Hari senin menyambut, waktunya untuk berangkat ke sekolah seharusnya, tapi aku diam saja alih-alih berangkat dengan tergesa aku justru duduk dengan santai di teras rumah, sengaja menunggu sepuluh menit lagi.
Sepuluh menit kemudian pukul 06.50, nah ini dia waktu yang tepat. Mungin kalian akan berpikir jika itu sudah telat untuk ukuran “berangkat sekolah” di hari senin tapi memang ada sesuatu yang membuatku seperti ini, sebentar lagi kalian akan tahu. Aku pun berangkat ke sekolah setelah berpamitan pada ambu aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju jalan raya desa.
Ngomong-ngomong jalan raya desa terlihat ramai hari ini, senin sibuk. Sepertinya ambu juga akan kewalahan melayani pelanggan hari ini tapi semoga toko ambu juga ramai pembeli. Aku terus berjalan menyusuri jalan desa menyeberangi jembatan kecil dan berbelok ke jalan menanjak.
Ini sudah waktunya. Seharusnya ada yang datang sekarang. Tapi hening. Tak ada suara motor matic ataupun klakson. Aku menghela nafas, orang yang kutunggu sepertinya terlambat datang ke sekolah hari ini.
Entah kapan semua ini dimulai pukul 06.50 tiba-tiba saja bisa menjadi waktu yang spesial untuk remaja tanggung sepertiku. Aku menemukannya tanpa sengaja ketika aku berangkat sekolah pada pukul 06.50 maka kemungkinan besar aku akan berakhir di jok belakang seseorang. Si dia yang tak tergapai begitulah aku menyebutnya dalam hati.
Awalnya memang biasa saja, lalu kemudian diam-diam aku menyukainya. Diam-diam aku menyukai bagaimana dia menawarkanku untuk naik ke motornya. Lama-lama karena sudah terlalu sering daripada menawarkan dia hanya cukup berhenti didepanku dengan motor maticnya tanpa perlu mengatakan apapun akupun sudah mengerti dan dengan senang hati menjadi penumpang setianya. Dia selalu keren. Dan aku menyukainya.
Tapi hari ini berbeda aku sepertinya memang sedang tidak beruntung padahal ini jam biasa tapi dia tak datang. Fiuuhhhh ya mau bagaimana lagi berarti hari ini aku berjalan kaki sampai sekolah.
Tapi hei samar-samar terdengar suara motor matic yang amat kukenal. Aku tersenyum sengaja tidak menoleh karena tanpa menoleh pun aku tahu ini suara motor siapa. Sang empu motor berhenti didepanku dengan senyum andalannya dia mengirim kode padaku aku meliriknya sekilas kemudian segera naik di jok belakang motornya.
“Pagi Ma” “Pagi juga Pak Rey. Emma sudah rapih sekali di belakang sini kenapa motornya gak maju-maju pak. Ayo kita telat.” Aku berseru dari belakang pura-pura ketus, tapi sepertinya gagal Pak Rey mengintip dari kaca spionnya dan melihatku dari sana kami saling tatap kemudian sama-sama nyengir garing. “Kamu ada yang bawa saja sudah untung Ma. Harusnya bersyukur diboncengin guru ganteng.” ucap Pak Rey sambil menyalakan motornya. Motor pun melaju dengan kecepatan sedang. “Masyaallah lisan guru matematika memang licin gak ada tobat.” Kataku mencibir. Pak Rey tertawa mendengar cibiranku.
Ucapan Pak Rey memang ada benarnya aku beruntung bisa nebeng di motornya dan sebenarnya, jika mengikuti keinginan hati aku saat ini akan berseru kegirangan bisa dibonceng olehnya. Tapi tidak lah ya gengsiku ternyata masih tinggi. Jadi aku hanya diam saja kemudian sembarang mencomot topik pembicaraan.
“Pak Rey. Jaketnya baru ya?” “Eh kok tau Ma?” “Ya semua orang juga pasti tau orang baunya kecium. Bisa-bisanya bapak gak cuci dulu jaketnya. Bisa nih jadi bahan gibahan nanti di kelas. Judulnya ‘bapak ganteng jaketnya bau’ ” ledekku. Pak Rey memang terkenal di sekolah selain guru yang baik dia juga guru muda yang tampan. Sekarang mengerti kan mengapa aku menyukainya? Mengertilah.
“Bocah sodrun memang kamu. Nyesel bapak tadi pake berhenti segala. Harusnya ditinggal saja kamu tadi” “Eh tidak bisa begitu pak, gak boleh pamrih sama murid sendiri, pamali.” Aku masih terus menggoda Pak Rey yang juga terus memberi tatapan permusuhan dari kaca spion sampai akhirnya motor Pak Rey sudah tiba di depan gerbang sekolah. Aku pun turun dari motornya. Pak rey terus menatapku dengan aneh pasti karena gurauanku tadi. Lain waktu pasti dia juga akan balas dendam.
“Apa sih pak jangan gitu dong lihatnya biasa saja” Kataku. kami beriringan berjalan memasuki gedung sekolah. “Siapa ya yang ngomong. Mohon maaf” Dih mulai gaje nih si bapak. “Sudah ah pak Emma hanya bercanda tadi oke. Maafin. sebentar lagi upacara. Jadi marahnya pending saja dulu ya.” Aku mengulurkan tangan pada Pak Rey “Salim dulu atuh” Pak Rey membalas uluran tanganku dan mengacak rambutku. “Semangat belajarnya Ma” Aku membeku. Perlakuannya ternyata berefek luar biasa padaku. Aku langsung menetralkan ekspresiku dan berjalan meninggalkan Pak Rey.
“Eh Ma tunggu sebentar” Tiba-tiba saja pak rey memanggilku. Aku berbalik. “Ya?” Pak Rey melemparkan sesuatu padaku refleks aku menangkapnya. Susu coklat ternyata. “Dari ibu itu, jangan lupa diminum” Aku tersenyum. Mengangguk mengerti aku pun melanjutkan langkahku yang sempat terhenti meninggalkan Pak Rey yang mungkin juga sudah masuk ke ruang guru. Sambil memandangi susu kotak yang Pak Rey berikan sekali lagi aku tersenyum, senyuman kecut kali ini.
Dia memang tak akan pernah tergapai, yap Pak Rey memang tak akan pernah tergapai oleh seorang remaja tanggung sepertiku. Aku mengaguminya, dalam diam tentu saja. Alasannya bukan karena umur kami yang memang terpaut jauh pun bukan juga karena statusku yang menjadi muridnya. Sungguh bukan karena itu. Dia tak tergapai olehku karena sejak awal pak rey memang bukanlah untukku. Pak rey sudah digapai oleh seseorang, seseorang yang terlihat serasi sekali dengannya dan orang itu adalah orang yang memberikan susu kotak coklat padaku. Ibu hana, istrinya pak rey. Aku tahu Ibu Hana. Istrinya pak rey itu sangat menyukaiku mungkin hanya sebagai remaja tanggung lucu yang polos. Kami bertemu beberapa kali dan kami langsung akrab begitu saja. Dia memang serasi sekali dengan pak rey.
Apakah aku menyukai pak rey? Ya aku menyukainya atau mungkin aku sudah mencintainya bahkan sebelum aku mengetahui arti dari cinta itu sendiri. Tapi sudah jelas Pak Rey tak pernah menyukaiku karena dia bahkan sudah mempunyai istri yang jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan anak kecil sepertiku. Dia mungkin hanya peduli padaku karena diriku murid yang sejalan dengan pemikirannya. Kami selalu nyambung jika bicara. Aku saja yang bodoh menganggap itu perhatian lebih darinya.
Apakah aku menyukai Ibu Hana? Ya aku juga menyukainya. Itulah sebabnya aku akan selalu menjadi penggemar mereka. Sebesar apapun cintaku pada Pak Rey maka hakku hanya sampai pada mengaguminya dari jauh. Itu sudah cukup dan harus cukup.
Hanya satu yang pasti untuk saat ini. Aku menyukai Pak Rey dan tak ada keraguan untuk itu. Semoga rasa ini hanya sementara, semoga esok lusa rasa ini hilang tak bersisa. Karena sungguh aku juga ingin bahagia melihat Pak Rey dan Ibu Hana bahagia.
Cerpen Karangan: Rahma Lutvi Blog / Facebook: Rahma Lutvi Novianti