Jatuh cinta pada Icha adalah hal terbaik dalam hidup Rio. Berkenalan lewat sebuah aplikasi social media yang mengantarkan mereka menjadi lebih dekat. Menghabiskan waktu semalaman untuk saling berbalas pesan semakin membuat bunga-bunga cinta bersemi dihati, setidaknya itu yang dirasakan Rio.
“Mau meet up gak, Ca?” Rio mengirim pesan pada Icha di malam minggu itu dimana wajarnya setiap pasangan akan menghabiskan waktu berdua memadu kasih. “Boleh. Kapan?” Balasan yang diterimanya setelah beberapa menit kemudian.
Rio dan Icha sudah menjalin pertemanan lewat social media selama 3 bulan dan selama itu mereka belum pernah bertemu. Walaupun nyatanya mereka hanya dipisahkan oleh jarak yang terbilang dekat, Jakarta-Bandung. Icha tinggal di Jakarta dan Rio di bandung.
“Weekend minggu depan gimana?” Balas Rio. Dia harap-harap cemas menanti jawaban Icha hingga berguling-guling dikasur kamarnya itu. Dengan mata yang tidak terlepas dari layar ponselnya. “Boleh. Meet up dimana?” Senyum lebar terbit di bibir lelaki itu. Secepat kilat dibalasnya pesan itu. “Di Jakarta aja, nanti aku yang kesana. Jam 7 malem yah, bisa kan?” “Iya, bisa kok” Jawaban Icha datang secepat kedipan mata.
Selanjutnya percakapan mereka berlanjut dengan membahas hal-hal random, menghabiskan waktu malam itu dengan senyum yang terus tersungging di bibir dan sesekali tawa kecil menyertai. Rio tahu, malam itu malam yang paling membahagiakan untuknya. Waktu 3 bulan mampu menumbuhkan perasaannya, walaupun hanya lewat pesan singkat yang terjalin.
Aneh memang. Bagaimana perasaan cinta dapat tumbuh hanya karena beberapa baris pesan singkat yang bahkan tidak ada manis-manisnya. Icha membalas pesan seperlunya, bukan dengan kalimat panjang atau bertanya banyak hal hingga percakapan itu terus berlanjut. Rio lebih banyak mendominasi. Dia yang mengirim pesan duluan. Dia yang mencari topik pembahasan hingga percakapan terus berlanjut. Dia yang tersenyum-senyum sendiri. Dia yang merasakan debaran menggelikan di dadanya. Dia yang jatuh cinta.
Weekend datang begitu lama bagi Rio. Hari-harinya terasa sendu karena Icha yang sibuk kuliah di semester yang mendekati akhirnya. Rio juga berkuliah tapi dia lebih muda dari Icha, beda setahun. Walaupun beda setahun, tapi Icha tidak mau dipanggil kakak.
“Ichaaaa” Sore itu Rio mengirim pesan pada Icha. Dia telah berada di Jakarta. “Iya, kamu sudah sampai?” balas Icha. “Aku udah sampe. Sebentar mau aku jemput?” “Gak usah. Aku dianter kok. Ketemuan di Cafe D’Ay aja yah.” “Oke. Aku tunggu yah jam 7.” Balasan Rio itu menjadi akhir percakapan mereka.
Tepat pukul 7 malam Rio telah sampai di café tempat janjiannya dengan Icha. Malam minggu itu cafe ramai dengan muda mudi yang menghabiskan waktunya untuk berkencan dengan pasangan atau sekedar nongkrong bersama teman-temannya. Terdengar musik jazz yang terputar dan tawa besar kawanan beberapa pemuda di sudut café.
Rio telah memesan minuman untuk dirinya sembari menunggu Icha. Jantungnya berdebar kencang, tak sabar ingin bertemu langsung dengan pujaan hatinya.
Tak lama kemudian sekitar 10 menit, Icha datang bersama seorang lelaki yang berjalan dibelakangnya. “Hai, Rio kan?” Sapa Icha sambil mengulurkan tangannya dan senyum manis dibibirnya. Lesung pipi terlihat manis di wajahnya. Mata Rio terpaku pada senyum manis itu dan beberapa saat tersentak, ia kemudian menyambut tangan halus Icha. “I-iya, aku Rio” Jabatan itu pun terlepas dan Icha bersama lelaki asing itu duduk di depan Rio. “Udah pesen?” tanya Icha. “Udah. Kamu pesen aja dulu” Icha mengangguk dan memanggil waitres yang lewat, kemudian memesan minuman dan beberapa cemilan ringan untuknya dan orang disampingnya.
“Ohya, kenalin ini Adit.” Icha memperkenalkan lelaki disampingnya yang bernama Adit itu. Adit tersenyum dan mengulurkan tangan pada Rio. “Gue Adit” Rio menyambutnya. “Rio.” Begitulah jawaban singkatnya.
Beberapa saat kemudian, waitres datang membawakan pesanan di meja mereka. Suasana terasa canggung. Rio lebih banyak diam, sibuk memperhatikan interaksi dua anak manusia didepannya. Adit menyelipkan rambut Icha yang mengganggu gadis itu saat minum dan mengelus rambut gadis itu. Terlihat sangat manis. Rio tersenyum miris. Jantungnya berdenyut sakit, menyesakkan.
“Rio” panggil Icha. Rio memfokuskan pandangannya pada Icha. “Iya, ada apa?” Icha terlihat meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah undangan. Warna hitam dan emas, sangat elegan. “Ini undangan pertunangan aku. Kamu datang yah” Icha mengatakan itu dengan binar bahagia yang terpancar dari matanya. Sementara itu Rio terpaku, menatap Icha dengan tatapan datar. Diraihnya undangan itu, ada tulisan nama Icha dan Adit disana. Lagi-lagi Rio tersenyum miris.
Dengan senyum yang dipaksakan dia menjawab. “Selamat yah, Ca” Icha membalas senyum itu dan menatap Adit yang ada disampingnya.
Waktu berjalan begitu lambat, tepat pukul 7.45 Rio pamit pada pasangan di depannya. Dia sudah tidak mampu menahan rasa sakitnya. “Aku duluan yah. Selamat buat pertunangan kalian.” Yang dijawab Icha dengan anggukan kepala dan senyum manis.
Rio berjalan keluar café dengan penyesalan yang amat besar. Dia memukul-mukul dadanya. “Gue yang bodoh.” Diulangnya kata-kata itu terus menerus. Dia menyalahkan diri karena telah nyaman dengan kebersamaan yang terjalin singkat itu. Dia menyalahkan diri karena tidak pernah menanyakan apakah Icha punya pasangan atau tidak. Dia menyalahkan diri karena telah jatuh sendirian.
Cerpen Karangan: Nurul Aulya Bakri Blog / Facebook: Nurul Aulya Bakri