Hari yang cerah dimulai dengan pagi yang cukup dingin, masih jam delapan pagi. Aku bersiap berangkat sekolah dan sempat membetulkan kerudungku di depan kaca rumahku, lalu bersiap pergi namun terhenti ketika Bunga keluar dari rumahnya dan memanggilku.
“Kenapa, Bung?” tanyaku sambil menoleh padanya. “Salam buat Ari ya, bisa kan?” ucapnya sambil terkekeh. “Oke! nanti kalau ketemu Kak Ari tapi,” jawabku juga sambil terkekeh.
Setelahnya, aku mulai berjalan menuju jalanan menurun penuh batu yang membuat siapapun enggan untuk melewatinya, namun tak ada pilihan lain karena ini jalan terdekat menuju sekolahku. Oh iya, namaku Alisa Kallina biasa dipanggil Caca, berusia 17 tahun dan duduk di kelas 10 SMK. Dan tadi, dia adalah Bunga, dulunya kakak kelasku dan sekaligus teman sekelas Kak Ari, seniorku. Namun, Bunga tak melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMK dan memilih untuk bekerja saja.
Di perjalanan yang cukup panjang ini, aku tak henti-hentinya mengagumi pemandangan sawah di bawah jalan sana. Padinya tengah menghijau, membuat mata sangat nyaman untuk terus fokus padanya. Selain itu, di ujung sawah juga terdapat gunung yang terselimuti oleh awan. Ini bulan Ramadhan, masuk sekolah pun hanya untuk mengikuti kegiatan ramadhan seperti membaca Al-Qur’an dan mendengarkan ceramah dari guru.
Sesampainya di gerbang sekolah, kulihat Juna tengah melambaikan tangannya padaku, ahh teman seperjuanganku sejak SMP itu memang yang terbaik dari yang lain. Jika orang lain akan menjadi cuek pada teman wanitanya diluar kelas, dia berbeda, Juna selalu menyapaku dimanapun dan kapanpun kami bertemu, cukup romantis bukan? Namun, hubungan kami tak lebih dari teman sekelas dan aku pun agak jengkel padanya.
Aku sontak berlari ke arahnya sambil tersenyum. Di samping Juna, terdapat Kak Ari yang awalnya sedang mengaji namun kini menghentikan aktivitasnya begitu aku sampai disana dan duduk disamping Juna.
“Jangan deket-deket, gue punya wudhu,” peringat Juna lalu dirinya malah menggeserkan tubuhnya dan hampir menempel dengan Kak Ari. Mendengar itu, aku melirik Juna dengan tatapan tak percaya dan tak bisa berkata-kata.
Sementara, Kak Ari hanya tertawa melihat kami berdua yang sudah bertengkar bahkan baru beberapa menit setelah kami bertemu. Jika boleh jujur, senyum Kak Ari sangat manis dan bisa menjadi candu bagi wanita manapun yang melihatnya. Tak heran, Kak Ari menjadi siswa paling populer sejak SMP hingga saat ini dan beruntunglah dia yang pernah menjadi wanita pujaannya meski sebentar karena dari rumor yang kudengar, Kak Ari sangat sulit mempertahankan hubungan dalam waktu yang lama.
Jika boleh jujur lagi, aku juga sempat menyukai Kak Ari dan kemungkinan besar saat ini pun begitu. Kedekatan kami bermula, ahh tolonglah mungkin hanya aku yang menganggapnya dekat karena Kak Ari sangat dekat dengan semua orang. Saat kelas 8 lalu, aku pernah terpilih dalam olimpiade sains antar kabupaten dan saat itulah kakak kelas yang mengajariku dan menemaniku latihan adalah Kak Ari. Dirinya yang peka dan perhatian, benar-benar membuatku terpesona dan mulai jatuh cinta dalam diam.
“Kamu ceweknya sendirian loh Ca, kelas 10 pada gak datang kayaknya, gak apa-apa?” tanya Kak Ari. Tuh kan, Kak Ari bahasanya halus banget. Dia tak pernah berkata kasar pada siapapun padahal aku adalah adik kelasnya tapi diperlakukan sesopan itu, siapa yang biasa saja setelah ini berarti dia tidak normal.
Mendengar pertanyaannya saja membuatku berdebar, aku pun berpura-pura terkejut, “serius? Yaaa,” ucapku dengan penuh kekecewaan. “Kan ada gue,” ucap Juna. Wajahku berubah tak semangat lagi mendengar Juna barusan, hampir lima tahun kami sekelas dan aku sudah bosan dengannya. “Iya, tapi_” “Ada Kak Ari juga, kenapa harus khawatir,” ucap Kak Ari sambil menampilkan senyuman menawannya yang membuat bibirku kembali tersenyum dengan alaminya. “Nanti sore Caca ada di rumah, kan?” Heh? Apa? Maksudnya Kak Ari mau ke rumah aku gitu?
“Emangnya kenapa, ya?” tanyaku dengan kebiasaan berpura-pura polos dan tak mengerti namun hal itu malah membuat Juna mencibirku dan terkekeh pelan sambil menatapku dan aku hanya berpura-pura tak terganggu saja sambil fokus pada Kak Ari.
“Siapa tau nanti sore ketemu,” ucap Kak Ari sambil tersenyum lagi. Sial, kenapa sih Kak Ari selalu tersenyum saat bicara, kan aku jadi tak bisa fokus pada apapun selain bahasa halus dan senyumannya. Ia lalu berdiri, “pamit ya Jun, Ca,” ucapnya lalu mulai berjalan meninggalkan kami.
“Kak Ari!” aku berdiri dan berjalan sedikit agar lebih dekat dengan Kak Ari yang membelakangiku. Kak Ari kemudian menoleh dan bertanya dengan wajahnya. Aku tak yakin dengan apa yang aku ucapkan, namun itu adalah amanah sehingga aku hanya tersenyum, “ada salam dari Bunga buat Kak Ari!” ucapku.
Mendengar ucapanku barusan, Kak Ari hanya tersenyum lalu mengangguk pelan, “salam balik ya,” ucapnya lalu pergi berlalu menuju kelasnya.
Sepeninggalnya, aku masih terdiam di tempatku berdiri. Rasanya ada sesuatu yang hilang namun apakah itu, sepertinya harapan. Dan lagi, dulu Kak Ari dan Bunga sangat dekat hingga banyak rumor pacaran namun Bunga malah berhenti sekolah, membuat rumor itu hanya sebatas kabar angin semata. Aku tak menyesal dengan ucapanku tadi, lagipula Bunga adalah sahabatku dan dia memberiku amanah yaa harus aku sampaikan.
“Harusnya gak lo bilang tolol! Kalau lo suka si Ari, lo tutup jalan lain dong ahh,” omel Juna sambil merangkulku dan menyeretku pergi, ia sepertinya tak peduli lagi dengan wajahku yang sedikit pun tak mendukung niatnya itu.
Tiba-tiba aku terdiam dan menoleh ke arahnya, ia pun ikut menoleh, “katanya lo punya wudhu,” ucapku. Juna terdiam sebentar lalu perlahan tangannya terlepas dari bahuku, “itu, udah kentut gue,” ucapnya sambil cengengesan dan aku hanya menatapnya tanpa ekspresi saja sambil kembali berjalan bersamanya.
Sore itu, aku yang berada di rumah sepupu mendadak pamit untuk pulang. Entah untuk alasan apa, aku berjalan dengan senyuman yang tercetak nyata di wajahku. Beberapa kali bercermin dan membetulkan kerudungku sambil menuruni jalanan menuju rumahku. Aku terdiam di tempatku melihat Kak Ari yang menghentikan motor matik berwarna birunya, di dekat rumahku. Tanpa aba-aba, aku pun berlari ke arahnya.
“Sore Kak,” sapaku sambil terkekeh. Kak Ari mengangguk, “kan, kita ketemu,” kekehnya. “Ayo, Ari,” ucap seseorang yang ternyata Bunga, ia baru keluar dari rumahnya dengan pakaian rapi berkerudung merah muda berjalan mendekati kami.
Sontak aku memundurkan tubuhku beberapa langkah, “kalian…” “Kami mau jalan-jalan sedikit lah, ngabuburit,” ucap Bunga sambil tersenyum. Kak Ari mengangguk sambil tersenyum seperti biasa, “cepet naik Bunga!” ucapnya.
Sangat sulit mempertahankan senyuman di wajahku namun tak ada pilihan lain, aku hanya melambaikan tanganku begitu mereka meninggalkan halaman rumah yang cukup luas itu. Membalikkan badan tanpa semangat sedikit pun, aku hanya berjalan dengan lemas menuju rumahku.
“Kenapa lama banget kamu jalan disitu kesini juga,” ucap Ibuku yang berdiri di ambang pintu rumah. Aku hanya tersenyum dengan paksa, “kan puasa, Bu,” jawabku sekenanya.
Aku kemudian berjalan menuju kamarku dan duduk di kursi belajarku, mataku kini terfokus pada poster-poster di kamarku dan berusaha melupakan semua hal yang dirasa mengusik hatiku dan membuat batinku lelah tanpa alasan.
Handphone bergetar menandakan pesan masuk, kulihat Juna mengirimiku pesan dan isi pesannya hanya membuat semangatku kian menyurut. Bukan apa-apa, dia mengatakan bahwa dirinya melihat Kak Ari berboncengan dengan Bunga menuju tempat tongkrongan yang cukup hits di tempatku.
Hari-hari berikutnya dapat kulihat bahwa Kak Ari menjadi lebih sering mengunjungi Bunga dan mereka sering pergi bersama, entah kemana itu. Bohong, jika aku tidak cemburu atau iri. Aku iri, aku marah, aku cemburu, namun aku merasa tak pantas untuk merasakan perasaan-perasaan seperti itu.
Aku bukan membenci Bunga, hanya saja hubunganku dengan Kak Ari selama ini baik-baik saja sampai Kak Ari dan Bunga kembali berhubungan. Aku ingin marah namun tak memiliki hak untuk itu. Sampai akhirnya, aku harus menyadari siapa aku, siapa Bunga dan siapa Kak Ari.
Bertahun-tahun aku berusaha mencapai puncak itu hingga menghiraukan keadaan sekitar dan melupakan seluruh perasaanku pada orang-orang yang berusaha peduli, hanya untuk sebuah puncak yang belum tentu akan tercapai meski sudah berusaha semaksimal mungkin.
Aku keluar dari kelasku dengan wajah sumringah, bagaimana tidak, kelas baru saja selesai dan besok hari minggu tentu saja aku senang. Ramadhan tinggal satu minggu lagi, momen berharga yang datang satu tahun sekali itu hampir menjadi kenangan. Ahh, aku menyesal, harusnya aku tidak menyia-nyiakan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini hanya untuk memikirkan hal-hal yang tak bisa menambah pahala.
“Caca!” Merasa dipanggil, aku pun menoleh dan terlihatlah Kak Ari sedang berjalan ke arahku. Merasa tak sopan, aku pun berjalan ke arahnya dan terdiam ketika kami sudah agak dekat, “bukannya dari tadi udah pulang ya, Kak?” tanyaku heran. “Aku nunggu kamu Ca,” ucapnya. Aku pun mengerutkan keningku namun aku sudah tak ingin berpura-pura polos lagi, aku tersenyum tipis dan berinisiatif bertanya lebih dulu, “mau_” “Mau titip ini sekalian salam sama Bunga,” ucap Kak Ari yang membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah tas kecil berwarna merah muda entah apa isinya.
Sudah kuduga akan seperti ini, aku pun meraih tas itu perlahan tanpa berniat mengintipnya sedikit pun, “kenapa gak kasih langsung aja?” heranku. “Hmm, sore nanti aku kayaknya bakal sibuk tapi insyaallah sehabis terawih nanti malem bakal kesana,” ucapnya. Aku hanya mengangguk mengerti dan tak berniat melanjutkan percakapan itu, “yaudah, nanti aku kasih ini sama Bunga, aku pamit ya,” ucapku lalu pergi dari hadapan Kak Ari.
Sepulang sekolah tentu saja aku langsung memberikan bingkisan dari Kak Ari itu pada Bunga dan tentu saja ia sangat senang menerima hadiah pemberian itu tanpa penolakan sedikit pun.
Lagi, hatiku merasa hampa tanpa alasan. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai laki-laki yang nyaris sempurna dalam tingkah dan lakunya itu, meski sulit namun tetap harus kucoba. Toh, di Indonesia terdapat jutaan laki-laki yang mungkin lebih baik darinya.
2 tahun kemudian Aku tersenyum dengan buket bunga yang kupeluk di tangan kananku. Bukannya sombong, sebagai lulusan terbaik tentu saja membuatku senang sekali hingga tak tahu harus berkata apa lagi. Ku menoleh dan disampingku Juna juga tengah menatapku dan tersenyum, ia menyandang peringkat kedua dari keseluruhan. Layaknya takdir, kami pun berdampingan di panggung hari ini.
Setelahnya, aku pergi berjalan-jalan sendirian, melihat sekeliling tempat yang pasti menjadi gudang kerinduan akan masa belasan tahun paling menyenangkan dalam hidup. Meski hidup sangat misterius, setidaknya di tempat inilah aku banyak belajar entah pelajaran dalam buku atau pelajaran yang diambil dari kisah-kisah guru yang menginspirasi dan menjadi cerminan dalam memilih kehidupan yang lebih baik.
Dengan balutan baju wisuda lengkap dengan topinya dan bersiap untuk pulang, langkahku terpaku begitu sampai di depan gerbang. Bagaimana tidak, sekumpulan lulusan tahun kemarin hadir untuk mewarnai pesta hari ini, sontak hal itu membuatku mengurungkan niat untuk pergi lebih awal.
Sambil tersenyum, seorang laki-laki dengan kameja putih menghampiriku, “selamat Ca, akhirnya kamu lulus juga,” ucap Kak Ari. Tanpa diperintah, aku pun tersenyum dan mengangguk. Kulihat hampir semua lulusan hadir untuk reuni namun ada satu orang yang hilang dari pandanganku, “Bunga dimana, ya? Harusnya dia datang, kan?” gumamku. Kak Ari terlihat menunduk dan tersenyum menatapku, entah apa maksudnya, “sebenarnya aku sama Bunga udah berpisah sejak sebulan aku ngasih barang titipan buat dia sama kamu waktu itu,” ucapnya. Mataku membelalak tak percaya, “kok bisa?” “Bisalah,” kekeh Kak Ari. “Tapi kenapa?” Kak Ari makin terkekeh, “sebenarnya…”
“Ayo, pulang Ca,” ajak Juna yang tiba-tiba muncul dan meraih pergelangan tanganku namun dilepaskan lagi ketika ia menyadari ada orang lain disana, “ehh Ari? Apa kabar?” ucapnya sambil tertawa. “Baik kok Jun,” jawab Kak Ari. Aku pun ikut tertawa, “kami pamit ya Kak,” pamitku lalu memberikan kode pada Juna dan kami pun pergi meninggalkan Kak Ari yang hanya menjawab dengan anggukan saja.
Setelah beberapa langkah dalam kepergianku, mata sialanku masih saja ingin menoleh dan melihat Kak Ari namun Juna beberapa kali mengingatkanku untuk melihat ke depan saja dan melupakan jalan yang telah dilalui apalagi jalan itu bukanlah sesuatu yang harus dispesialkan.
Bagi yang masih mengharapkan seseorang, tolonglah berhenti karena membuang waktu saja dengan harapan yang kosong. Lihatlah sekelilingmu, terkadang improvisasi lebih baik dari rencana awal.
Cerpen Karangan: Evi Karlina Sebenarnya, aku tahu tentang cerpenmu.com dari tahun 2018, waktu itu ada lomba bulan bahasa di sekolah dan aku baca contoh2 cerpen dari sini dan alhamdulillah aku juara saat itu. Ini pertama kalinya aku pede upload cerpen, aku biasanya nulis di aplikasi online namun terus berhenti di tengah jalan dan sekarang aku mau mencoba lagi. Makasih cerpenmu.com. Mohon bantuannya.