Seperti biasa aku berjalan melewati jalan-jalan kecil di dalam kota yang sepi. Hampir semua Jendela-jendela besar di sepanjang jalan yang kulalui terbuka menyambut musim semi yang kembali menghangatkan alam. Kuncup-kuncup iris terlihat ceria menyambut pagi pertama di bulan Maret itu. Sejuk namun hangat. Udara musim semi begitu membuai diriku masuk ke dalam symphony hangat yang menggoda. Senyum dan sapaan dari orang-orang yang kulewati memberi kekuatan tersendiri untukku memulai hari itu.
Langkah kakiku menuju bangunan besar yang berdiri kokoh di tepi jalan utama yang mulai dipadati kendaraan dan pejalan kaki. Bangunan itu adalah perpustakaan terbesar di kota ini dan aku menghabiskan hari-hariku disana. Ini adalah musim semi ke 4 sejak aku memulai hidupku di perpustakaan itu, berkutat dengan buku-buku dan arsip-arsip yang hampir tak terhitung jumlahnya.
Jam tanganku menunjuk pukul delapan pagi. Perpustakaan itu belum buka tapi aku yakin sudah ada seseorang di sana. Pintu gerbang besi di depan sudah tak terkunci lagi dan jendela-jendela kacanya juga terbuka meghirup udara musim semi. Kubuka pintu kayu Ek besar yang penuh ukiran indah itu lalu sembari tersenyum aku menyapa tuan Hust yang tengah menyapu lantai sambil bersenandung riang. Laki-laki setengah baya itu pun tersenyum ramah sambil membalas sapaanku. Tuan Hust adalah salah satu pemegang kunci perpustakaan ini. Ia telah bekerja hampir tiga puluh tahun dan ia selalu mendapat penghargaan sebagai pegawai teladan setiap tahunnya. Benar-benar pegawai yang berdedikasi dan patut diteladani.
Aku pun bergegas ke mejaku, meletakkan tas dan melepas jaket lalu menggantungkannya di dekat jendela. Aku beruntung mendapat meja di dekat jendela karena dikala kebosanan menebar aku bisa mengalihkan pekerjaanku sejenak dan menengok keluar jendela, menikmati pemandangan.
“Ayo cepat Mikhail! Jangan melamun saja.” Suara tuan Hust terdengar memanggilku untuk menyapa pekerjaan pertama pagi itu, membantunya menyapu lantai. Meski ini perpustakaan besar namun tidak memiliki pegawai khusus dalam urusan kebersihan sehingga selain mengurusi buku-buku kami juga mengurus kebersihan lantai, rak-rak, meja dan bahkan kamar mandi.
Aku mengambil sapu dari almari alat-alat kebersihan dan mulai menyapu sambil sesekali ber-Walsa. Tuan Hust tertawa ketika melihatku mempraktekan gerakan-gerakan walsa dengan sebuah sapu sebagai pasangan dansa. “Kau seharusnya mencari teman dansa yang bisa bicara.” Katanya sambil terkekeh-kekeh. “Dan cantik tentunya.” Imbuhnya sambil berdeham. Aku ikut tertawa sambil tetap menyapu. “Sepertinya gadis-gadis di kota ini tidak tertarik padaku.” Jawabku pura-pura merana. “Itu karena kau tidak ramah dengan mereka, cobalah sedikit tersenyum.” “Jika aku tersenyum, aku rasa mereka malah akan lari ketakutan.” Kataku sambil tertawa. Tuan Hust menggeleng-nggelengkan kepala sambil meneruskan pekerjaannya. “Kau benar-benar harus belajar mencari cinta.” Gumam Tuan Hust. Aku sudah mencoba dan sudah menemukannya namun.., ah sudahlah, pikirku dalam hati. Dengan menggelengkan kepala aku melanjutkan pekerjaanku tanpa berdansa lagi.
Perpustakaan buka tepat pukul sembilan, dan beberapa orang terlihat masuk untuk menikmati buku-buku yang telah siap dibaca. Aku telah duduk di mejaku mulai mengurusi buku-buku baru yang masuk hari itu. Mulai dari memberi kode dan menyampuli buku-buku menjadi tanggung jawabku. Ada begitu banyak buku yang masuk, mulai dari novel, literatur, sains, politik, sejarah, majalah-majalah dan lain-lain yang berharap segera diurus.
“Mau kopi?” suara lembut Irina menghentikan pekerjaanku. “Tentu.” Jawabku sambil tersenyum. Irina lalu beranjak ke tempat kami, para pegawai, membuat kopi, teh dan semacamnya. Irina adalah seniorku yang telah 6 tahun bekerja di perpustakaan ini. Ia adalah seorang wanita berusia tiga puluhan dengan rambut pirang lurus sebatas bahu serta memiliki wajah bundar dan hidung yang mungil. Aku cukup akrab dengannya, ia wanita yang baik. Irina memiliki seorang anak laki-laki yang masih duduk di kelas 5 sekolah dasar, Dimitri namanya. Suami Irina, Alexei, seorang guru di sekolah menengah yang tidak jauh dari perpustakaan ini. Keluarga kecil yang bahagia, begitulah aku berpikir ketika melihat mereka. Kadang aku iri.
Suara lirih keramik yang beradu dengan meja membuatku menengok, Irina telah selesai membuat kopi dan menaruhnya di mejaku. “Terima kasih.” Kataku pada Irina yang kembali beranjak. “Tidak masalah.” Irina tersenyum. Ia lalu meninggalkanku yang memandang kepergiannya. Ada getaran kecil yang mengusik benakku. Menggelengkan kepala, aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Kuncup-kuncup bunga pukul empat di luar jendela menggodaku untuk tersenyum, warnanya yang kuning pucat dan putih begitu menawan. Seperti rambut pirang yang membingkai wajah putihnya. Sambil menghela nafas putus asa, kupejamkan mataku dan lalu membukanya lagi. Kualihkan pandanganku dari jendela dan meneruskan tugasku.
Tak bisa kubiarkan hal ini terus berlangsung, aku harus berhenti memenuhi benakku dengan Dia. Aku hanyalah pria menyedihkan yang mengharapkan mirabilis jalapa mekar di tengah hari. Hanya lamunan yang akan kutuai, hanya harapan kosong yang tak akan pernah terisi. Kubiarkan lemari-lemari kayu besar itu menelan siluetnya yang tak pernah bisa meninggalkan lamunanku. Meski tak lagi terlihat, namun bayangannya masih terpantul jelas dalam bola mataku.
Aku memang bodoh karena memiliki perasaan itu kepada Irina. Tak sepantasnya aku memendam rasa kepada wanita yang telah memiliki seseorang dalam hidupnya. Sambil menghela nafas panjang, kutepis semua lamunan dan bayangan bodoh itu jauh-jauh dan kembali ke kenyataan. Kenyataanku yang sepi.
Cerpen Karangan: R. Safir Blog / Facebook: Not All Who Wander Are Lost
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com