Lima hari perjuangan mengahadapi soal ujian yang mengerikan sudah berlalu. Aku tidak perlu takut kepalaku menguap lagi karena terlalu fokus memikirkan soal. Aku duduk di atas kursi plastik warna putih. Kursi sejuta umat yang dapat kau kenali dengan mudah hanya dengan melihatnya. Akun permainan berlevel tinggi terpampang di layar komputer kesayangan. Sejumlah cemilan ringan tergeletak di samping keyboard warna-warni edisi terbaru. Event spesial akhir pekan yang kutunggu-tunggu telah dimulai. Aku dapat menyelesaikannya dengan mudah jika aku bermain beberapa jam. Seharusnya itulah rencana hari ini.
Tapi, kenapa aku berada di tempat entah berantah ini? Pemandangan penuh dengan warna hijau terasa asing di depan mata. Pohon-pohon besar menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan. Rindangnya pepohonan menyembunyikan langit dari pandangan. Sinar matahari yang seharusnya sedang terik-teriknya tidak mampu menembus kanopi hutan. Aku yang terbiasa berdiam diri di dalam ruangan kini berada di tengah hutan.
Lama aku berjalan menyusuri jalan setapak ini. Jalur yang hanya terbuat dari tanah, becek karena air, sisa hujan semalam. Beberapa kubangan air berwarna coklat terlihat sepanjang jalan. Aku melangkah, berhati-hati, menjaga langkah agar tidak terjatuh. Aku tidak mau kamera yang kubawa di dalam tas selempang rusak. “Kenapa tadi malam harus hujan, sih?”
Seorang gadis yang dari tadi ikut berjalan di belakangku mengungkapkan kekesalannya. Gaun pendek ala gadis perkotaan yang dipakainya terlihat mencolok di tengah lebatnya hutan. Kulit kaki serta tangannya terbuka, tak terlindungi dari ancaman serangga yang bisa saja menyerang. Salah satu tangannya menenteng dua buah sepatu hak tinggi kotor. Tangannya yang lain sibuk memegangi bajuku, takut terjatuh. Nama gadis itu adalah Melisa. Kami bersekolah di tempat yang sama. Aku tidak bisa mengatakan kalau kami berdua dekat. Hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik kelas.
Lalu, kenapa kami berduaan di dalam hutan? Jawabannya simpel: aku terpaksa. Semenjak kemarin pagi, Melisa terus memohon padaku menemaninya berfoto untuk perlombaan, katanya. Melisa yang aku kenal memang seperti ini. Dia selalu memintaku melakukan hal yang ia katakan, bahkan semenjak pertama kali kami mengenal. Mulai dari menemaninya belajar soal ujian di perpustakaan, sampai harus mendengarkan curhatannya semalaman. Aku yang tak terbiasa berargumen tidak dapat menolak permintaannya. Begitulah hari ini, sekali lagi, aku menjadi budak pesuruh yang menuruti semua kemauan Melisa.
“Sudah kubilang, jalannya akan seperti ini kalau habis hujan.” ucapku mencoba menenangkannya. “Mau pulang saja?” aku berhenti sejenak dan mengalihkan pandanganku kepada Melisa. “Enggak mau. Kita harus melakukannya hari ini” jawabnya menolak.
Melisa mendorong tubuhku sedikit ke depan, memaksaku terus berjalan. Deras aliran air terdengar lemah dari kejauhan. Mungkin Melisa tidak mau kembali karena kita sudah dekat? Tempat yang kami tuju, menurut informasi Melisa, adalah sungai kecil yang berada di tengah hutan. Air sungai itu bening. Bebatuan besar menghiasi di sepanjang tepiannya. Belum banyak orang yang mengetahui keberadaan sungai itu karena letaknya yang tersembunyi dan sedikit jauh dari pemukiman.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Suara aliran sungai semakin terdengar keras di telinga. Tidak lama kemudian terlihat tempat yang kami tuju. Sungai kecil dengan bebatuan berwarna abu-abu kehitaman di pinggiran, sesuai perkataan Melisa. Air sungai itu berkilauan, memantulkan cahaya surya. Langit biru dengan sedikit awan di atas sungai tak tertutupi kanopi hutan. Latar rindang hijaunya hutan menambah keeksotisan tempat ini. Kicauan burung hutan bercampur gemercik air yang terus terdengar dari aliran sungai, menciptakan kesunyian yang menenangkan.
Kami terdiam di tepi sungai. Kupejamkan mataku menikmati suasana yang jarang kurasakan ini. Mengikuti permintaan Melisa untuk datang kesini sepertinya bukanlah hal yang buruk. Suasana asri alam yang belum terjamah manusia memberikan ketenangan. Kedamaian seolah merasuk ke dalam jiwa.
“Kak, cepetan foto” Saat aku kembali membuka mata, Melisa sudah berada di atas salah satu batu besar, menyuruhku untuk memotretnya. Melisa duduk di atas batuan besar itu dan mulai berpose menyilangkan kaki. Aku ambil kamera dari dalam tas, bersiap memfoto. Senyum manis terlihat dari balik kamera.
Klik Figur gadis kota duduk di atas batu pinggir sungai tersimpan dalam kameraku. Melisa kembali berdiri, membersihkan bagian belakang pakaiannya dan menuju ke arahku. Kuperlihatkan hasil tangkapan gambar kepadanya.. “Jelek. Ulang lagi.” Aku menghela napas. Jika Melisa ingin aku memfotonya, aku tahu bahwa aku harus melakukannya berulang kali.
Kami mengulangi hal yang sama, tentunya dengan sedikit variasi. Mulai dari berdiri di atas bebatuan sungai sampai berpindah tempat ke tengah sungai yang ternyata tidak terlalu dalam. Semua untuk mendapat hasil foto yang bagus.
“Mel, berhenti sebentar. Istirahat” ucapku Aku duduk di salah satu batu besar. Aku memilih tempat yang teduh tertutupi pohon agar tidak kepanansan. Kutaruh kamera di sampingku dan mengajak Melisa ikut beristirahat. Meskipun Melisa awalnya menolak, setelah melihat aku yang kelelahan, ia memilih untuk ikut beristirahat. Dia duduk di sampingku, di atas batu yang sama denganku.
“Jadi gimana? Tempatnya bagus, kan?” tanya Melisa antusias. “Iya. Bagus” jawabku singkat. Wajah Melisa terlihat cemberut mendengar jawabanku. Aku berpura-pura tidak tahu. Aku mengalihkan pandanganku ke sungai. Arus sungai mengalir tenang, tidak terlalu deras walau semalam hujan. Ikan-ikan kecil sesekali terlihat bersembunyi di sela-sela bebatuan. Terkadang daun yang jatuh dari pohon, hanyut terbawa arus sungai. Melihat hal biasa seperti itu entah kenapa memberikan ketenangan tersendiri.
Kembali aku memikirkan hubunganku dengan Melisa. Kenapa dia selalu datang padaku dengan dengan berbagai keinginnnya? Kenapa ia tidak meminta teman sekelas atau orang lain? Kebanyakan permintaannya mengharuskan bersama dengannya sendirian. Bagimana ia terus meladeni sikapku yang kata orang dingin dengan selalu memasang senyum hangat. Seolah Melisa mencoba menarik perhatianku untuk terus tertuju padanya.
“Kak” Suara kecil Melisa memanggil, memecah aku yang terfokus dalam pikiran. Kepalaku spontan menengok ke arah suara itu berasal. Klik Suara jebretan kamera terdengar. Kamera yang tadinya keletakkan di sampingku kini berada di tangan Melisa. Kamera itu menutupi sebagian wajah Melisa, kulihat sebelah matanya menutup dan yang lain berada dibalik kamera. Melisa memfotoku diam-diam.
“Ah, kok eggak senyum sih, kak? Enggak jadi bagus hasilnya, deh.” gerutu Melisa. Merasa tidak puas dengan hasil foto yang baru ia ambil, Melisa mengalihkan perhatiannya ke kamera. Ia melihat satu-persatu gambar dirinya yang telah kuambil sebelumnya. Sesekali ia mengomel jika melihat gambar yang tidak bagus. Kemudian, ia langsung tersenyum saat melihat foto dirinya yang bagus, memujinya berlebihan.
Aku melihat semua itu dari samping. Sebuah perasaan memaksaku untuk terus memandangi hal yang ia lakukan. Mengamati bagaimana dengan mudah wajah itu berganti-ganti ekspresi. Caranya menyikapi sesuatu secara berlebihan, penuh dengan jiwa, tidak pernah membuatku jenuh.
“Kenapa, kak?” Alis Melisa naik seraya pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Terlalu lama aku memandangnya mungkin membuatnya merasa aneh. Tetapi, pandanganku menolak untuk beralih. “Enggak apa-apa” jawabku.
Tanpa kusadari kedua ujung bibirku naik ke atas, menciptakan lengkungan senyum sederhana. Entah Melisa memang suka memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya sendiri, atau ia memang menginginkanku untuk memperhatikannya. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Melisa. Hal yang kutahu dengan pasti adalah keseharianku yang membosankan terasa menjadi lebih berwarna setiap kali aku bersamanya. Ocehan gundah, gerutu yang menyebalkan, senyuman manis, hal yang menurutku asing untuk kurasakan ada pada dirinya. Dia seolah membuatku tidak sabar dengan hal asing apa yang ia perlihatkan lagi padaku. Semua itu membuatku tertarik.
“Kamu cuma kelihatan cantik”
Di dalam kedamaian hutan, di pinggir aliran sungai yang menghanyutkan, di atas batu besar nan kokoh, sosok malaikat yang tanpa sadar membuatku terpikat memiringkan kepalanya kebingungan.
Cerpen Karangan: Ishan Dulliet