ketemu dia setelah lost contact dua tahun terakhir ini. Bukan main senangnya aku. Namun saat aku menanyakan padanya bagaimana perasaannya padaku. Dia bilang bahwa dia tidak memiliki perasaan apa-apa” Cerita Tika. “Sebenarnya dulu dia pernah jahat padaku tapi lebih banyak baiknya dibandingkan jahatnya. Aku pikir mungkin akan sangat berbahaya jika tabiatnya dibawa saat menikah nanti, tapi bagaimana pun aku menyukainya, aku tidak ingin kehilangan dia” lanjut Tika sambil terisak
Sedih dan hancur hati Mufti mendengar hal itu. Sia-sia harapan Mufti untuk menyatakan perasaannya pada Fatika. Sudah pasti bahwa setiap perempuan yang dikecewakan oleh laki-laki lain akan susah terbuka hatinya. Butuh berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jika Mufti mengungkapkannya sekarang, hanya akan terlihat seperti orang yang mau bunuh diri. Sudah pasti perasaannya akan ditolak oleh Fatika.
Ditengah kecanggungan itu, ditengah isakan Fatika. Mufti menabahkan hatinya untuk menyemangati Fatika. “Tika kau harus sabar, kau tahu mungkin dia hanya menganggapmu teman saja, tidak menyayangimu. Serta katamu jua bahwa ia telah menyakiti hatimu tapi mengapa kau masih mau dan mengejar laki-laki seperti itu!” kata Mufti.
Namun Fatika tidak berhenti terisak. Masih didekapnnya kakinya. Tidak rela sekiranya pria yang diinginkannya pergi, meski pernah menyakiti hatinya. Pada kondisi itu Mufti hanya bisa mengingat masa lalu. Masa dimana dia sering memberi bantuan, memberi masukan, memberi support pada Fatika. Mufti selalu ada untuk Fatika apa pun kondisinya baik sedih maupun senang. Tapi agaknya hal itu mudah dilupakan oleh Fatika. Hal yang diingat oleh Fatika sekarang hanyalah pria yang dikaguminya 2 tahun lalu, yang telah menyakitinya, namun diinginkannya.
Jam menunjukkan pukul 2 siang Fatika masih terisak pelan. “Makasih Mufti untuk waktunya, mungkin aku harus pulang dulu” pamit Fatika pulang. “Baik Tika, hati hati ya” jawab Mufti sudah tidak berselera.
Mufti sendirian di taman itu. Masih memikirkan kenangan dengan Fatika, sepertinya dia juga masih berat meninggalkannya. Dalam kekalutan pikirannya itu dia teringat pula cerita akan teman-teman perempuan sekampusnya yang diputus oleh pacarnya. Entah karena ketahuan selingkuh, bermain kasar, melecehkannya, dan lain-lain. Kenyataannya yang Mufti dengar sebagian besar teman perempuannya balikan ke pacarnya lagi meskipun pernah disakiti.
“Kenapa ya wanita lebih menyukai pria yang menyakiti dirinya?, meskipun tidak semua” gumam Mufti. “Ataukah memang sebagian besar wanita lebih menyukai pisau yang menyayat hatinya” gerutu Mufti sambil berkemas pulang
Cerpen Karangan: Muhamad Hamzah Blog / Facebook: Muhamad Hamzah