Angin berbaris tenang, melewati pohon hijau yang rindang. Sedang ombak masih sibuk berjalan-jalan, kepiting mulai keluar dari rumahnya. Itulah yang kulihat selama 17 tahun ini, hi namaku Lisdiana biasa dipanggil Lisda. Ini adalah cerpen pertamaku tentang merah jambu di bangku sekolah.
Syafiq Muhammad Abdillah dia adalah teman seangkatanku tapi kami beda jurusan, lelaki pintar dan humoris orang biasa menyebutnya begitu. Cerita kami bermula dari bangku kelas 9 saat dia menjadi siswa baru di sekolahku, waktu itu kami sering berangkat sekolah bareng, bukan lain karena kami satu arah, di pertigaan saat menunggu bus kita sering bertemu. Meski belum kenal, dia tak sungkan untuk mengulurkan tangannya, tanda perkenalan. “hi, kak namaku Abdillah. Salam kenal ya” ujarnya dengan menjulurkan tangan. Aku hanya melempar senyuman kecil, benar kata orang-orang dia memang humoris, dan kocak. Sesekali saat sedang bosan menunggu bus datang, dia membuat jokes yang membuatku tertawa lepas.
Seiring berjalannya waktu aku mulai menaruh hati padanya, tetapi tidak sampai full love. Aku sangat sibuk dengan persiapan ujian jadi aku mengesampingkan perasaanku padanya. Mamakku adalah seorang penjual ikan asin di pasar, akhir-akhir ini aku sering melihat mamak sakit-sakitan, jadi aku harus berusaha lebih untuk mendapatkan beasiswa di sekolahku yang berikutnya. Tekad itu membuatku jarang bertemu dan jarang mendengar lagi jokesnya, aku berangkat pagi-pagi sekali sedangkan dia? entah. Hampir 1 bulan kita tidak pernah bertemu face to face, perasaanku mudah menghilang dan semua terasa biasa saat kita bertemu.
Tapi setelah pengumuman kelulusan, perasaannya tumbuh lagi, tak lain dan tak lagi. Kami harus terlibat project kecil, mau tidak mau pukul 07:00-10:30 kita harus bertemu. Yaa, kita akan dikirim ke provinsi untuk lomba siaran radio tema education, singkat cerita team kami menang dan dengan itu aku mendapat beasiswa setengah tahun ditingkat SMA. “Tak apa aku akan berjuang lagi untuk tahun berikutnya, ini untuk mamak” ucapku dalam hati sambil tersenyum kecil.
Semakin terasa putih abu-abu kukenakan besok pagi, esok aku akan berpikir lebih dalam bagaimana terus sekolah tanpa membuat mamak banting tulang. Sedang enak menyusun rencana di teras rumah, ombak membawa Abdillah ke rumahku, kepiting menyaksikan langkahnya, sedang rembulan terus menyinari wajahnya.
“hai kak lisda, eh lisda gak pakai kak kan? Seumuran hahah. Aku kesini mau minta tolong, besok aku nggak bisa daftar ke sekolah baru aku mau nitip formulir ini tolong kasihkan ke panitianya ya. lis, cantik sungguh cantik jilbabnya hahaha” ujarnya begitu cepat tiba-tiba saja pelan dan menertawakanku. mataku terus menatapnya dengan tatapan sinis, “apa? Dia lanjut dia nggak pulang ke kampungnya? Dia satu sekolah sama aku. kok bisa sihh… bakal ketemu terus dong, ya Tuhan” batinku.
Masa SMA aku mulai merasakan hal yang tak biasa, dan ini berbeda dari perasaan waktu smp. Aku mulai cinta pada Abdillah, aku terus mengukuhkan minta kepada tuhan agar memupuk perasaan ini saja. Sesekali kusempatkan pergi ke warnet untuk melihat ceramah ustadz agar biasa-biasa saja dalam mencintai seseroang, tapi semakin kesini semakin sulit dan beda. Mungkin karena harus terpaksa bukan karena ikhlas.
Hari ahad pukul 08:00 guru pengampu bahasa Indonesia sedang rapat jadi kami diberi tugas. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan disana kipasnya mantul hehehe, dari pintu depan aku melihat abdillah sedang berbicara serius dengan ica, adik kelasku. Tatapan abdillah pada Ica begitu serius sesekali Ica duduk sambil menyanggah kepalanya, matanya melamun. Sedangkan abdillah terus memandang mata Ica, awalnya aku ingin pergi saja Karena sedang mati listrik jadi kipasnya zonk tapi aku penasaran dengan mereka. Dari balik lemari aku menguping percakapan mereka, tapi mereka diam hanya saling menatap aku sedikit cemburu tapi aku ya sadar bukan siapa-siapa.
Abdillah pergi dari perpus sedang Ica masih duduk di kursi yang sama. kulihat tangannya menyekat air mata dipipi, batinku ingin menenangkannya tapi ingat, aku bukan siapa-siapa. Lagi dan lagi, aku sok tahu dan mau tahu “hai dek, ica ya? kelas 10 IPA. Maaf ya sebelumnya, tadi aku lihat kamu sama abdillah cekcok kecil, ada apa?” Tanyaku sambil memegang pundanknya, ia langsung merangkulku dan mulai bercerita, “heemm bentar lagi cerita nih, oke ayok mulai aja” dalam hatiku. “kak abdillah mau pindah, kak. Ibunya minta kita putus, tapi kak abdillah masih mau kita lanjut, aku bingung.. namanya juga lagi sayang” ucap ica sambil memegang tanganku. Aku terdiam mendengar cerita ica, pipiku rasanya panas hatiku sedikit tercabik, “kamu? Dillah? Mmm… Ca, hapus dulu deh air matanya. Ini bukannya aku nggak mau ikut campur ya, aku nggak ada jalan keluar. Bell udah bunyi, yok kita pulang jangan sedih di sekolahan nanti disangka kenapa-kenapa” aku mencoba menghapus air matanya dan mulai meninggalkan ica, di depan pintu perpustakaan aku berpapasan dengan abdillah, ia mulai masuk dan mengandeng tangan ica.
Setelah tahu, selepas sholat tangan menengadah ke atas meminta pada-Nya untuk bisa melupakan dengan cara yang baik. Untuk tetap berterima kasih atas semua yang telah terlewati, sempat berpikir, sempat khawatir. Aku sering murung di kelas, tak jarang temanku sering menyodorkan pertanyaan kecil untuk mendapat jawaban. Tempat favorit tetap sama, perpustakaan. Aku mulai menatap pojok-pojok dinding perpus, nafas berhembus tenang, di kursi itu aku masih melihat bayangan Abdillah menenangkan Ica yang sedang menangis. Hatiku terus bertanya, mengapa aku terlalu berlebihan dan terlalu percaya bahwa dia akan menjadi milikku bahwa dia tak suka padaku.
Tatapan kosong ini terusaikan dengan pertanyaan kecil, “lis, apa mencintai itu salah ya? apa jika sudah cinta harus begini. Kamu tahu kan, lis? Kemarin aku lihat ica ngomong sama kamu. makasih ya lis. Terakhir di sekolah malah menyakiti ica, aku sayang banget sama ica, lis. Lis, semoga kamu terus semangat ya. Emban tugasmu sebaik mungkin, kamu baik semoga rencana yang kamu rancang dari kelas 10 bisa buat sekolah ini maju. Semoga bu ketua OSIS sehat selalu, selamat tinggal ya, lis. Kamu baik” ucap Abdillah dengan nada pelan, aku tak menatap matanya spontan air mataku menetes, segera kuusap.
Amplop merah jambu belum sampai tuannya, terimaksih perasaan. sudah berani mengungkapkan kepada kertas meski belum terbaca kepada penerimanya. Abdillah, sejenak nafasku kembali kuatur, tahun kemarin yang telah terisi tentangmu kini harus beranjak pergi. Semoga semakin mudah untuk melupakan, meski belum pernah tahu rasanya dicintai oleh seorang yang terkenal pintar dan humoris, aku tetap bersyukur hehehe.
Giamana? Maaf ya cerpennya berlebihan, susunannya juga berantakan, dan penggunaan tanda baca yang kurang tepat. Jangan lupa tinggalkan saran ya, butuh banget, hehehe.
Cerpen Karangan: Arizatul Lailin Nisfah