Adzan Maghrib telah berkumandang 15 menit yang lalu, aku telah selesai menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Seperti biasa rutinitasku sehabis maghrib adalah mengajar anak-anak mengaji, jarak tempatku mengajar tak terlalu jauh dan aku memilih untuk jalan kaki.
Bukan tanpa alasan, semua itu aku lakukan karena aku tak bisa mengendarai motor. Syutt ini rahasia. Perjalanan menuju tempatku mengajar hanya butuh waktu sekitar 5-7 menit, dalam perjalananku ke sana aku harus melewati sebuah tempat yang membuat kinerja jantungku berdetak lebih cepat. Sebuah rumah dengan pagar hitam yang dikelilingi oleh pepohonan itu membuatku sering kali tertunduk ketika melewatinya, bukan bangunannya yang membuatku bergidik melainkan penghuninya.
“Astaghfirullah, jangan nengok jangan nengok” Kalimat itu selalu aku lontarkan, ketika berhasil melewati rumah itu aku baru bisa bernapas lega. Sedikit cerita, kegiatan mengajarku ini baru aku lakukan ketika aku kelas 3 SMA. Itu karena tawaran dari tetanggaku yang mengatakan di tempat ngaji itu kekurangan pengajar, dengan sedikit ilmu yang aku punya aku menyetujui untuk membantu mengajar mengaji. Bukan Al-Qur’an, tetapi Iqra.
Aku biasa pulang mengajar ba’da Isya, atau sebelum adzan Isya, tergantung berapa banyak anak-anak yang datang. Sebentar, dadaku bergemuruh hebat. Kali ini aku harus melewati ujian 2 kali lipat, penghuni rumah pagar hitam itu keluar dari rumahnya, berjalan di depanku. Aku menunduk semakin dalam, rasanya ingin teleportasi dan segera sampai rumah.
Oh tidak, dia menengok ke belakang. Melihat ke arahku. Jangan! tolong bantu aku. Tatapan itu membuatku takut. Takut untuk semakin jatuh, jatuh pada pesona sederhana yang istimewa.
“Ya Muqqollibal qulub tsabit qolbi a’la diinnik” (Ya Allah, yang maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu). Lirihku.
Akan aku ceritakan sedikit, Pria itu kulihat pertama kali 3 tahun yang lalu. Dia dan keluarganya pindah dari kota Yogyakarta ke Bandung, tempat tinggalku. Katanya mereka pindah karena Ayahnya dipindahtugaskan ke Bandung, waktu pertama kali lihat, aku biasa saja cuma sedikit penasaran.
Waktu berjalan dengan cepat, aku terbiasa melihat kehadirannya. Karena dia tak pernah absen melaksanakan sholat berjamaah di musholah yang ada di belakang rumahku, otomatis aku selalu melihat sosoknya. Perlu kuakui aku terkagum dengan ke Istiqomahan nya yang selalu rutin melaksanakan sholat berjamaah, untuk laki-laki seusianya agak susah mencari yang seperti ini.
Cukup, aku tidak mau terlalu memujinya.
Semakin hari perasaan aneh itu mulai muncul, entah kenapa jantungku selalu berdesir ketika melihat sosoknya. Aku bahkan mulai hafal suara derap langkahnya, deru motornya, suara tawanya. Ah, apa aku jatuh cinta? Semudah itu. Fakta menyedihkannya adalah, sampai detik ini setelah 3 tahun berlalu, aku tidak pernah tahu siapa namanya. Haha ini lucu sekali.
Aku jatuh cinta pada Tuan yang tidak aku ketahui namanya. Ini hanya perasaan penasaran atau aku benar-benar jatuh cinta. Biar kuberitahu, aku tipikal perempuan yang tidak mudah untuk jatuh cinta, tapi sekalinya aku jatuh cinta maka akan sulit bagiku untuk melupakannya. Aku dengan Tuan tanpa nama itu tidak pernah sekalipun terlibat interaksi, jangankan berinteraksi menatap saja tak lebih dari 5 detik. Ah, gemes sendiri aku jadinya.
“Ayolah Kinan, kamu nih kenapa bisa sih jatuh cinta sama laki-laki yang kamu gak tau namanya siapa. Astaghfirullah” ucapku sembari memukul kepalaku sendiri.
Baik, aku akhiri cerita tentang si Tuan. Kembali ke kehidupan nyataku.
Perjalanan pulang ke rumah sedikit terasa lebih lambat, itu karena aku menyeimbangi langkah kaki si Tuan yang tidak cepat. Aku tidak mau berjalan di depannya, aku takut goyah dan malah berbalik badan nantinya. Jadi aku memutuskan untuk tetap di belakangnya, memperhatikan punggung kokohnya.
Astaghfirullah, Kinan matamu tolong dijaga.
Aku bisa bernapas lega ketika akhirnya aku sampai di rumahku, buru-buru aku melangkah masuk dan menutup pintu. “Kamu kenapa Dek?” tanya Ibuku ketika melihatku sedang mengatur napas. “Hah? Enggak aku gapapa kok Bu. Hehe” “Kok ngos-ngosan gitu, kaya abis ketemu setan” tanya Ibuku lagi. “Ini lebih serem dari setan Bu” lirihku. “Kamu ngomong apa Dek?” “Enggak, bukan apa-apa. Aku ke kamar ya Bu” buru-buru aku melarikan diri masuk ke kamar. Setelah itu aku membuka buku diaryku, lagi-lagi aku menuliskan tentang sosok Tuan Tanpa Nama.
KLANDESTIN
Tuan sejuta pesona Ijinkan saya menyusun beberapa kata Sedikit menceritakan tentang anda Pemilik daya pikat yang istimewa
Langkahmu menjadi candu Tawamu menghantarkan rindu Suaramu bagiku merdu Harum mu menenangkan kalbu
Tuan sejuta pesona Semesta seringkali seolah bercanda Ketika aku tak pernah meminta Namun seringkali kita berjumpa
Nestapa seolah ku ciptakan sendiri Karena memilih untuk mencintai Sosok yang tak pernah perduli Pada temu yang sering dilalui
Kita mempunyai masing-masing badra Bertemu denganmu adalah nyata Mengagumimu adalah sakit paling bahagia Dan dicintai olehmu adalah fana
Tuan pemilik nayanika kita adalah aksa Dipertemukan adalah ingin semesta Tapi dipersatukan bukanlah takdirnya
Cukup, ini membuatku menangis. Aku takut dengan perasaanku sendiri, aku takut ini akan menjadi boomerang untuk diriku. Aku tidak mau menjadi lemah karena cinta, tidak mau menjadi perempuan yang jatuh karena cinta. Sepertinya mulai saat ini aku harus kembali menata hatiku agar tak mudah jatuh pada sesuatu yang belum tentu menjadi takdirku. Doakan aku ya.
Cerpen Karangan: Andini Septia Blog / Facebook: andiniseptiaa (Instagram) “Assalamu’alaikum, perkenalkan saya Andini Septia. Mahasiswi Universitas Pamulang, Sastra Indonesia. Semester III”
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com