Mencintai seseorang yang mencintai orang lain itu rasanya amat menyakitkan, tetapi tetap saja aku lakukan. Jika ditanya alasannya aku pun tidak tahu, karena cinta itu hadir dengan sendirinya tetapi sulit untuk mengusirnya.
Aku, Renjana Pelita Purnama yang kata orang-orang namaku begitu indah, senang sekali rasanya dibilang seperti itu. Apalagi salah satu orang yang berkata seperti itu adalah kamu, aku masih ingat percakapan waktu itu, saat kita berdua bertemu di salah satu gunung pulau Jawa. Masih terngiang betapa lembutnya saat kau menyapaku ditengah hembusan angin pada malam itu. Sampai sekarang pun aku masih mengingat namamu, Raihan Laksana.
“Mas, boleh gabung ga?” Ucap Raihan pada teman pendakianku. “Boleh kok mas, gabung aja.” Jawab temanku.
Pada saat itu kau melontarkan senyumanmu untuk pertama kalinya, senyum manis yang sampai sekarang masih terekam jelas di otakku. Saat malam itu kau berada tepat di depanku membuka jalur pendakian, sesekali kamu menengok ke belakang lalu kedua mata kita bertemu.
“Dari tadi kita ngobrol terus, tapi aku belum tau namamu.” Ucap Raihan sambil menyalakan api unggun. “Ohh iya, kenalin namaku Pelita.” Jawabku. “Nama yang bagus Pelita, berarti suka menerangi orang lain.” Ucapnya.
Bahagia sekali rasanya saat itu, bercanda tawa denganmu dibawah galaksi bintang yang bertebaran. Dimalam itu kamu seperti orang yang sudah lama kukenal, tapi nyatanya aku baru bertemu denganmu pada hari itu. di pendakian hari kedua kamu masih bergabung di anggotaku. Kamu selalu berada didekatku dan selalu membuatku tertawa, entah aku yang terlalu terbawa perasaan atau kamu yang benar menyukaiku, tapi pada hari itu aku putuskan bahwa menyukaimu.
“Kamu udah sering naik gunung, Ta?” Tanya Raihan. “Lumayan sering, hampir tiap tahun aku naik gunung.” Jawabku. “Kenapa kamu suka mendaki gunung?” Ucap Raihan. “Aku suka sama pemandangannya.” Jawabku. Kamu menatapku dan tersenyum mendengar jawabanku, dan pada saat itu kamu mengikatkan gelang milikmu ke tanganku. Gelang berwarna merah yang sekarang berada di pergelangan tanganku, jika ditanya apakah aku senang pada saat itu? Ya, aku sangat senang sekali. Kamu adalah orang baik yang pernah aku temui, hingga pada saatnya kita berpisah ketika sampai di basecamp dan kamu memberiku sepucuk surat.
“Buka suratnya kalau sudah sampai di rumah ya, jangan di sini.” Ucap Raihan. “Ayo kita foto dulu.” Ajak Raihan.
Foto itu masih tersimpan rapi di memori handphoneku, sesekali aku melihatnya dan terekam jelas kenangan-kenangan pada saat itu.
Raihan, aku sudah membaca surat darimu. Betapa terkejutnya aku, semua harapan itu hancur dan sekarang tinggal tersisa rasa sakit yang kubuat sendiri. Satu tahun, dua tahun, sampai 3 tahun berlalu ternyata aku belum sepenuhnya melupakanmu. Gelang merah itu, foto, dan surat yang kamu berikan masih menemaniku sampai saat ini. Dan aku memutuskan untuk tidak lagi mendaki gunung, karena itu sama saja membuka luka lama. Raihan Laksana, aku berharap semoga kamu selalu bahagia dengan istrimu.
Untuk Pelita, Ta, terima kasih sudah baik denganku. Kamu perempuan yang hebat, aku kagum dengan cara berpikirmu. Tiga hari serasa begitu cepat berlalu, rasanya aku selalu ingin berada disampingmu. Jujur, aku menyukaimu Ta bukan lagi hanya mengagumi. Tapi sepertinya semesta tidak menyetujui, kita bertemu diwaktu yang sangat tidak tepat. Ada seorang perempuan yang sedang menunggu kepulanganku, perempuan itu adalah tunanganku. Ta, aku minta maaf jika nantinya surat ini menyakitimu, maafkan aku yang mungkin membuatmu berharap. Kamu orang baik, dan aku menyukaimu. Tapi aku pun tidak bisa meninggalkan tunanganku, dan aku pastikan ini terakhir kalinya aku mendaki gunung, gunung merupakan saksi bisu pertemuan kita yang masih terekam jelas di benakku, dan aku tidak ingin mengulang kenangan itu. Pelita, jaga dirimu baik-baik, bahagia selalu, dan tetap menjadi Pelita yang dapat menyinari banyak orang..
Jawa Timur, 22 Juni 2018 Raihan Laksana
Sebuah rangkaian kata-kata itu masih ku simpan rapi lengkap dengan kenangannya yang entah sampai kapan ada dibenakku.
Cerpen Karangan: Neli Agustin Blog: Renjana “Seonggok daging yang ingin bertualang”