Itukah kamu? Sepasang kaki yang kelak akan menderap beriringan dengan langkahku. Itukah kamu? Segenap jemari yang akan bertaut menghangatkan kebekuanku. Kepada satu nama yang sejak hadirnya tak pernah luput kulangitkan bersama puja pinta, kuajak kau percaya bahwa rencana Tuhan selalu lebih indah dari yang kita mohonkan.
Dadaku bergemuruh. Akhir-akhir ini, Mas Miqdam kerap memposting fotonya di Facebook dengan caption yang terkesan merujuk kepada seseorang, lebih tepatnya kepada gadis yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya.
Jujur, ulu hatiku seperti disentil sesuatu. Tiga tahun yang lalu saat dia memutuskan mondok lagi untuk menghafal Al-Qur’an, pelan-pelan kami semakin berjarak. Bahkan, dua tahun terakhir ini komunikasi di antara kami benar-benar terputus.
Ah, sudahlah. Harusnya aku sadar diri kenapa Mas Miqdam selalu aktif di media sosial, tetapi chat yang kukirim satu bulan lalu hanya ia baca tanpa balasan satu huruf pun.
Wajar, bukan? Jika sebagai orang yang mengenalnya, aku turut mengucapkan selamat pada hari di mana perjuangannya menghafal Al-Qur’an sampai di titik khatam. Kurasa itu tidaklah berlebihan.
“Bengong terus … habis nyapu bengong, habis bersihin kaca bengong, sekarang lihat hape bengong lagi,” ucap Syam sembari mengambil posisi duduk di sampingku. Sambil sedikit bergeser menjauh, kujawab, “Jurnal buat tugas UTS belum kelar, nih.” “Selama UTS ini, mendingan kamu cuti dulu biar nggak kecapekan dan bisa fokus sama kuliahmu,” sarannya.
Syam benar. Beberapa hari ini aku memang tidak fokus dengan kuliahku karena kelelahan bekerja, tapi penyebab utamanya bukanlah itu. Melainkan ada prahara yang menerjang hatiku.
“Bu Maria pasti ngasih izin kok,” lanjutnya lagi. “Nanti kamu sendirian dong.” “Gampanglah, Zay. Lagian kalau bulan puasa gini kan nggak terlalu ramai.”
Kulirik pemuda itu yang tiba-tiba saja sudah melesat ke sana-kemari untuk mengelap meja dan kursi. Jam-jam tepat setelah salat tarawih begini, kedai ayam geprek Bu Maria memang masih sepi.
Aku beranjak ke meja pemesanan. Hening. Di kedai sederhana ini, hanya aku dan Syam yang berjaga setiap malamnya.
“Mbak, pesen nasi ayam geprek dua sama es teh dua ya.” Aku cepat-cepat berdiri setelah tadinya berjongkok untuk mengambil nota pembelian di laci bawah.
“Pedasnya level ber—” Kalimatku terhenti begitu netraku beradu pandang dengan si pemilik suara. Meskipun tak lama, tapi cukup untuk membuatku mampu menyelami kedalaman matanya.
Kosong.
“Pedasnya level berapa, Mas?” tanyaku mengulangi dengan nada setenang mungkin. Padahal, jantungku berdetak melampaui batas normalnya. Tanpa ragu dijawabnya, “Tujuh. Semua.”
Duh, Gusti …
Tubuhku gemetar bukan main. Pemuda yang baru saja berdiri di depanku dengan setelan kemeja biru muda dan sarung hitamnya adalah sosok yang sangat kuhafal gerak-geriknya. Aku tak mungkin salah lihat. Suara dan caranya berjalan saat menghampiri kawannya yang sudah terlebih dahulu memilih bangku, itu semua sangat tidak asing.
“Ya Allah, Zayna … bengong lagi kan,” tegur Syam. Tangan kananya menyodorkan dua gelas kosong kepadaku, sementara dia sendiri mulai memasak.
Entahlah, terkadang aku merasa frustasi dengan perasaanku sendiri. Ada masa di mana rinduku meletup-letup, tetapi hatiku sama sekali tak mengharap adanya pertemuan. Pada waktu yang lain, perasaanku kepada Mas Miqdam seperti telah menguar dan hambar. Namun, kenyataanya aku selalu gelisah setiap melihat rona bahagia dalam fotonya yang dibubuhi kata-kata super romantis itu.
Rasa takut kerap menyergapku. Bagaimana jika kini di hatinya telah bertahta nama gadis lain? Apa aku akan turut bahagia atau justru luluh lantak?
PYARRR Kaki kiriku sudah berdarah-darah saat Syam menghampiriku dengan raut panik. Dia bahkan sampai berjongkok untuk memastikan keadaan kakiku.
“Udah, Syam, udah … nggak apa-apa, ini paling cuma kegores dikit kok.” “Nggak apa-apa gimana, Zay. Ya Allah … kamu hati-hati dong,” kata pemuda itu sambil mondar-mandir mengambil kursi dan kotak PPPK.
Aku sedikit meringis kesakitan saat tangan kekar Syam mulai mencabut serpihan kaca yang menancap di punggung kakiku.
“Kamu layanin mas yang di depan aja, Syam. Nggak enak, ‘kan, kalau mereka harus nunggu lama. Ini biar aku obatin sendiri,” ucapku sambil membersihkan darah yang masih terus mengalir.
Ceroboh! Rutukku pada diri sendiri. Padahal, aku ingin sekali mengantarkan makanan itu kepada Mas Miqdam. Aku ingin tahu apakah dia akan tetap datar seperti tadi? Atau mungkin hatinya sedikit melunak dan mau menyapaku?
Setelah mengobati kaki dan membersihkan serpihan-serpihan gelas kaca yang tercecer di dapur, aku bergegas menuju meja pemesanan lagi.
“Kamu kenapa sih, Zay? Ada masalah apa? Nggak biasanya kamu kayak gini,” tanya Syam dengan suara pelan. Aku menggeleng singkat. Ahmad Ihtisyam Mahadhir, pemuda yang pernah kutolak perasaannya, hingga detik ini dia masih tetap baik kepadaku. Di antara kami seolah tak pernah terjadi masalah apa pun, ya, walaupun aku sendiri tak pernah tahu kemelut di hatinya. Dia benar-benar pemuda yang pandai menjaga sikap.
Mataku bergantian menatap punggung Mas Miqdam dan jemari milik Syam yang bergerak-gerak di pangkuannya. Tiba-tiba aku merasa telah melakukan kesalahan yang besar.
Benarkah Syam kutolak hanya karena aku merasa bahwa perasaanku dan perasaan Mas Miqdam masih berada di titik yang sama? Aku begitu kukuh menjaga perasaanku untuk Mas Miqdam. Tanpa kusadari, akulah yang berjuang seorang diri.
“Syam …” Aku memutuskan untuk membuka suara setelah kami hanya berdiam-diam selama entah berapa menit. “Hm?” “Apa orang yang mencintai selalu hangat dan orang yang membenci selalu beku?”
Syam menoleh cepat ke arahku. Tatapannya menyiratkan rasa heran begitu pertanyaan itu dengan konyolnya tiba-tiba terlontar dari mulutku.
“Zay, setiap orang punya caranya masing-masing untuk mencintai dan membenci,” jawabnya mantap.
Kutahan pertanyaanku untuk Syam ketika melihat Mas Miqdam dan kawannya berjalan ke arah kami hendak membayar pesanannya.
“Totalnya tiga puluh ribu ya, Mas.” Syam berucap ramah, sedangkan aku hanya diam mematung di sampingnya. Mas Miqdam mengulurkan selembar lima puluh ribuan kepada Syam. Saat Syam tengah sibuk menghitung uang kembalian, Mas Miqdam menatapku lama. Namun, kosong dan asing. Aku benci tatapannya yang seperti itu kepadaku.
Setelah menerima uang kembalian dan berbasa-basi dengan Syam jika ayam geprek di sini sangat enak, pemuda itu berlalu tanpa sedikit pun menoleh ke arahku lagi.
Kutatap punggungnya yang lama-lama tak terjamah oleh indra penglihatanku. Hari ini, Tuhan menghadiahiku temu, meskipun ternyata ia beku.
Mas Miqdam, apa hati kita sudah benar-benar berjarak sejauh itu? Aku memang bukan gadis yang sepadan untuk mendampingi pemuda sebaik Mas Miqdam. Ya, harusnya aku menyadari hal ini sejak lama tanpa harus menunggu hatiku terlunta-lunta terlebih dulu.
Untukmu, Muhammad Miqdam Yazdan. Pemuda yang di kedalaman netranya semburatkan damai luar biasa.
Jika mencintaimu hanya akan menciptakan sembilu yang setiap waktu tak henti menyayat kalbu, maka aku tak akan membiarkan rasa ini mengakar lebih dalam lagi. Mungkin memang benar, aku tak pernah bersungguh-sungguh menginginkan kepergianmu dari hidupku. Namun, aku merasa telah merenggut kebahagiaanku sendiri karena menggenggam cinta sepihak ini. Aku tidak akan menikam hatiku, jika mungkin kenangan-kenangan kita telah tersisih di sudut tak terjamah dalam hatimu. Entah berapa purnama yang harus kulewati untuk membiarkan perasaanku menguar tanpa paksa dan tiada luka. Berbahagialah, Mas.
Salam dariku, Hamida Rofiqotuz Zayna. Raga yang yang hanya mampu merangkai aksara tanpa pernah punya nyali untuk membuka suara.
~TAMAT~
Cerpen Karangan: Baris Semu Blog / Facebook: Baris Semu