Rilis sangat percaya diri. Setiap ada acara sekolah, suaranya selalu mendominasi. Sedangkan saya, hanya diam membaca buku di perpustakaan, atau menghafal ayat demi ayat dalam Al-Qur’an untuk disetor kepada ayah sehabis maghrib nanti. Tetapi, untuk hari ini, di tengah suasana perpustakaan yang sepi, saya mendengar suara bidadari.
“Ahmad!” Subnaallah! Itu bidadari nyasar kali, ya? Bukannya pulang ke kayangan, ini malah ke perpustakaan. “Hai, Ahmad!” Saya yakin, pasti ini saya lagi mimpi. Tapi, kayaknya keyakinan saya itu cuma ilusi. Buktinya Amarilis ada disini. Di depan saya yang sedang menahan gemuruh di hati. Saya tampar pipi saya berkali-kali, dan memang, kenyataannya bukan mimpi!
“Halooooooo!” Rilis melambai-lambaikan tangannya di depan muka saya. Serius, saya kikuk. Muroja’ah pun saya lakukan. Hitung-hitung supaya hafalan surah saya tidak hilang. Tetapi… “Heh! Lo manusia, kan?!” Rilis malah kalap. Dikira dia, saya— “Gue orang, woy! Bukan reinkarnasi setan! Lo gak perlu baca ayat kursi kayak gitu! Gue gak bakal kepanasan.” Yah, Rilis salah! Orang saya lagi baca surah Ar-Rahman. Loh, kenapa saya baca surah ar-Rahman, ya? Ah, tidak apalah. Cocok sama situasi, kan? Apalagi, pas di bagian ayat yang diulang-ulang, dimulai dari ayat 13 dengan arti, ‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?’ Di depan saya soalnya, kan, lagi ada bidadari.
“Gila ini gue lama-lama. Heh, serius gue tanya sekali lagi. Lo ma-nu-si-a, kan?” Rilis menyentuh kening saya, otomatis saya segera menghindar, lah. Belum muhrim, kata Bunda. Rilis sempat membulatkan mata almondnya ketika mendapati respon refleks saya, tapi kemudian tatapannya seperti sedia kala. Sendu yang menghangatkan.
“Suhu tubuh lo normal. Ya, walaupun banyak banget keringet di dahi lo itu. Abis ngapain, sih lo? Makan bakso merconnya Mbok Darmi? Gaya banget.” Rilis tersenyum miring. Biar kata orang itu senyum mirip psikopat yang mau ngebunuh kelinci buat disate, tapi bagi saya… iya juga, sih. Mirip psikopat gitu.
Okelah, sebelum sekolah ini jadi banjir gara-gara keringat saya, lidah saya mulai bekerja, sehingga menghasilkan kata, “Iya, ada apa?” Aduh, itu tadi saya gak yakin itu suara saya apa suara kentut ayam. “Akhirnyaaaaaaa. Lo tau ga? Pas lo ngomomg tuh, gue kayak abis buang air kecil yang udah gue tahan pas ulangan matematika. Lega-lega gimana… gitu.” Haha Rilis saya garing banget. Eh, Rilis saya?
“Lo Ahmad, kan?” Dengan tatapan saya yang masih setia terhadap lantai yang belum disapu, saya mengangguk sedikit ragu. Tuh, kan, Rilis pasti gak kenal saya. “Aduh, tolong ya mata lo natap gue kek. Padahal hampir setiap pulang sekolah gue ke salon, perawatan, tetep aja masih kalah cantik sama lantai yang belom Pak Udin sapu.” “Kata Bunda, gak boleh lama-lama natap cewek. Nanti jatuhnya zina mata,” ini kalimat terpanjang saya bicara dengan Rilis. Sumpah. Soalnya, kan, saya belum pernah bicara sepatah kata pun sama dia selama ini. Rilis tertawa renyah. Serasa ada angin surga yang menyapa ramah. “Ini mah beneran calon suami idaman!” Pundak saya ditepuk oleh tangan mungil Rilis. Tapi saya tetap diam, tidak mengindar, sebab sibuk dengan tiga kata terkahir yang Rilis lontarkan. ‘Calon suami idaman’
“Mad! Ajak gue Ta’aruf, dong!” Ya Allah, tolong hamba-Mu yang ingin kejang-kejang ini. Ayah, Bunda, jemput Ahmad untuk pulang, soalnya badan Ahmad seketika meriang. Jantung saya loncat ke tenggorokan. Tangan saya gemetar gak karuan. Keringat saya juga sudah berhamburan, berkejaran dengan angin yang membuat saya semakin kewalahan. Saya sudah tidak tahan, ingin pura-pura pingsan.
“Yaelah, Ahmad, please lo tatap mata gue sedetik aja!” Ya Allah, hamba harus gimana? Tapi, tidak sopan juga kalau diajak bicara tidak menatap sang komunikator. Baiklah, akhirnya saya menatap mata Rilis.
Ketika, saya menatap mata almondnya, saya beku. Serasa diikat tali kaku. Mata saya terpaku. Lidah saya kelu. Ini adalah kali pertama saya melihat langsung almond itu, yang juga menatap langsung mata saya. Jika ini terlalu hiperbolis, permohonan maaf tercurahkan dari saya. Tapi yang membuat saya terkejut adalah Rilis yang juga terlihat sedikit terkejut ketika mata kami yang sama-sama menyambangi. Tidak lama untuk larut di dalam keterkejutannya, selanjutnya dia bersikap seperti semula. Saya benar-benar terlena akan pesona matanya. Almond itu sudah membuat saya tercubit, karena telah melanggar perintah-Nya. Saya tidak bisa tahan. Saya tidak bisa mengalihkan mata saya dari mata almond itu. Saya—
“Cut!” Heh? “Oke, cukup.” Hah? “Akting lo boleh juga, Lis,” kata cowok bertubuh jangkung dengan Olympus E-M10 Mark II yang terpampang di lehernya. Saya sama sekali tidak menyadari kehadirannya yang ternyata bersamaan dengan kehadiran Rilis. Itu Fajar.
“Bukan gue doang kali, Jar. Nih, si Ahmad juga gak kalah keren!” Mereka ini apa-apaan, sih? “Mak-maksud kalian apaan, sih?” Saya tidak tahan, sampai akhirnya masuk ke dalam pembicaraan. “Ahmad, kita berterima kasih banget sama lo,” ujar Rilis bungah. “Iya, Bro. Thanks parah.” Fajar menjabat tangan saya, sebagaimana dua pihak yang sedang menjalankan bisnis bersama. Saya membalas. Hanya dengan gerakan, tidak dengan perkataan. Saya sudah kehabisan kata untuk membalas perkataan yang mereka keluarkan.
“Oke, jadi gini, Mad. Gue sama Fajar lagi bikin project. Ya, semacam ajang promosi buat MPK Osis tahun ini. Kita pengen, MPK Osis tahun ini, beda dari tahun-tahun kemarin. Kayak ada sedikit unsur random shootingnya gitu, deh. Biar pada tertarik,” Rilis tersenyum tipis. Saya serasa ingin menangis. Rilis melanjutkan bicaranya, “Sebenernya, kita gak niat buat jadiin lo sebagai model, sih. Ini bener-bener kebetulan. Gue yang lagi liat cowok di dalem perpus sendirian, menurut gue itu cocok buat dijadiin pemeran. Ya udah, akhirnya gue sama Fajar masuk, dan ternyata itu lo. Uhm, Lo bener yang namanya Ahmad, kan?” Saya lagi-lagi hanya dapat mengangguk. “Lo gak usah gugup gitu kali, Mad. Seantero sekolah udah tau kalo lo itu nyimpen rasa sama si Rilis,” Fajar merangkul kedua bahu saya. Muka saya benar-benar merah. Antara malu dan marah. Fajar bisa gak sih, kalo ngomong itu disaring dulu? Saya berusaha melepaskan rangkulan Fajar, dan berhasil. Detik selanjutnya saya berucap dengan suara yang sama sekali tak pantas untuk disebut sebagai suara, “Enggak, kata siapa saya nyimpen rasa sama Ri-Ri—” “Rilis! Tuh, nyebut nama gue aja gemeteran gitu, Jar,” Rilis tersenyum sarkastik. “Gak salah lagi, Lis.” Fajar ikut-ikutan.
Saya tidak tahu apakah saya masih dalam ambang batas kesadaran atau sudah berada di dalam bulan. Intinya kaki saya sudah tidak tahan untuk menopang tubuh saya yang gemetaran. Saya tahu ini berlebihan, tapi ini kenyataan.
“Udah mau bel masuk, saya duluan,” alibi saya. Ketika saya ke perpustakaan, kan, ada di jam pelajaran ke delapan, harusnya sebentar lagi pulang. “Dasar, demen banget sama yang berbau belajar, sih, lo. Selalu juara umum juga, mana peringkat kesatu terus lagi. Ini 5 menit lagi pulang kali,” kata Fajar. Dia tahu juga jika saya—
“Gue baru tau, ternyata lo itu Ahmad Ramadhan. Jadi, selama ini, kita bersaing ya?” Tapi sayang, Rilis baru tahu. Saya hanya tersenyum samar. Padahal hati saya sudah menjerit ingin lari tebirit-birit karena kejadian yang baru terjadi sekitar lima menit. Seharusnya saya sadar, Rilis tidak akan pernah seperti itu kepada saya. Dia aja baru tahu saya beberapa menit yang lalu. Mungkin selama ini dia hanya tahu nama saya, tanpa tahu raga saya. Saya memang terlalu bawa perasaan. “Saya permisi,” pamit saya kepada mereka berdua.
Ketika saya baru sampai depan pintu perpustakaan, ada suara yang sudah sekian kali membuat hati saya melambung, juga jantung yang detaknya semakin tak terhitung. “Ahmad, tunggu!” Rilis berlari menghampiri saya yang sudah tak kuat berdiri.
“Soal Ta’aruf yang gue bilang tadi, itu bukan cuma termasuk dialog syuting, ya! Gue serius. Nanti malam gue tunggu lo dan keluarga lo buat makan malam di rumah gue. Jangan sampe lo gak dateng. See ya!” Rilis lari, mendahului saya yang sudah gak kuat diri. Serius, saya beneran gak kuat diri. Itu tadi ajakan Amarilis Syifa Rachmani, kan? Saya beneran pingsan. Di depan perpustakaan.
Cerpen Karangan: Naaa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com