“Assalamualaikum. Azizah kan?” Ujar pria itu. “Waalaikumsalam.” Aku yang sedang asyik melihat lihat buku seketika kaget dan sekelebat cerita lama tiba-tiba hadir dalam benakku.
Dulu, pertama kali aku bertemu dengannya. “Cerita yang punya alur cerita yang tak tertebak selalu membuat pembaca penasaran…” Ia menjelaskan dengan senyum manisnya. Hari itu aku mengenalnya. Dan pada hari itu juga muncul perasaan yang sulit dijelaskan.
“Nah sekarang kakak akan mengenalkan ketua OSIS yang akan ikut serta menemani kalian mengenal lingkungan sekolah baru kalian.” Kakak perempuan itu menjelaskan dengan ramah. Sama sekali tak memperlihatkan sikap sombong layaknya senior lain. “Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Ayirio…” Aku kaget melihat ketua OSIS sekolahku. Dan tentunya Aku tak membutuhkan perkenalannya, karena memang aku sudah mengenalnya. Aku tak menduga akan bertemunya lagi, dan yang lebih tak kuduga ia satu sekolah denganku.
“Kak Rio.” Aku menyapanya menggunakan nama panggilannya. “Loh, kamu? Azizah kan?” “Iya kak, aku Azizah. Yang kemarin di acara komunitas cerpen itu. Waktu itu kakak bagus banget menjelaskannya.” “Ha ha ha masa sih? Biasa saja. Eh, iya saya mau kasih tahu rencana saya. Saya mau mengadakan acara pertemuan komunitas lagi. Kali ini kita juga akan menyumbangkan buku-buku lama yang masih layak pakai, bagaimana? Bagus enggak idenya?” “Wah keren tuh idenya. Boleh banget kak mengadakan acara itu, kan bermanfaat banget.” Aku senang banget idenya itu disampaikannya langsung padaku.
Aku pertama kali bertemu dengannya saat ia mengisi acara komunitas cerpen yang memang dibentuknya sendiri bersama teman-temannya. Dan ia tahu namaku saat aku menjawab pertanyaannya pada sesi tanya jawab. Dan semenjak saat itu aku dan Ayirio, sering mengadakan acara pertemuan komunitas cerpen yang dibentuknya. Ia seorang penulis yang sudah menerbitkan 2 buku. Memang masih tergolong sedikit, namun tetap membanggakan bukan?
Hari demi hari aku semakin sering bertemu dengannya. Perasaan yang tak kumengerti selalu muncul tiba-tiba. Teman temanku yang lain juga banyak yang mengikuti komunitas itu, jadi aku bukan hanya berdua dengannya mempersiapkan segala acara, melainkan beramai-ramai. Hingga akhirnya acara pertemuan komunitas semakin jarang dilakukan. Ayirio sudah kelas 12 SMA dan akan mempersiapkan ujiannya. Dan tibalah ia lulus. Saat itu ada perasaan yang sedih menyelimuti hatiku. Dan saat ia telah lulus, aku mulai mengerti perasaan ini. Perasaan yang membuatku selalu merasa deg degan tak karuan.
Namun nyatanya, ia tak menunjukkan sedikit pun perasaan itu selama kami bertemu. Apa ia menyembunyikannya? Apakah ia memendamnya dalam lubuk hatinya? Atau jangan jangan perasaan hatiku ini tak pernah sama dengan perasaan hatinya? Pada akhirnya, aku harus melupakannya sekuat tenaga. Ia sudah lulus dan kami tak pernah lagi bertemu. Saat ia lulus, ia tak mengatakan apa pun. Hatiku semakin yakin bahwa ia tak pernah memiliki perasaan yang sama denganku. Aku berusaha tak pernah mengingatnya lagi, karena aku tahu hati ini terlanjur terluka karenanya. Melupakan memang sulit, tapi aku harus melakukannya.
“Jangan lupa beli buku yang itu. Itu buku saya yang keempat.” Ia menunjuk ke arah rak di sebelah kanan, membuyarkan lamunanku mengingat cerita lama yang ternyata ada lanjutannya. Ia tiba-tiba muncul membuat cerita lama itu berlanjut, entah apa endingnya.
Aku hanya diam. Ia tiba-tiba muncul tak diundang. Wajahnya tak tampak rasa bersalah sedikit pun, ia malah menyuruhku membeli buku terbarunya. Ia memang tak bersalah, aku yang salah. Harusnya aku sudah melupakan perasaan ini, tapi ia kembali dan membuat perasaan ini tetap terjaga rapi nan indah dalam hatiku.
“Jawab dong, jangan diam saja.” “Eh iya Kak Ayirio kan? Lagi ngapain di sini?” pertanyaan aneh terlontarkan begitu saja dariku. “Ha ha ha kamu masih saja aneh dari dulu. Emang ke toko buku mau ngapain? Beli baju?” ia tergelak dengan leluconnya sendiri. “Maaf saya bercanda. Saya senang bisa ketemu kamu lagi. Maaf saya waktu itu langsung hilang begitu saja setelah lulus. Enggak mengabari atau sekedar bersilahturahmi.” “Enggak perlu minta maaf kak.” Aku menunduk ke lantai, tak ingin bertatap dengannya. Aku berusaha menjaga pandanganku.
Lalu ia berdeham, seakan berusaha ingin mengungkapkan sesuatu. “Saya enggak pernah tahu apa perasaan saya sama seperti perasaan kamu. Saya enggak berani mengungkapkan sampai tiba saatnya. Dan mungkin ini saatnya. Kamu mengerti kan apa maksud perasaan itu?” “Saya mengerti.” Jawabku. Aku tak menyangka ia akan mengatakan hal ini kepadaku, setelah sekian lama tak berjumpa. “Dan apa kamu punya perasaan yang sama?” Aku hanya tersenyum menekuri lantai. Ia mungkin tahu apa arti senyumku itu. Aku merasa menyesal menilainya seperti itu. Harusnya aku bersyukur kepada Allah SWT. Karena Ayirio, orang yang membuat perasaanku deg degan punya cara yang tepat dalam mengungkapkan perasaannya. Allah punya rencana yang terbaik untuk menyatukan aku dan Ayirio. Ternyata ini Ending cerita aku dan ia, aku menunggunya bertahun-tahun lamanya, tanpa kuduga ia hadir dan menyelesaikan kisah kami.
Cerpen Karangan: Khalila
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com