Dear diary, cerita ini kutulis saat aku benar-benar sedang patah hati.
Pagi ini gerimis tipis membasuh jalanan kota, ditengah lalu lalang orang yang mengawali kesibukan mereka masing-masing. Gerombolan murid SMA yang berdesakan di halte menunggu jemputan umum mereka, barisan pengendara motor yang lupa membawa jas hujan di tepi jalan, orang-orang dengan setelan rapi dan dengan sok sibuknya terus melirik arloji sambil menghentakkan kaki mereka ditengah orang-orang yang juga mengejar waktu. Tak seperti mereka diluar sana, aku duduk termenung menikmati dinginnya pagi sambil memerhatikan tetesan gerimis yang mengembun dibalik jendela bus yang kutumpangi. Seperti biasa, jalanan akan macet setiap habis turun hujan karena banjir. Aku menikmatinya, suasana pagi ini dan menanti kelas pagi yang hanya akan diisi dengan acara bersih-bersih kelas yang artinya jam kosong.
“Boleh duduk disini?” mendengar suara itu aku menoleh perlahan, dan belum genap aku mengangguk sebagai tanda iya anak laki-laki itu sudah bertengger manis di sebelahku. Tatapannya lurus kedepan, sambil sebelah telinganya yang dipasang earphone mendengarkan musik yang samar-samar sampai juga di telingaku. Aku tersenyum tipis sekilas dan kembali beralih melihat pemandangan tetesan gerimis yang mengembun dibalik jendela bus yang kutumpangi. Canggung, itulah yang kurasakan. Tak sepatah kata pun yang keluar sepanjang perjalanan yang lambat ini.
Sial! Aku mengumpat dalam hati. Perasaan aneh menjalar di tubuhku. Pikiranku berputar pada kenangan masa lalu saat kita benar-benar seperti seorang kakak adik. Ya, anak laki-laki disampingku pernah kuanggap sebagai kakak, dia adalah sahabatku. Setidaknya kami pernah bersahabat. Tubuhnya tinggi jangkung, diberkati dengan kulit putih dan mata tajam dia benar-benar diidolakan banyak murid perempuan. Dulu kami hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama, bagaimana dia yang sering menjahiliku sampai kadang aku menangis. Bagaimana dia yang menjadi satu-satunya temanku dan entah bagaimana kami tak saling mengenal satu sama lain.
Sejak hari kelulusan berlalu dan libur panjang memutuskan hubungan kami tanpa sebab. Saat kembali dipertemukan pada sekolah yang sama dia bukan lagi sahabat yang kukenal. Dia bukan lagi teman yang aku anggap sebagai kakak. Dia adalah orang asing bagiku. Bukan perkara mudah berlagak seolah kami bukan siapa-siapa, mengingat orang yang tak lagi bertegur sapa denganku adalah orang yang spesial itu membuatku sakit. Dan yang lebih menyakitkan adalah aku menyukainya, aku ingin dia lebih dari sekedar sahabat yang kupunya.
“Biru? Pulang sekolah boleh ngga ngobrol sebentar?” tanyaku lamat-lamat. Lirih seperti nyaris aku sedang berbisik. Sesaat aku menyesali pertanyaan bodoh barusan, kuharap dia tak mendengarnya. “Boleh,” dan begitulah jawaban singkat yang berlanjut pada hening sepanjang perjalanan menuju sekolah. Kami berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi aku segera meninggalkan ruang kelas. Mengatur napasku dengan baik dan memantapkan langkah menemui Biru. Kulihat ia sudah berdiri di gerbang sekolah dengan ransel yang menggantung di salah satu pundaknya. Entah kenapa aku merasa sedikit gugup, buru-buru aku berusaha memantapkan langkah hendak mengampirinya dan sebuah tangan menggamit lenganku menuju belakang sekolah. “Jingga, temenin gue fotokopi dong sebentar,” Melodi, salah satu teman karibku di kelas ini sepertinya tidak bisa membaca suasana hatiku. “Tapi gue ada urusan Mel, sama yang lain gih,” ucapku mencoba melepaskan diri dari gamitannya. Sesekali aku menoleh kebelakang, Biru masih disana.
Menunggu cetakan kertas yang terus menerus keluar dari mesin fotokopi membuatku gelisah. Satu jam yang lalu rencanaku untuk bertemu biru gagal oleh sahabatku yang tidak peka ini. Semoga Biru masih menunggu. Dan tentu saja, saat aku kembali ke sekolah anak laki-laki itu sudah tidak ada. Biru pasti pulang, mana mau dia menunggu selama itu hanya untuk “sekadar ngobrol sebentar”. Dia pasti mengira aku bohong. Ah sial! Aku menggeram dalam hati. Usahaku untuk mengembalikan pertemanan kita gagal. Aku harap masih ada kesempatan kedua.
Setelah hari itu aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa memperbaiki persahabatanku dengan Biru. Aku duduk berpangku tangan sambil melihat teman-temanku yang asik sendiri di jam kosong ini. Samar-samar kudengar suara dari meja seberang.
“Eh Biru mau ulang tahun enaknya gue ngasih kado apa ya?” aku melirik sekilas. Putih dan geng cabe-cabeannya kali ini menarik perhatianku.
Bukan berita baru lagi kalau Biru dan Putih sedang dekat, dan ya aku tahu seminggu lagi adalah hari ulang tahun Biru. Jelas aku lebih tahu dari dia karena aku adalah sahabat Biru sejak SMP. Setidaknya kami pernah bersahabat. Sebuah ide melintas di pikiranku, tanpa pikir panjang aku segera mengajak Melodi ke sebuah toko jam tangan sepulang sekolah. Berbekal uang tabungan yang kupunya aku menunjuk sebuah jam tangan yang mengingatkan pada sosok Biru. Aku akan memberikan ini sebagai kado Ulang Tahun.
“Biru! Selamat Ulang Tahun ya” ucapku tulus sambil kusodorkan Jam tangan yang dibungkus paperbag kecil. Kulihat anak itu menatapku sesaat dan menerima kado itu. “Makasih,” dan dia berlalu pergi.
Sebenarnya aku agak kecewa, bukan respon dingin itu yang aku harapkan. Aku ingin ini menjadi kesempatan kedua agar kita bisa seperti dulu, kembali menjadi sahabat yang menjagaku seperti kakak menjaga adiknya. Tidak, aku ingin lebih dari itu.
“Maksud lo apa kecentilan gitu sama Biru?” Putih. Anak itu berdiri sambil bersedekap di depan pintu kelas menghalangi jalanku. “Hah?” jawabku tak mengerti. “Jingga? Lo tau kan Biru lagi deket sama gue? Lo kenapa centil banget sih pake ngasih kado segala?” “Lhah emang kenapa? Kan gue temennya Biru,” jawabku tegas dan sialnya si Putih dan geng cabe-cabeanya malah menyeringai. Mereka nggak percaya, itu pasti. “Biru aja nggak nganggep lo temen, bego” balas Putih diikuti anggukan setuju dari teman-teman gengnya. Aku diam. Malas meladeni mereka.
Yang bego itu kalian. Kalian mana tau gue yang sahabatan sama Biru lebih dari tiga tahun, gue yang lebih dulu kenal sama biru dan gue yang duluan sayang sama biru. Lo namanya aja yang putih, tapi kelakuan kaya bangsat. Anjirr! batinku
Harus kuakui Putih memang anak yang cukup terkenal, wajahnya cantik, tubuhnya mungil dan dia memiliki otak cerdas. Sedangkan aku hanya Jingga, tidak terlalu terkenal dan bukan anak cerdas pemegang ranking di kelas. Aku hanya biasa-biasa saja.
Beberapa hari setelah Ulang Tahun Biru, aku sering memperhatikannya di sekolah. Lebih tepatnya, aku memperhatikan pergelangan tangannya. Tak sekalipun aku melihat jam tangan yang kuberikan melingkar disana. Tak sekalipun. Saat jam olahraga usai aku segera menuju kantin dan disana aku mendapati Biru tengah duduk sendirian. perlahan kuberanikan diri menyapanya.
“Hai Biru!” ia hanya melirik sekilas. “Jam tangannya kok ga pernah dipake?” sekali lagi Biru hanya melirikku sekilas “Ilang,” jawabnya singkat dan berlalu pergi. Aku hanya tersenyum melihatnya melangkah hingga punggungnya hilang di belokan. Sakit? Tentu saja aku sakit hati. Bahkan aku sekuat tenaga menahan tangis.
Aku baik-baik saja.
Setelah jam istirahat usai aku kembali ke kelas. Tak biasanya kelas seramai ini. Anak-anak tengah mengelilingi bangku tempat duduk Putih sambil mengucapkan selamat. Aku melangkah tak peduli ke tempat dudukku disamping Melodi. Kulihat anak itu tampak menatapku sambil memberikan senyum prihatin. Dia tau aku suka Biru meskipun aku tak pernah mengatakannya, dia tahu.
Aku membalas senyumnya, aku tahu aku sudah kalah. Biru tak akan pernah memilihku. Aku menghembuskan napas berat dan menatap keluar jendela. Rasanya tidak adil langit biru tampak begitu cerah sementara suasana hatiku diliputi badai. Aku menatap lamat-lamat langit itu, Biru memang terlalu tinggi buatku, terlalu jauh buatku dan dia tidak akan pernah kugapai. Sudah saatnya aku menyerah.
Yahh begitulah Diary, aku harap siapapun yang membaca cerita ini dia memiliki kisah cinta yang lebih baik dari yang kupunya.
~ Didedikasikan untuk salah satu sahabatku.
Cerpen Karangan: Indar Widia Blog / Facebook: Indar Widiastuti Rahayu Silahkan bagi yang ceritanya ingin dibuat dalam bentuk cerpen dan dipublikasikan boleh DM instagram @widiaayu.idr
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com