Untuk permulaan, izinkan saya memperkenalkan diri kepada kalian. Perkenalkan, saya adalah siswa SMA kelas tiga. Mempunyai satu adik dan dua kakak. Mempunyai ayah bunda yang luar biasa. Mempunyai teman-teman yang tidak biasa. Saya juga manusia, mempunyai rasa. Terlebih itu cinta. Cukuplah dengan enam kalimat perkenalan diri saya.
Sebelumnya, saya tidak pernah acuh pada perasaan ini. Perasaan ketika melihat figur mata almond-nya. Hati saya serasa digelitiki. Terlintas percakapan kecil antara saya dan bunda saya kala itu, “Mad, pasti di sekolah kamu banyak anak ceweknya, ya?” Mata bunda saya menyipit. “Iyalah, Bun. Namanya juga sekolah. Eh, tapi nggak ah, jumlah cewek dan cowok disana sama aja. Seimbang dan merata,” jawab saya seadanya. “Cantik-cantik?” Tanya bunda lagi. “Dimana-mana semua cewek itu hakikatnya emang cantik, kan?” saya balas tanya. Bunda saya melanjutkan angkat bicara, tetapi sebelumnya ia menghela napas panjang, “Iya, sih. Tapi, maksud bunda tuh, kamu gak ada rasa tertarik gitu sama salah satu cewek disana? kayak semacam jatuh cinta gitu.” Mendengar itu saya hanya angkat pundak. Bunda hanya tersenyum tipis, dan lanjut bicara, “Mad, kamu boleh suka atau semacamya sama lawan jenis kamu, Ayah dan Bunda gak ngelarang itu. Tetapi, jangan sampai rasa suka dan semacamnya itu melebihi rasa cinta kamu sama Allah. Kamu tau arti surat Al-Isra ayat 32, kan?” Saya respon ucapan Bunda dengan anggukan. Terlebih untuk pertanyaan akhir yang ia berikan. Setelah itu, bunda menepuk halus pundak saya dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
Kesimpulannya, saya tidak boleh pacaran. Dilarang agama. Itu juga nasihat Ayah Bunda. Tapi, nafsu saya memberontak ketika si dia lewat depan saya. Mata almond-nya selalu menjadi kafein yang membuat saya ketagihan untuk terus menatapnya. Ketika saya sadar itu dilarang, saya segera menunduk, menatap lantai yang telanjang.
Saatnya saya perkenalkan kalian semua dengan si dia. Dia adalah Rilis. Lengkapnya, Amarilis Syifa Rachmani. Setiap saya berpapasan dengannya, ada sesuatu di dalam sana yang tidak bisa diam. Tidak seperti biasa. Lajunya terlalu cepat, mengalahkan kecepatan terbangnya pesawat. Bergemuruh, layaknya ombak laut ketika badai sedang lewat. Intinya, jantung saya berfungsi abnormal ketika berpapasan dengan Rilis.
Amarilis termasuk salah seorang siswi yang dikenal oleh seluruh warga di sekolah saya—dan Rilis tentunya. Dia merupakan wakil ketua osis, mendampingi Fajar, sang ketua osis yang sempat dikabarkan memiliki hubungan khusus dengan Rilis. Saya sempat dilema pada saat mendengarnya. Mau galau, gak boleh, gak galau, saya maunya galau. Soalnya, mereka berduaan mulu, sih. Kan, saya jadi sedih. Tetapi tak berselang lama, Rilis mengklarifikasi bahwa dia dan Fajar hanya sebatas teman bertukar pikiran.
Rilis juga merupakan siswi yang berprestasi. Dia selalu mendapat peringkat yang layak diapresiasi. Juara umum selalu didapati. Walau bukan peringkat kesatu, setidaknya dia selalu berada di posisi setelah satu. Jelas, saya terkagum akan itu.
Rilis menata hidupnya dengan penuh perawatan. Setiap pulang sekolah, saya sering melihat dia di salon kecantikan yang bersebelahan dengan restoran padang langganan saya biasa makan. Datang ke sekolah pun, Rilis menggunakan mobil yang bisa ditebak harganya sekitar satu milyaran. Saya lupa katakan, jika Ayah Rilis adalah pemilik sekolahan. Sekolah yang kali ini menjadi salah satu latar akan cerita yang saya tuliskan. Tetapi, walaupun berbelit kemewahan, Rilis maupun Ayahnya tetap dermawan.
Saya dan Rilis berbeda kasta. Setiap pulang sekolah, saya tidak pernah pergi ke salon kecantikan. Datang ke sekolah pun, saya hanya naik angkutan. Saya dan Rilis juga berbeda kelas. Itu membuat saya memanjatkan rasa syukur yang tak terbatas. Karena dengan begitu, konsentrasi belajar saya tidak akan terganggu. Dan tentunya tidak menjadi penyebab bertambahnya dosa saya yang sudah menebal jutaan ribu.
Ketika jam istirahat, saya selalu ke perpustakaan sendirian. Sedangkan Rilis makan ke kantin bersama teman-teman. Sebenarnya saya juga diajak seperti demikian, tapi saya menolak dengan alasan masih kenyang karena sarapan. Teman duduk saya, Fadli, pernah berkata demikian karena saya selalu melontarkan penolakan, “Mad, badan lo tuh udah kurus, gak usah pake acara kenyang-kenyangan segala. Kalo Emak gue ngeliat lo nih ya, lo udah dipake buat nyapu teras depan rumah gue kali. Disangka sapu lidi lo!” Dan pada akhirnya, ya… saya tetap ke perpustakaan lah!
Rilis selalu bersikap ramah kepada semua. Terkecuali kepada orang-orang yang selalu setia mengganggunya. Di sekolah, dia memiliki banyak penggemar, dari mulai siswa pecinta balap liar, sampai siswi pecinta mawar. Saya bukan termasuk penggemar Rilis, karena saya bukan siswa pecinta balap liar, dan pastinya saya juga bukan siswi pecinta mawar. Saya hanya menyimpan rasa kepadanya dalam diam, juga dalam batas wajar.
Saya bersusah payah untuk menundukkan kepala atau bersikap biasa saja ketika berpapasan dengan Rilis. Itu benar-benar sulit bagi saya. Bagaikan menahan air yang sudah di pelupuk mata agar tidak terjatuh pada saat menangis—kalian jangan dulu tergelak, saya juga, kan, punya hati yang tak selalu bengis. Padahal, disitu Rilis hanya lewat lima detik, tidak lama untuk bicara bisnis. Saya memang terlalu dramatis. Lagi pula, mana mungkin, sih, Rilis menilik saya? Kalau Rilis apatis terhadap saya, tak ragu untuk saya percaya.
Jumat memanglah hari yang penuh dengan keberkahan. Bukan hanya keutamaan-keutamaan yang diindahkan, tetapi, karena setiap hari itu, dia selalu menggunakan jilbab yang membuatnya semakin rupawan. Saya saja sampai tak henti-hentinya mengucapkan tasbih dan tak jarang pula saya beristigfar. Terkadang, jilbab yang dia kenakan tidak beraturan, rambut hitamnya juga berhamburan keluar. Saya tidak mau Rilis menggunakan jilbabnya secara berantakan, karena dia memakai jilbab hanya sekali dalam sepekan. Dan saya harap, Rilis mau menggunakan jilbab setiap saat, karena memang sudah kewajiban sebagai umat islam perempuan, kan? Oleh sebab itu, setiap hari jumat, saya selalu berpura-pura memindahkan kaca yang telah tertata di aula ke tempat dimana ada dia disana. Berharap semoga dia melihat patulan raganya. Saya rela dianggap orang gila. Tetapi, semua itu terbayar ketika dia berkata, “Gila, ini jilbab gue berantakan banget, ya. Eh tolong bantu benerin jilbab gue dong!” Saya lega dibuatnya. Sampai lupa harus memindahkan kaca kembali ke aula. “Siapa orang gila yang nyimpen kaca disini, sih?!” Suara Pak Tegar menggelegar.
Sesuai dengan arti namanya, Amarilis itu sangat berkilau. Amat memukau. Wajar jika semua pria terpukau. Tapi dia malah membuat saya pakau.
Untuk mencari seorang pendamping, Amarilis tak perlu harus menangis. Cukup hanya dengan tersenyum manis pun, banyak cincin yang berebut minta dipasangkan di jari manis Rilis. Itu sangat jauh berbeda dengan kisah legenda namanya. Ketika saya dan Bunda sedang berkunjung ke sebuah toko bunga untuk hadiah ulang tahun Ayah, saya melihat Bunga Amarilis yang terbuat dari plastik. Itu mengingatkan saya dengan Rilis, seseorang yang sudah berkeliaran di dalam hati dan pikiran saya. Saat itu juga, saya bertanya kepada Bunda, “Bun, bunga Amarilis punya filosofi dan legendanya gak, sih?” Bunda tersenyum nyeleneh, saya tentu was-was. Takut kalau Bunda saya tahu jika saya sedang penasaran dengan seorang wanita yang bernama Amarilis. Saya bernafas lega ketika Bunda saya merespon dengan kalimat, “Ya ampun Ahmad, selama ini kamu belum tahu tentang filosofi dan legendanya Amarilis?” saya menggeleng sambil nyengir. “Dikira Bunda kamu sudah tahu, ‘kan kamu suka baca,” kata Bunda. Iya sih, saya memang suka baca, tetapi saya belum pernah membaca tentang legenda Amarilis, mungkin saking terpesonanya dengan Amarilis versi manusia yang sudah kelewat manis.
Sebelum saya angkat bicara, Bunda sudah menyela, “Gini lho, Mad. Jadi, dibalik namanya yang elok, amarilis ternyata menyimpan kisah cinta yang tragis. Legenda menyatakan bahwa amarilis merah memiliki kaitan dengan kisah cinta Peri Amarilis yang jatuh hati kepada seorang gembala bernama Alteo.” Bunda tarik napas sebentar, lalu lanjut mendongeng lagi, “Alteo ini memiliki ketampanan seperti Apollo dan kekuatan seperti Hercules. Kamu tau Apollo dan Hercules, kan?” Saya mengangguk, “Tau, Bun.” Bunda ikut mengangguk, “Syukur, deh. Nah, tapi sayangnya, cinta Peri Amarilis bertepuk sebelah tangan. Ia berharap bisa memenangkan hati Alteo dengan meminta nasehat Oracle di Delphi. Sesuai dengan nasihat yang diberikan, ia pun muncul di depan pintu Alteo dengan menggunakan gaun berwarna putih dan menusuk hatinya dengan panah emas.” Saya meringis mendengarnya.
“Heh, itu muka kamu kenapa digituin?” Bunda menekan pipi saya dengan telunjuknya. “Ah, anu… udahlah, Bun, lanjut aja ceritanya.” Saya jadi malu kalau tadi muka absurd saya tidak bisa ditahan. “Tadi sampai mana, ya? Oh iya. Kejadian Amarilis yang menusuk hatinya dengan panah emas itu terjadi hingga hari ke-30, hari ketika Alteo baru membukakan pintunya. Alangkah terkejutnya Alteo lantaran menyaksikan bunga-bunga cantik berwarna merah bermekaran di sepanjang jalan. Katanya, bunga tersebut berasal dari tetesan darah sang peri. Akhirnya, Alteo pun berusaha untuk mengobati hati sang peri agar sembuh kembali. Jadi, wajar Bunga Amarilis itu memiliki arti berkilau sekaligus melambangkan kegigihan. Berkilau untuk menggambarkan eloknya sang peri, dan kegigihan ya bukti perjuangan cinta peri kepada Alteo. Udah ah, Mad. Bunda capek. Kalau mau tahu cerita selengkapnya tanya aja ke Mbah!”
Saya membuang napas, padahal, kan, Bunda yang cerita sampai berbusa. Tapi, detik selanjutnya saya mengernyit bingung, “Apa, Bun? Tanya ke Mbah? Mbah siapa?” Bunda mendekatkan bibirnya ke telinga saya, “Mbah Google!” Saya pasrah, deh. “Nah, kamu juga harus kaya sang peri, dong, Mad! Harus gigih buat ngejar cintanya Rilis!” Serius ini Bunda saya sudah berteman akut sama Mbah Google. Saya langsung lari ketar-ketir keluar toko, sementara Bunda cuma cengar-cengir. Dan saya baru sadar, kalau ternyata kami lupa tujuan utama; Beli bunga untuk Ayah! Tuh, kan, cerita saya tentang namanya aja sudah tertuang dalam 527 kata.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com