Jika kita mengutip sebuah frasa atau kalimat dari sebuah pola pikir atau sudut pandang orang lain dalam melihat sebuah fenomena, maka, biasanya kita akan memikirkan sebuah tokoh inspirasional bukan?, Sebuah tokoh yang buah pemikiranya dapat menggetarkan hati para penikmatnya.
Maka disini aku akan mengutip kata kata yang pernah dikatakan oleh Hikigaya Hachiman, tokoh yang menggetarkan hatiku ini, “hewan umumnya hidup dalam kelompok, dimana Karnivora selalu bersaing menjadi yang terkuat, apabila ia gagal maka ia akan terasingkan dalam sunyi dan sepi menanti kematian.
Kemudian Herbivora akan selalu bersaing menyelamatkan diri dari perburuan dan berakhir saling mengorbankan satu sama lain hanya untuk melihat hari esok”.
“Bagiku tidak ada untungnya hidup dalam sebuah kawanan atau kelompok, dan jika boleh memilih maka aku akan menjadi beruang”. Itu adalah jawaban dari sebuah antitesis yang dia tulis saat guru biologinya menugaskan sebuah essay tentang cara hidup hewan liar.
Bagaimana menurutmu, penggalan tugas itu?, bagiku, penngalan antitesis itu dapat menggetarkan hati, dan yah, mungkin tidak bagimu, tapi kalimat itu menjadi inspirasiku menjalani hidup ini.
Bagiku manusia tak ada bedanya dengan antitesis hachiman itu, setidaknya untuk orang orang yang aku kenal. untuk orang orang yang berada di sekolahku, untuk orang orang yang berada di kelasku ini.
Jika diperhatikan mereka hanya mementingkan diri sendiri, memaksakan tujuannya, dan menjadikanya seakan itu adalah tujuan bersama, satu untuk semua dan semua untuk satu. oleh sebab itu mereka tak segan untuk dan saling menggigit dan menjatuhkan lainnya. Aku yang tak terbiasa oleh fenomena tersebut, memilih untuk mengasingkan diri bak beruang yang hidup secara isoliter.
Menikmati daftar musik kesayangan, adalah cara yang sangat indah untuk menikmati jam kosong dan waktu istirahat di tengah kesibukan para manusia yang saling bersaing mengagungkan diri sendiri dan menjatuhkan yang lain.
Menyelamatkan diri karena aku bukan karnivora ataupun herbivora, aku adalah beruang makhluk isoleter yang memenuhi hidupnya secara mandiri.
Kantin adalah sebuah tempat yang indah untuk membeli kopi dan roti coklat. keduanya merupakan sebuah kombinasi pas untuk khayalan hidup yang tak pernah nyata, manis dan pahit di waktu yang sama.
Dihari biasa, aku akan mencari tempat duduk kosong paling pojok kantin yang hanya seukuran lapangan voli ini. disana aku akan duduk menikmati musik, kopi, dan roti coklat. terdapat puluhan manusia yang bersaing untuk menjadi versi predator dan herbivora yang terbaik bagi diri mereka.
Terrkadang senyumku akan tergambar saat aku melihat bahwa perburuan telah terjadi, salah satu contohnya adalah ketika salah satu dari kelompok (karnivora) memecahkan mangkuk mienya karena terlalu asik berbuat hal gila, dan menuduh para pendiam (herbivora) sebagai pelaku pemecahan mangkuk tersebut.
Percayalah ini adalah hiburan gratis yang sekelas sirkus eropa tua, freakshow yang mana dipenuhi oleh hal terburuk di dunia..
Tapi hari itu, saat istirahat tiba, kondisi kantin penuh sesak, singgasanaku hancur teralienisasi oleh para pemain sirkus. Mereka merusak hariku. tentunya kelas bukan sebuah pilihan yang bagus untuk menghabiskan waktu istirahat, di sana, persaingan lebih liar dari kantin, seakan para pemain sirkus itu bersaing untuk saling membunuh.
Karena kebingungan aku memutuskan untuk mengitari sekolah setelah 3 tahun lamanya. Ternyata banyak hal yang mengejutkanku setelah keputusan untuk mengitari sekolah dimulai. Hal menarik seperti sekolahku yang ternyata sangat luas seluas benua eropa, ternyata sekolahku yang memiliki pohon asam tua dan buahnya sangatlah enak, atau bahkan toilet yang berjumlah 16 ruang.
Tetapi aku menjadi sangat terkejut ketika terdiam di depan sebuah ruangan, ruangan yang suci, seakan itu adalah ruangan para dewa bernaung, ruangan itu harus kusakralkan menjadi tempat suci baruku, “Sial!, kemana saja aku selama ini hingga harus lupa jika sekolahku punya perpustakaan!”, kalimat itu muncul di benakku ketika aku terdiam menganga di depan pintu masuk perpustakaan sekolah. Aku senang sekaligus sedih karena tak menemukan kuil para dewa ini lebih awal, atau fakta bahwa tak ada seorangpun yang memberitahuku akan perpustakaan indah ini.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk menghabiskan masa mudaku di perpustakan yang suci, tempat para dewa berkumpul dalam diam, tanpa bingung untuk saling bersaing membunuh. Disana aku duduk tertidur nyaman di bangku paling pojok dekat pigura besar menggambarkan langit dan burung barang yang berterbangan. Bersama dengan rasa hangat saat kemarau namun dingin penghujan tiba. Hari demi hari kulewati di perpustakaan ini.
Jika kita menghitungnya secara matematik maka, hari ini tepat 8 hari aku menghabiskan waktu emasku di dalam istana baru yang suci ini. dan di hari itu, ketika hujan mengguyur genting perpustakaan, mataku terasa berat mereka tak dapat terbuka lagi, disana aku tertidur terbuai oleh suasana hujan yang dingin namun terasa hangat.
Ditengah masa hibernasiku terdengar suara deratan kursi bangku didepan meja tempatku tertidur. aku yang terkejut memutuskan untuk melirik siapa orang yang menggangguku. Didepan bangku ini, terdapat seorang gadis yang membaca sebuah buku dengan sangat serius, serius seakan buku ini memiliki bahasa alien, kedua bola matanya serius melototi setiap kata seakan ingin menembus kacamatanya besarnya.
“Haah, cantiknya gadis itu, bisakah aku berkenalan dengannya? Bisakah aku menyapanya?.” pikiran di benaku mulai meliar, dan aku dipenuhi akan angan dan mimpi yang hilang terhapus dalam tidurku yang hanya tersisa 5 menit, sebelum bell memanggilku tuk kembali ke neraka.
Keesokan harinya aku kembali duduk di perpustakaan ini mencoba untuk tidur, akan tetapi gadis itu kembali datang tak lama setelah aku duduk di bangku ini, aku menatapnya, ternyata keempat mata kita sempat berpapasan, diakhiri oleh senyum manis di wajahnya, memantik rasa malu yang membuat wajahku merah merona.
Aku berpura pura tertidur dan mencoba menyembunyikan wajah merah ini. Jantungku berdegup kencang, membuatku gila, mana ada orang yang tersipu malu kacau hanya karena sebuah senyuman saja, ingatlah apa yang dikatakan hachiman dalam interview klubnya. “janganlah jatuh pada seseorang hanya karena sebuah senyuman atau bahkan beberapa penggal dialog, disana kaulah pecundang di dunia ini”, tapi senyumnya memang sebuah senyuman yang sangat manis seperti kue bamkuhen di restoran bintang lima, sudahlah nanti juga akan hilang sendiri.
Senyuman itu tak berhenti berputar di kepalaku berputar tercampur menjadi lukisan indah bak monalisa. Kehidupan di kelas serasa bak neraka yang siap menyiksamu 6 kali dalam seminggu, tapi ketika jam istiraha tiba, kami berbagi singgasana menikmati hari, merasakan sepi mewarnai hari dengan kehangatan sepi serta kesunyian kita berdua, sebuah rasa dekat tanpa sepatah kata, disini kau bisa mendengarkan kericuhan sunyi.
Buku yang ia baca sedikit demi sedikit menuju ke halaman akhirnya, bersama dengan itu, aku tersadar akan waktu yang telah kita lalui bersama. hari itu aku mulai memiliki sebuah rasa penasaran akan buku yang ia baca, seakan ingin membaca dan memahaminya.
Ketika air mata terkucur di ditengah tengah buku itu, aku ingin meneteskan air mata yang sama pada halaman yang sama, dimana dia itu meneteskan air matanya. dan sekali lagi aku sadar bahwa itu semua hanya mimpi, ia adalah dewi penunggu kastil suci dan aku hanya seekor beruang yang ingin menikmati hari dalam sepi, ini adalah fakta yang ada, banyak orang yang mengatakan bahwa aku ada pengecut, tapi bagiku ini adalah harga diri dari seorang penyendiri yang harus dipertahankan setengah mati.
Hari ini semua terasa sama dengan hari hari sebelumnya. Aku pergi ke sekolah menikmati sebuah pagi dan menghabiskan siang di perpustakaan sunyi berdua dengan gadis itu, dewi keindahan yang telah sebulan lebih bersama menghabiskan waktu bersamaku tanpa sebuah kata, seakan kita telah mendekat dalam sunyi mencoba mengerti satu sama lain tanpa sebuah kata dalam kehangatan dan keramaian sunyi, sebuah rasa sepi sunyi yang mendekatkan pikiran kita untuk menikmati hari. Semua itu ada di pikiranku menjadi pedoman hidup baru.
Jam istirahat pun tiba, aku bergegas menuju perpustakaan, hujan mengguyur waktu istirahat ini, membawa hampa dan menghilangkan gerah, merubahnya menjadi dingin sendu, seperti suasana hati ini.
Hari ini, di hari yang sama, status kita telah berubah, hatiku kacau. di telingaku terdengar suara lembut yang berbunyi. “Kau, Kiki, bukan?” suara itu datang bersamaan dengan bel yang berbunyi memanggil kita kembali ke neraka, sehingga aku hanya bisa menganggukkan kepala, kemudian dengan cepat dia menjawab. “Kuharap kau mengingatku, sebelum semua berakhir”, sahutnya. Saat itu aku yang bodoh tersenyum kaget merasakan sebuah kesempatan akan datangnya cinta, aku berharap bisa mengenalnya. saling mengenal dan berteman atau bahkan menjadi lebih.
Tapi sekali lagi aku sangatlah bodoh termakan oleh imajinasi liar, sehingga aku tak sempat membalas bahkan sebuah kata sebelum dia pergi, otakku yang terus termakan oleh gengsi dan arogansi akan harga diri menjadi penyendiri tak mendapatkan apapun dalam hidup ini. Dalam sekejap dia meninggalkanku. Satu satunya hal yang kuingat hanya rambut indahnya terurai berjalan menjauhi pandanganku.
Penyesalan yang terus terngiang di kepalaku adalah sebuah penyesalan yang tak pernah hilang, menjadi sebuah luka yang dengan jelas tergambar di dada, terasa sangat perih setiap kali aku menghabiskan waktu di singgasana ini, pasalnya, setelah percakapan pendek itu kita tak pernah bertemu lagi, ia tak pernah datang kembali ke perpustakaan lagi, Mungkin buku yang ia baca telah mencapai akhir hidupnya.
Dua bulan lamanya aku tak melihat bola mata indah yang seakan ingin lompat dari kacamata besarnya saat ia mencermati kalimat dan kata yang sulit dipahami.
Untuk sesaat aku merasakan betapa sesaknya, betapa membosankannya momen paling indah dalam hidupku, untuk sesaat aku merasakan sakitnya sunyi.
Aku coba mencari buku yang ia baca, entah kenapa hatiku tergerak untuk mencari dan membacanya setidaknya aku ingin mengenali dan mengetahui siapa dia, mengenalnya dari buku yang ia baca. Kucoba cari buku itu dan kutemukan bahwa ia membaca buku yang tak asing bagiku tapi entah dimana, buku ini seakan pernah kubaca, kenapa buku ini begitu menyesakkan dada. Setiap lembar kubaca semakin dalam rasa sesak didalam hati.
Lembaran kertas ini terasa Semakin berat di tiap halamannya. Aku seakan membuka kembali jendela yang telah lama tertutup. Buku ini, apakah hanya fiksi romantis sang pengarang?, Tapi kenapa aku meneteskan air mata saat sang tokoh utama gagal meraih tujuannya?, Apakah karena ia terlupakan di dunianya? Ataukah karena ini yang selama ini kurasakan padanya.
Hari demi hari berlalu, aku tetap membaca buku ini, hingga aku sampai di halaman akhirnya, setelah kucermati setiap kata dan kalimat yang tertulis di lembaran kertas ini. Aku sadar bahwa buku ini tak memiliki sebuah akhir yang pasti, akhir yang hanya bisa ditentukan oleh tokoh tokohnya sendiri tanpa tertera sebuah penjelasan sedikitpun, atau bahkan sebuah akhir yang hanya berada di imajinasi pembacanya saja.
Air mataku mengalir saat aku membaca isi di halaman paling akhir dari sebuah kisah yang tertulis sedikit berantakan. menunjukan kebodohan atas, keputusan yang kuambil untuk menikmati sebuah sunyi. sebuah penyesalan.
Sebuah tulisan di akhir halaman yang berbeda dengan huruf di halaman lainnya. Baiklah kucoba tuliskan isi dari halaman terahir buku ini.
“Kepada.
Kamu yang tertidur di dalam sunyi Mungkin bodoh bagiku untuk mengharapkan kau mengingatku, suara yang selama ini kutunggu tak pernah datang, kau tahu mungkin bagimu ini pertama kalinya kita bertemu, tapi, Percayalah sebelum ini kau pernah tiba di sebuah kota berkenalan dengan seseorang dan pergi tanpa sebuah kabar yang pasti.
Apakah kau tahu dulu bagiku, betapa besarnya rasa bahagiaku saat kau memberikan buku ini sebagai sebuah tanda perpisahan kita, buku yang tak pernah memiliki sebuah akhir ini, membuatku ingin menuliskan kelanjutannya dan menentukan akhir apa yang cocok bagi para tokohnya berdua bersamamu, tertawa bersama saat menuliskan sebuah komedi dan menangis bersama pada perpisahan, atau bahkan kita dapat berbagi kata kata yang tak pernah kita mengerti maksudnya, tapi sepertinya semua sudah tertulis, ending dari buku ini telah tertulis.
Mungkin bodoh bagiku mengharapkan kau mengingatku. dan betapa bodohnya aku untuk selalu berharap akan esok semua akan berubah, tapi sepertinya waktu dan takdir memisahkan berkata lain, jarak kembali akan memisahkan kita, atau mungkin bumi tak mengkehendaki kita untuk bersama.
Namun terimakasih untuk secuil waktu berharga yang dapat kita nikmati bersama dalam renungan sunyi yang indah…”
Alasan yang membuat hatiku terus bersedih adalah sebuah fakta tentang kebodohan tanpa bertindak, mungkin, bukan karena aku tak mau bertindak, tapi karena aku tak mau merasakan rasa sakit tertolak serta semua kemungkinannya dan pergi melupakannya.
Sekejap imajinasiku berisi banyak hal, Apakah jika aku kembali ke masa lalu dan menyapanya semua akan berubah?, Apakah ia merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan?, Sepertinya masa mudaku sudah jelas tertuliskan akan sebuah kepedihan dan penyesallan.
Cerpen Karangan: Alfonso Blog: presentoalfonso.blogspot.com