“Kau kenangan kesedihan sekaligus kenangan terindah untukku. Jangan lupakanku, yang selalu mencintaimu dalam diam.”
Pagi ini matahari menghiasi bumi, dan langit sebagai pelengkapnya. Memulai keseharianku bekerja sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit di Bandung, kota kelahiranku. Walaupun aku tidak tinggal di jakarta lagi semenjak kepergian ayah.
Jakarta tetap jadi kenangan tersendiri buatku dan ibu. Tinggal bersama nenek, ibu di rumah nenek, Bandung. Sudah membuatku merasa bahagia walau aku yakin ayah bahagia disana melihat aku dan ibu disini baik-baik saja. Terima kasih ayah kau berikan yang terbaik untuk putrinya.
“Pagi dokter Vania,” sapaan suster saat aku berada di lorong rumah sakit menuju ruang kerjaku. “Pagi juga sus.” Balik sapaanku. Seperti biasa aku mengecek pasien-pasienku. “Ibu hari ini sudah boleh pulang,” saatku selesai mengecek kondisi pasien yang terkena tipus. “Baik dok.” Jawabnya.
Matahari cepat berlalu, langit menjadi orange. Tandanya bulan mulai memulai aktifitasnya untuk menerangi bumi. Dan aku waktunya pulag, pasti ibu dan nenek yang sudah menungguku di rumah.
“Assalamualaikum ibu, nek.” Kebetulan tidak dikunci aku langsung masuk kedalam. Dan kulihat ada seseorang di ruang tamu langsung menghadapku. “Kamu siapa?,” Aku menanyakannya karena aku tidak tahu dia, dan tiba-tiba sudah didalam rumahku. “Kamu nggak kenal aku?,” Aku menggelang. “Aku Gio.” Aku terkejut, nama itu yang selalu kunantikan kedatangannya. “Kamu beneran Gio?” Aku mendekap bahunya yang atletis, Gio hanya tersenyum mengangkat satu alis tebalnya lalu tertawa saat ku peluk dia dan ia membalas pelukanku. Aroma parfum yang kurindukan belasan tahun lalu masih saja menempel di badannya.
“Kamu tahu dari mana rumahku yang sekarang?” tanyaku karena aku nggak penah kasih tahu soal rumah nenek kepada Gio. “Awalnya aku juga nggak tau, aku ke rumah kamu yang lama tapi kata bu Rina tetangga depan, kamu udah pindah ke bandung. Dan sebelum aku cari kamu di Bandung, aku sempatin ke rumah bi Sum dan aku tahu dari bi Sum.” Ucapnya dengan detail setelah selesai berpelukan dan duduk kembali. “Jangan-jangan ibu yang kasih tahu bi Sum rumah yang di bandung.” Ucap ku dalam hati. “Ibu yang kasih tahu sebelum kita pindah Van, takutnya sewaktu-waktu Gio nyariin kamu. Jadi Gio nggak susah-susah cariin kita.” Ucap ibu langsung berbicara.
“Maaf ya nak Gio, ibu kelamaan ya, ini tehnya.” Lanjut Ibu memberikan minum dan duduk di kursi. “Gapapa bu.” Gio tersenyum. “Nenek mana bu?” tanyaku, Karena aku tidak melihat semenjak pulang. “Ibu ada di kamar.” Jawabnya. “Ibu dan Vania aku turut berduka, aku ga tahu kalau Ayah Reno udah nggak ada.” Lanjut Gio merasa sedih.
Gio tentangga kami ia tinggal di samping rumahku dari kecil selalu bersama. karena ayah dan ibunya jarang di rumah ia diasuh oleh bi Sum dan sekarang bi Sum merawat rumah Gio yang berada di Jakarta. Gio sudah dianggap keluarga Vania, karena kami sebaya dan hanya beda beberapa bulan lebih tua dariku.
“Iya gapapa nak Gio.” Ucap ibuku. “Kamu tinggal dimana selama ini?” Tanyaku karena ku penasaran saat Gio pergi dijemput di sekolah oleh orang tuanya. “Aku tinggal bersama oma di Sidney, Australia. Aku juga baru tahu aku punya nenek disana. Karena papah dan mamah sibuk dengan urusan mereka, dan katanya biar deket sama oma disana.” Jelas Gio, jadi sekarang aku tahu kenapa ia pindah. “Ibu kamu hanya bilang pergi ke luar negeri.” Ucap ibuku. “Ibu ingat banget kamu pulang sekolah nangis mau nyusul Gio. Nangis sesegukan di pangkuan ibu Sampe ketiduran.” Timpal, ibu tertawa, aku mencubit tangan ibu. Ibu kenapa harus ceritain kejadian memalukan di depan Gio, batinku. Gio tertawa terbahak-bahak.
“Trus lanjutnya gimana bu?” tanya Gio penasaran yang masih terus tertawa. “Terus dia mogok makan sama sekolah, katanya mau nyusul kamu kesana. Tapi ibu bilang ibu nggak tau Gio dimana.” Ucap ibu tetawa, Gio tertawa sampai memegang perutnya, aku hanya menunduk karena malu. “Udah ah bu, jangan ceritain hal memalukan itu lagi.” Aku protes ke ibu.
Ibu hanya senyum-senyum jahil. Setelah tertawa mereda ibu mengajakku dan Gio makan “Ada rendang kesukaan kamu.” Ibu berdiri. “Ibu masih inget aja makanan kesukaan aku, aku juga kangen masakan ibu. Oiya ibu aku juga sekalian mau numpang sholat bu.” Gio menuju kamar mandi dan aku juga ingin sholat. Kami sholat bersama, setelah selesai Aku, Ibu, Nenek, dan Gio makan bersama. Kami makan malam dengan bahagia.
Setelah makan aku dan Gio mengobrol tentang masa kecil dulu kita, tetawa, bercerita. Aku bahagia sekali. Orang yang selama ini kunantikan akhirnya datang tanpa diduga. Dan seseorang yang menjadi cinta pertamaku dan semoga yang terakhir.
“Bu Dokter, bu Dokter. Gio sakit.” Ledek Gio memperagakan seperti anak kecil. “Mulai deh,” ucapku kesal “kamu sekarang kerja apa?” timpalku. “Kamu inget kan dulu impianku?” Tanya Gio, Aku mencoba mengingat. “Kamu beneran jadi pilot?” cengir Gio, memperlihatkan gigi rapihnya. “Yoi.” Gio membanggakan diri sendiri. “Ga nyangka, Vania yang dulu cengeng udah jadi Dokter.” Ledek Gio, lagi. Menepuk-nepuk kepalaku, aku heran jahilnya tidak hilang dari dulu. Aku hanya menggeleng, tapi aku kangen jahilnya.
“Kamu besok kerja?” lanjutnya. “Kerja.” Jawabku. “Besok nggak bisa libur sehari?” Gio memohon. Aku berpikir panjang “Aku usahain.” Ucapku tersenyum “Pokoknya besok aku jemput jam 3 pagi, kamu nggak boleh kerja.” Sahutnya. “Dih, maksa,” cetusku “Bodo amat, kamu harus udah rapi jam 3 pagi.” Ucap Gio tak mau kalah “Mau pergi kemana?” tanyaku. “Udah ikut aja, ibu sama nenek mana mau pamit pulang.” Ucap Gio. “Paling udah tidur, bentar aku panggil dulu.” Aku bangun dan berniat memanggil ibu dan nenek tetapi Gio menahanku dengan tarik tanganku. “Nggak usah kasihan kalo dibangunin, salam aja ya dari Giovino ganteng,” cengiran Gio, aku hanya acuhkan yang lawakan garing Gio “Hati-hati.” Ucapku saat Gio sudah masuk kemobil dan aku melambaikan tangan.
Aku bahagia sekali, seseorang yang kunantikan datang. Dan besok dia ingin mengajakku. Serasa ribuan bunga bertaburan di atas kepala, ingin cepat-cepat besok.
Menapaki jalan bebatuan tanpa alas, menantimu Melewati hutan kesunyian yang mendalam, tanpamu Ku yakin kau akan datang membawa kejutan, untukku Menjadi tujuan terakhir dalam perjalanan, bagiku
Gelap masih menyelimuti langit, tetapi aku sudah rapi. Aku bingung Gio mau bawa aku kemana pagi-pagi buta seperti ini. Baju kemeja putih, Celana jeans biru dan sepatu biasa berwarna abu-abu, Tas slempang berwarna hitam, jam tangan berwarna hitam dan makeup natural. Untuk hari ini aku gunakan. Ponselku berdering, Gio sudah sampai di depan rumah. Karena ia tidak mau mengganggu Nenek dan Ibu yang masih istirahat, Aku sudah menulis surat untuk ibu.
“Kita mau pergi kemana?” tanyaku disamping Gio yang sedang menyetir. “Udah ikut aja, pasti kamu suka.” Jawabnya tetapi masih focus ke depan.
Selama di perjalanan aku dan Gio sama-sama tidak membuka suara, Gio focus menyetir aku hanya melamuan melihat pemandangan dari jendela.
Perjalanan sekitar 1 jam sampai akhirnya di tempat tujuan. Sebelum sampai disana kami ke mushola dekat sana untuk sholat subuh.
“Udah sampe.” Aku dan Gio turun.
Aku liat pemandangan yang indah, luas dan asri, selama di bandung aku belum pernah kesini sebelumnya. Tetapi untuk apa Gio menyewa motor.
“Ayo naik, ” Gio menyuruhku naik motor dan kami berjalan agak curam. kata Gio kita harus menaiki memakai sepeda motor untuk sungguh indah sekali.
“Van.” Gio menepuk pundakku “Hah, apa?” Aku yang tidak sadar langsung bertanya, Gio hanya tertawa “Suka nggak?” Gio mengulang pertanyaan sebelumnya “Suka apa?” Aku kaget saat Gio bilang seperti itu, jantungku berdetaak kencang. “Suka sama pemandangan disini, apa lagi?” Aku kegeeran. “Suka kok, suka banget.” Ucapku langsung mengalihakan pandangan kedepan, Gio hanya tersenyum melihatku.
Cerpen Karangan: Fitri Dwiyanti Blog / Facebook: Fitri Dwiyanti
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com