Bolehkah aku menawar pada Tuhan, perihal takdir jodohku? Jika diperbolehkan, tolong jadikan aku pilihan seseorang yang sangat aku cintai, untuk menjadi kekasih pujaan hatinya serta selalu membayangi dan menyelimuti pikirannya.
Tetapi jika tidak, aku akan berusaha untuk menerima takdir lalu mengikhlaskan. Tentunya juga berusaha melupakan. Agar tidak ada lagi luka yang tertinggal. Sebab, jika aku mengingat kembali. Sama saja dengan membangkitkan luka yang kulupakan. Akan lebih mudah lagi jika Tuhan mau menghapus memori tentangnya.
Namun, sangat disayangkan, hari ini menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut. Dia—seseorang yang amat kucintai—telah menyatakan perasaannya pada perempuan lain. Lalu bagaimana dengan perasaanku setelah melihatnya? Hancur! Seperti Cermin yang dilempari batu. Akan tetapi, sebisa mungkin setelah ini. Aku menatanya kembali, walau belum bisa utuh seperti semula.
Hari-hari yang kujalani menjelang perpisahan sekolah, aku melewatinya dengan perasaan merana. Selalu bertanya, “Mengapa bukan aku yang dia pilih?” Nyatanya, realitas telah menjawab pertanyaan tersebut. Ya! Aku tidak menjadi pilihannya karena aku, bukan kriteria yang dia inginkan.
Ah, sudahlah! Aku tak ingin terlalu memikirkan hal itu lagi. Aku akan berusaha melupakan dengan fokus belajar untuk ujian. Semangat diriku, semangat menggapa tujuan, dan tentunya semangat melupakan …
Hari demi hari telah kulewati, tak terasa sekarang sudah punya penghasilan sendiri. Bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain pula. Ya, walaupun hanya sebuah kafe kecil. Setidaknya bisa mengalirkan uang untuk kehidupan sehari-hariku, juga memberi orangtua dan menggaji karyawan.
“Kak! Lagi ramai pelanggan. Kakak lagi sibuk enggak?” tanya Risma, karyawanku. “Enggak, kok, Ris. Aku bantuin, ya?” tawarku pada Risma. Aku memang memiliki karyawan, tapi hanya 3 orang. Kadang aku juga ikut melayani untuk ikut berinteraksi dengan pembeli, kalau sedang senggang. “Iya, Kak. Yaudah kalau gitu aku mau lanjut buat pesanan lagi,” pamitnya padaku. Aku mengangguk mengiyakan. Segera aku beranjak dari tempat duduk. Berjalan keluar ruangan ke ruang utama. Kemudian mengambil apron khusus milikku yang berwarna maroon.
Dari tempatku berdiri, hampir semua tempat duduk terisi. Namun, aku tak sengaja mendapati seseorang yang tak asing di mataku, meskipun yang terlihat hanya dari belakang tubuhnya. “Kak Artda, itu meja nomor 40 udah nungguin dari tadi, silakan kalau mau dilayani, entar aku buatin pesanannya setelah pesanan meja nomor 36 jadi,” jelas Risma padaku. Padahal, meja yang sedari tadi kuamati adalah meja tersebut. Ah, rasa penasaran ini makin menggebu, saja. “Ya sudah, aku langsung melayaninya, kamu semangat buat pesanannya!” Risma tersenyum manis sembari mengangguk. Tangannya sibuk berkutat kembali membuat pesanan.
Aku menghampiri meja nomor 40. Entah mengapa aku merasa yakin kalau dia adalah orang yang kukenal. “Permisi Mas! Mau pesan apa?” tawarku sopan. Sedikit kucondongkan kepalaku ke arah matanya yang tertutup laptop. Dengan kondisi kedua tanganku membawa note dan bolpoin, untuk mecatat pesanan. Dia mendongak lalu menutup laptopnya. Aku sedikit terkejut melihat wajahnya. Sangat berbeda dengan dia yang dulu kukenal. Yang sekarang jauh lebih … keren.
“Hei! Azran!” sapaku. “Eh, hai! Artda.” Dia tersenyum canggung. Sama seperti dulu, selalu kikuk kalau disapa. Heran aku.
“Apa kabar?” Tak apa, kan, jika basa-basi agar bisa komunikasi? Lagian, mana mungkin dia duluan yang bertanya. “Seperti yang kamu lihat,” pundaknya dia naik turunkan. “Owh, ya. Kamu mau pesan apa, nih?” Aku bingung mau basa-basi apa lagi. Jadi, kutanyakan saja apa yang ingin dipesan. Sebenarnya juga aku tahu kebiasaan dia kalau di kantin, dulu waktu SMA, seringnya dia memesan teh manis atau matchalatte hangat. Tapi, nggak tahu kalau sekarang?
“Matchalatte hangat ada?” Tepat sekali dengan tebakanku. Kebiasaannya yang dulu belum berubah. Apakah ini juga pertanda, bahwa rasaku padanya belum benar-benar hilang? “Tunggu bentar, ya. Aku buatin.” Kali ini, biarkan aku yang melayani pelanggan spesial dengan membuatkan pesanannya melalui tanganku sendiri. “Iya, silakan.”
Aku bergegas ke pantri, segera menyiapkan cangkir berukiran hati ukuran besar khusus untuk pelangganku satu ini. Agak berlebihan, sih, tapi nggak apa-apalah. Lagian baru ketemu setelah 3 tahun nggak pernah tahu kabarnya.
“Kak Artda kok buat sendiri, kan yang jadi barista aku.” “Enggak papa, Ris. Lagian pelanggannya temanku sendiri.”
Aku menyeduh air hangat keracikan matcha yang ada di cangkir berukir hati. Aku tersenyum riang, matchalatte spesial untuk dia yang datang kembali sudah jadi.
“Kakak lagi kasmaran, ya? Pasti sama pelanggan meja nomor 40? Hayo ngaku!” ledek Risma mencolek-colek pipiku. “Ih, berisik! Udah, ya. Aku mau nganterin pesanan.” Aku segera bergegas menuju meja yang ditempati Azran.
“Azran, ini matchalatte-nya. Silakan diminum.” Dia tersenyum lalu meraih cangkir berisi matchalatte yang kuberi. Meneguknya secara perlahan. Seperti sedang menikmatinya. Dia masih sama seperti dulu, selalu menikmati minuman kesukaannya. Lalu senyum manis itu juga masih sama. Sejauh yang kulihat sekarang. Kebiasaannya masih utuh.
“Btw, kamu sekarang kerja apa?” Dia menatapku lekat, aku hanya mengakat kedua alis. “Eh, itu sekarang jadi editor. Nerusin hobby aja, sih.” Sejak SMA dia memang sudah menjadi editor sekaligus konten kreator, tapi saat menjelang ujian dia berhenti menjadi konten kreator. Hasil editannya enggak main-main, bahkan aku pun sering meminta tolong padanya.
“Kalau kamu sendiri? Jadi apa, nih. Kayaknya kalau waiters kok enggak mungkin,” tanyanya heran. Aku hanya tersenyum. Lalu menggeleng. “Ya, menurut kamu apa?” “Malah balik tanya!” ujarnya terlihat malas. Kemudian memainkan laptopnya kembali.
Sepertinya percakapan kami berakhir sampai sini. Berniat beranjak dari kursi, tapi langsung dicegah olehnya. “Mau kemana? Temenin dulu, kek.” Entah kenapa suasana hatiku mendadak jadi tidak karuan. “Sekarang kamu beda, ya?” Aku berusaha memancing obrolan. Supaya kami punya topik pembicaraan untuk berlama-lama saling bersahutan. Rentetan gigi putihnya dia tunjukkan kemudian terkekeh pelan. “Aku tahu, enggak sekaku dulu lagi, kan?” Kuanggukan kepala antusias. Sembari tersenyum manis.
“Kok enggak bawa Triya ke sini?” Sebenarnya aku lebih senang dia sendiri ketimbang bersama pacarnya. Panas! Azran justru tersenyum kikuk.
“Aku salah ngomong, ya?” “Udah end dari lama. Lagian orangnya mau nikah juga,” ujarnya seraya menyeruput matchalatte-nya. “K-kok, sama siapa? Aku malahan enggak tahu sama sekali, ya?” “Orang Singapore, kalau kamu ngikutin Instagramnya pasti tahu.” “Oalah, pantesan.” Aku memang mulai jarang kontakan sama temen alumni. Toh, juga pada sibuk sendiri-sendiri.
Aku dan Azran pun melanjutkan obrolan. Dia bercerita tentang kandasnya hubungan mereka. Berakhirnya hubungan mereka berawal dari LDR-an, juga Triya yang memang sangat terobsesi dengan bule. Dulu memang aku pernah mendengar keinginannya menikah dengan lelaki bule. Aku kira cuma bualan semata, ternyata sudah terealisasikan.
Dapat kulihat kekecewaan masih menyelimuti Azran. Ketika dia bercerita mengenai hubungan asmaranya. Tapi, dia berkata bahwa sudah mengikhlaskan semua itu. Menganggap hubungannya dengan Triya hanya cinta monyet belaka.
Setelah pertemuan kemarin, Aku dan Azran sering bertemu. Ternyata dia juga sedang menggarap bisnisnya di bidang furniture milik bapaknya. Jadinya, kami bertemu saat malam hari. Dari jam delapan sampai jam sepuluh. Bertemu hanya karena saling sharing. Banyak hal yang kami bicarakan. Akan tetapi, dalam waktu 3 jam kami mampu bertahan dengan terus bercerita. Tentunya ditemani secangkir matchalatte dan kentang goreng.
Layaknya gedung tanpa sekat. Hari demi hari kami makin dekat. Dia juga sudah tidak secanggung dulu lagi. Lebih terbuka juga mudah tertawa saat bersamaku. Sampai pada hari ini, tiba-tiba saja dia menyatakan perasaannya padaku. Bahwa dia ingin aku menjadi tunangannya. Bukan pacarnya. Oh, Tuhan! Ini terlalu konyol untuk dipermainkan. Aku benar-benar tidak paham. Memangkah takdir kami seperti ini, atau aku yang terlalu berharap besar dengan semua ini? Nyatanya semua ini buka mimpi. Keesokan harinya dia langsung mewujudkan omongannya mengenai lamaran yang dia tawarkan. Tanpa pikir panjang aku langsung menerima lamarannya. Karena memang sampai sekarang aku masih mencintainya.
Mungkin dulu aku hanya berharap. Kemudian mencoba beranjak dari rasa yang membelenggu hatiku, untuk membebaskan rasa cinta yang seharusnya tak kubiarkan berlama-lama di hati ini. Akan Tetapi, sekarang aku membiarkan rasa itu kembali. Kembali dengan rasa yang menggebu bercampur cinta yang tak kunjung surut sampai ajal menjemput.
Tamat.
Cerpen Karangan: Sudut kamar Blog / Facebook: Na
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com