Setengah dekade sudah aku menjadi pengagum rahasianya, selama kurun waktu itu hanya bayang-bayangnya yang bisa aku gapai. Semuanya semu namun aku tetap menunggu.
—
Aku sama sekali tak mengenalnya, yang aku tahu bahwa dia begitu memesona ketika berjalan melintasi terminal kota yang dipenuhi dengan asap knalpot, teriakan kernet, calo, penjaja asongan serta jerit klakson dengan kekuatan beberapa desibel yang terkadang membuat telingaku terkapar lunglai.
Dia bagai oase di gurun pasir tandus, menyegarkan mataku yang tengah dahaga diantara kerling sebal kernet angkutan umum yang tak jua berhenti menawariku untuk menaiki kendaraan majikannya.
Namun ternyata oase itu hanyalah fatamorgana, dan celakanya dua tahun adalah waktu yang sangat memilukan bagi seorang gadis untuk menunggu satu kata sapa layaknya “Hai” dari seorang pemuda yang begitu bersinar diantara butiran debu dan gumpalan asap yang menyelimuti mata.
—
Lumpia basah di tanganku telah tandas, meninggalkan rasa pedas yang menetap di lidah. Sementara itu sebuah gerobak berisi es teh yang terbungkus rapi didalam plastik-plastik berkaret gelang dengan sedotan tersembul dari dalamnya melambai riang. Namun aku bergeming, minuman yang kemasan plastiknya berembun itu tidak akan menjadi penghalang rutinitasku menanti dia.
Seragam putih biruku pun memudar ditelan ketidakpastian akan seseorang yang selalu membuat kakiku melangkah tergesa seusai bel sekolah berbunyi. Walau terdengar perih namun aku cukup senang dengan semua hal yang aku lewati kala itu. Merasakan anehnya degub jantung yang berderap tak beraturan, menikmati syaraf-syaraf mata yang menegang, serta meratapi kerut-kerut halus di ujung bibirku yang tak jua bersambut. Dan semua ketragisan nan indah itu harus berakhir dengan bergantinya warna biru menjadi kelabu. Keperihan disambut dengan kesuraman, apakah tak ada yang lebih membahagiakan dari itu?
Ternyata aku salah, kesuraman tak sudi menemuiku. Warna kelabu itu telah mempertemukanku kembali dengannya. Tak hanya 5 menit seperti dulu, namun berlipat ganda karena aku dan dia ada dalam satu sekolah ya sama. Namun sekolah yang sama tak membuatku mendapatkan kata “Hai” yang aku damba.
Ratapan pedih dan nyanyian bahagia bersatu padu menemani kesendirianku duduk di bangku yang menghadap lapangan basket dimana ia memainkan bola bundar itu dengan lincah. Kanan kiri depan belakang secara tak beraturan, bola basketnya terpontal-pontal bagai perasaan hatiku selama ini.
Syair-syair pilu telah memenuhi lembar demi lembar diariku. Barisan kata itu menunggu butir-butir keberanianku untuk menyapanya terlebih dahulu. Namun, apa daya kata “Hai” tak jua meluncur dari bibirku walau tatapan kami beradu. Rasa maluku tak sebanding dengan rasa sukaku.
Tiga tahun berlalu begitu saja, meninggalkan jejak-jejak rasa yang semakin hari semakin menipis bagai gumpalan mendung yang telah menumpahkan hujan dengan lebatnya. Aku menyerah karena dia tak tergapai. Aku terlalu sombong untuk menunjukkan rasa sukaku kepadanya, dan dia? Dia terlalu acuh kepada titik debu yang selalu mengorbit di antara lintasan matanya.
Kututup diariku dengan sebuah syair elegi tentangnya seiring dengan berakhirnya masa pertemuanku dengannya.
—
“Hai.” Sebuah tepukan halus di bahu membuyarkan semua mimpi indah yang baru saja menari-nari dalam tidur nyenyakku. Aku membuka mataku perlahan menoleh ke asal suara yang kini berkata lirih. “Maaf aku terpaksa membangunkanmu, tapi kita sudah sampai di terminal akhir.” Aku terlonjak bukan karena tujuanku terlewati namun karena melihat siapa yang duduk disampingku kini. Rupanya aku terlalu nyenyak untuk diganggu oleh semua suara, penumpang, dan aroma khas yang menguar di dalam bus kota.
Dia tertawa memamerkan barisan giginya yang cemerlang ketika aku mengerjap-ngerjapkan mataku, diantara kesadaranku yang belum seutuhnya pulih. “Kamu turun disini kan? Atau mau balik lagi? Ayo turun, penumpang baru sudah mulai naik.” Tanpa menunggu jawabanku dia menarik lenganku dan menyeretku diantara para penumpang yang mulai blingsatan mencari bangku.
Dia masih memegangi lenganku sesaat setelah kami turun dari bus. Aku menatapnya tak percaya, sang pemilik syair elegi itu kini ada disampingku. Aku menyentuh dadaku namun tak ada rasa itu. Kemana perginya engkau wahai degub jantung yang tak beraturan?
“Eh maaf.” Ia melepas lenganku segera setelah sadar bahwa kami telah berada di luar kendaraan besar yang penuh sesak itu. Wajahnya bersemu merah karena malu. “Dulu kita satu sekolah kan?” Ia bertanya sambil menyodorkan sebungkus permen karet kepadaku. Aku menghentikan langkahku lalu menatapnya. Dia balik menatapku dengan ekspresi jenaka.
“Benar kan? Aku tak akan pernah lupa dengan tatapan itu.” Dia membuat lingkaran dengan jari telunjuknya di depan wajahku. Aku tertegun lalu menelan ludah, mengembalikan permen karetnya setelah aku ambil satu. Aku masih diam, sibuk mencari sesuatu yang sepertinya telah hilang ketika ia mengulurkan tangannya kepadaku
“Namaku Jojo, nama kamu Rere kan?” lanjutnya. Aku tersedak. Dia tahu namaku? Aku mengangguk, dahiku berkerut.
“Aku tahu nama kamu dari Candra. Aku ingat, dulu kamu selalu duduk di bangku yang menghadap lapangan basket. Aku tak tahu apakah kamu sedang memperhatikan kami yang tengah main basket atau sedang apa. Aku selalu ingin bertanya kepadamu tapi aku tak punya keberanian untuk itu. Kamu bagaikan patung yang terbuat dari asap, nyata tapi susah disentuh.” Jojo tergelak. “Lantas mengapa sekarang kamu berani menyentuh patung asap itu bahkan ketika ia tengah menikmati mimpi-mimpi indahnya?” “Karena aku harus, kalau tidak kamu bakal menjadi penumpang bus abadi, pulang pergi gak berhenti-berhenti, bisa-bisa sampai bus masuk garasi.” Dia tertawa dan kini aku pun ikut terbahak dengannya.
Sejak saat itu aku dan Jojo menjadi teman baik, kami sering bertemu di dalam bus, sesekali ia mengunjungi kampusku lalu mengajakku ke toko buku atau berjalan-jalan diantara rimbunnya pohon-pohon akasia di sekitar Alun-alun kota. Kami kerap saling bercerita tentang hari-hari yang telah terlewati. Namun dalam hatiku tak ada lagi yang tersisa dari rasa itu karena perciknya telah hilang ditelan waktu.
—
Aku membuka kembali diariku yang telah lama aku tutup. Kutulisi lembar terakhirnya dengan sebuah syair elegi namun kali ini ada sisipan tawa disana, karena tak ada lagi ratapan pedih tentangnya, yang tersisa hanyalah gelak tawa tentang segala prasangka yang dulu pernah meraja. Manis namun terkadang pahitnya masih sedikit terasa.
Cerpen Karangan: Ika Septi Blog: kompasiana.com/Ika Septi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com