“Jika aku tahu merindu tak akan ada obatnya kecuali pertemuan, maka aku ingin menjadi seorang apoteker saja, lalu meracik obat penawar rindu.”
—
“Tak ada yang berubah, tempatnya masih sama. Bukan, maksudku hanya catnya saja yang berubah. Ruangan itu juga masih sama. Poster, papan tulis, posisi bangkunya juga masih sama. Begitu pula hatiku, masih sama dengan lima tahun yang lalu.
Mataku masih setia menatap bangunan itu. Berbagai serpihan ingatan masa lalu pun menggerogoti otakku, namun berusaha aku tepis dengan memori ingatan lainnya, tetapi lagi-lagi aku gagal. Kini ingatan itu semakin menuntunku mengingat semuanya.
“Dia menyukaimu, dia juga orangnya baik. Keluarganya juga berasal dari keluarga yang baik-baik. Kau tak tertarik dengannya?” tanya temannya kala itu dengan menatapku. Aku hanya diam. Pikiranku bukan pada perkataan temannya, tetapi dia. Yah, dia yang berada di samping temannya, menemani temannya mengatakan hal itu kepadaku.
Aku hanya menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Tatapan mataku kini beralih ke bawah, bukan lagi mereka. Aku bingung harus berkata apa. “Apakah dia sama sekali tak memikirkan perasaanku? tidak, maksudku apakah dia sama sekali tak mengetahui bahwa aku menyukainya melalui sikapku selama ini?” batinku.
“Dia cantik, pintar, dia juga peringkat umum di sekolah kita” ucapnya menimpali perkataan temannya sembari tersenyum tipis. Aku hanya diam mendengar ucapannya. Untuk pertama kalinya ia berbicara denganku di luar dari masalah pelajaran. Untuk pertama kalinya aku melihat senyumnya yang tulus kepadaku, meskipun hanya senyum tipis, tetapi kenapa harus dalam hal seperti ini.
Dia masih menatapku, menunggu kata-kata yang akan kuucapkan. Namun, aku masih diam dan tak berniat membahas masalah itu. “Mana mungkin aku membalas perasaan orang lain sedangkan hatiku sudah penuh dengan namamu.” Ingin rasanya aku mengatakan seperti itu. Ah sudahlah, dia perempuan yang tak pernah peka. Selalu saja seperti itu.
Dulu, kupikir menaklukkan hati perkara gampang, tetapi nyatanya tidak. Dulu, kupikir semua perempuan sama, tetapi lagi-lagi aku katakan tidak. Termasuk dirimu, kau berbeda dengan perempuan yang kukenal. Kau dengan ciri khas cuekmu, kepintaranmu, sikapmu, yang ternyata mampu meluluhkan hatiku yang beku, hatiku yang tak pernah tertarik dengan perempuan mana pun, tetapi kau dengan mudahnya mengetuk pintu hatiku lalu memporak-porandakkan semuanya begitu saja dan menghilang tanpa jejak. Haruskah aku melupakan perasaan yang menyiksa ini? haruskah aku berhenti mencari tahu tentangmu?” tanyaku pada hati yang selalu merindu.
—
Aku mengendarai motor menyusuri jalan raya dengan santai. Sesekali kuperhatikan orang yang lalu-lalang di depanku. Namun, pandanganku tiba-tiba berhenti pada satu titik di ujung jalan. “Dia… akhirnya aku menemukanmu” batinku, dan masih menatapnya dari kejauhan. Tak ada yang berubah darinya, senyumnya masih tetap sama, bahkan menurutku dia semakin dewasa dengan balutan kerudung yang semakin menjulur ke bawah menutupi tubuhnya. “Aku harus menyapanya, atau paling tidak tersenyum kepadanya. Tidak salah bukan jika aku menyapanya atau tersenyum sebagai seorang teman yang pernah satu sekolah dengannya? ralat, buka teman, tetapi lebih tepatnya pengagum rahasia” batinku.
Motor yang kukendarai semakin mendekat ke arahnya. Aku pun sudah bersiap-siap memberikan senyum termanisku. Namun, kau tahu apa yang terjadi? dia tak mengenaliku, bahkan motor yang kukendarai pun sudah melaju agak jauh darinya, tetapi aku masih tetap memberikan senyum termanisku. Namun, lagi-lagi dia tak membalas senyumku. Dia melupakanku, dia sama sekali tak mengingatku. Ah sudahlah, dia betul-betul melupakanku. Sepertinya aku memang tak pernah ada di hatinya. Namun, apakah aku salah jika mencoba mendekatinya lagi? berusaha mengingatkannya kembali?.
Aku kembali berjalan menyusuri jalan yang pernah mempertemukanku dengannya. Namun, aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan tak terasa telah bertahun-tahun aku selalu melewati jalan itu, tetapi lagi-lagi aku tak pernah menemukannya. Ah, sungguh sial. Takdir seolah-olah tak pernah berpihak kepadaku. Ingin rasanya aku menghentikan waktu, lalu memintanya ke masa lalu. Masa ketika aku dengan mudahnya sering memperhatikannya secara diam-diam, memandangnya dari kejauhan, dan mengaguminya dalam diam.
Pertemuan pertamaku dengannya kala itu kini telah terhitung tahunan. Namun, namanya tak pernah terlupakan. Hatiku saat ini seolah-olah telah terpenuhi dengan namanya. Jika kau tanyakan perasaanku, aku katakan tak ada yang berubah, rasa ini justru semakin menuntut dan menyisahkan kerinduan yang selalu menyiksaku sepanjang waktu.
Entah kenapa, hatiku tak pernah berhenti mencintainya, padahal ragaku sudah sangat lelah dengan rasa ini. Jujur, berbagai upaya pun telah kulakukan untuk melupakannya, bahkan aku pernah memaksa hatiku untuk mencintai perempuan lain. Namun aku tak pernah berhasil, aku tak pernah tertarik dengan perempuan mana pun selain dia. Bisa dikatakan dia perempuan terindah yang pernah kutemui, dia sosok wanita yang langka. Hmm, ibarat barang antik saja, tetapi itulah realita perasaanku untuk menggambarkan tentangnya.
Waktu berjalan begitu cepat, bagi orang-orang yang menikmati harinya dengan hal-hal yang menyenangkan. Berbanding terbalik denganku yang bertahun-tahun menjalani rasa yang menyakitkan. Hari-hariku rasanya seperti boneka yang fisiknya terlihat, tetapi tak bernyawa. Ah, rasa ini benar-benar menyiksaku. Namun, aku tak tahu harus ke mana mencarinya. Menyerah saja? itu sepertinya ide yang bagus, tetapi permasalahannya hatiku tak ingin menyudahi semuanya.
Aku masih berdiri mematung di tempat yang sama, menatap bangunan yang selalu kukunjungi. Namun, tiba-tiba pandanganku menangkap sosok yang telah kucari bertahun-tahun. Aku pun menghampirinya dan semakin mendekat ke arahnya.
“Kau masih mengenaliku?” tanyaku langsung pada inti yang ingin kuketahui. Hening, tak ada jawaban darinya. Kulihat ia sedang berusaha mengingatku. “Kau masih tak mengingatku?” tanyaku lagi dan masih menatap bola mata hitamnnya. “Tidak” ucapnya singkat dengan gaya bicaranya yang memang sedari dulu selalu singkat, padat, dan jelas. Aku hanya menghela nafas panjang. Aku bingung bagaimana mungkin aku mengatakan perasaanku jika ia tak mengenaliku. Aku pun berusaha menjelaskan identitas diriku yang pada akhirnya ia mengingatku, tetapi gaya bicaranya masih seperti tadi.
Aku pun berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan semua rasa yang kualami. Namun, semuanya gagal setelah kulihat seorang anak kecil yang berlari menghampirinya dan memanggilnya ibu. Hatiku bagai luka yang tersiram air garam yang menyisahkan keperihan. Mulutku terasa kaku untuk berbicara lagi dengannya dan memilih meninggalkannya bersama anak kecil itu.
Cerpen Karangan: Serliana Blog / Facebook: Serliana