Anggap saja ini simulasi kematian. Tiada orang, tiada suara, tiada pergerakan. Tikus dan kucing bahkan tak ada satupun yang lewat meski seonggok sampah menggunung di sudut halaman. Namun Pepo masih bisa melihat sinar-sinar lampu di rumahnya. Sarungnya meski tidak tebal tapi beruntung mampu membendung rasa dingin yang menghampiri.
Dari luar, Pepo mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Aneh. Padahal dia seorang diri tanpa ada yang menemani. Dia lalu melihat sesosok orang yang mengintip dari sudut rumahnya. Pepo mencoba mencari sosok itu hingga ke belakang rumah. Dia agak takut. Lantas dia menutupi tubuhnya dengan sarung untuk berlindung.
Untuk pengamanan, Pepo membawa sebilah batang besi di tangan kirinya dan batu besar di tangan kanannya. Dia mencoba masuk ke rumah melalui pintu belakang. Dan…
“TILULIT, TILULIT!” “haaaah…”
Terkejutlah Pepo akibat mendengar suara ponselnya sendiri. Wajar saja bila Pepo kaget karena rumah yang tadinya sepi, tiba-tiba bermunculan suara. Dia sampai membanting batu dan besi yang ada pada genggamannya hingga membuat ubin rumahnya pecah.
Pepo kemudian terdiam di depan fotonya bersama teman-temannya di ruang tamu. Dia menggapai piguranya dan membersihkan debu-debu yang menempel sembari mengingat kebodohannya di masa lalu yang membuat semua temannya menjauh darinya.
Termasuk gadis-gadis yang dia cintai. Semuanya pada ngacir. Pepo padahal tak pernah lupa dengan ritual menyiramkan wewangian pada tubuh dan pakaiannya sebelum dia bertemu teman atau orang baru. Merawat mulut juga tak pernah luput dari kesehariannya. Penampilan senantiasa dia perhatikan meski hanya sekecil menutup kancing baju.
Biarlah masa lalu berlalu. Pepo kini hanya bisa menertawakan kebodohan itu. Dia semakin terpaku kepada salah satu gadis di foto itu. Yakni Pita. Dia adalah salah satu teman sekolah Pepo dulu yang sempat Pepo kagumi. Namun belum kesampaian. Mereka sudah lama tidak bertemu. Namun terakhir bertemu, Pita terlihat semakin cantik.
Pepo kemudian beranjak ke kamar untuk berlayar ke pulau kapuk. Ditutuplah semua pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Semua lampu di rumahnya dia matikan kecuali lampu kamar tidurnya. Saat Pepo membuka pintu kamar, dia terkejut. Ada seorang perempuan yang sedang menunggunya di ranjang. Dia menyapa Pepo dengan suara yang lembut. Pepo bahkan sampai menelan ludahnya berkali-kali. Untuk menghilangkan rasa grogi.
“Hai, Pepo.” “Pita? Kamukah itu?”
Pepo terheran. Bagaimana Pita bisa berada di kamarnya bahkan duduk di atas ranjangnya? Kedatangannya tidak diketahui secara pasti. Pita bahkan mengajak beberapa temannya yakni Pika dan Pia. Mereka muncul dari balik badan Pepo dan memeluk Pepo dengan hangat. Tak lupa, Pita juga ikut memeluk Pepo. Akibat pelukan yang erat dari tiga perempuan itu, Pepo jadi tersungkur.
“Astaga, bau sampah!”
Kaki Pepo perlahan beranjak dari tanah dan tersungkur ke onggokan sampah daun kering di halamannya. Dia hanya rupanya melamun di malam sunyi. Pepo bergegas lari menuju kamar, dan… tidak ada orang. Dia masih saja sendirian. Foto kelas yang dia pajang di dinding masih berdebu. Dia kemudian mengingat lamunannya tadi.
Seorang pria besar kemudian datang memanggil lantang Pepo. Dia adalah Eduar. Dia datang untuk menagih sewa rumah Pepo. Papan yang dia tinggali kini bukan benar-benar miliknya. Kakinya sudah empat tahun menapak di atas tanah orang lain. Eduar memberi batas waktu Pepo sampai esok hari untuk menutup biaya sewa rumahnya.
Eduar hanya singgah sementara, namun bukan karena Pepo yang agak bau sampah akibat setelah tersungkur di sampah dedaunan. Dia sungkan bila menagih hutang malam hari. Ketenangan jiwa Pepo terusik akibat kedatangan Eduar. Lalu sosok Pita di dalam foto membuat jiwa Pepo teduh dan ingat kembali akan perjuangannya di tanah rantau.
Pepo lantas menganggap remeh permasalahan dengan Eduar. Baginya uang masih bisa dicari. Perjuangan tidak berhenti sampai disini. Dia kemudian beralih kepada foto teman-teman prianya. Pepo mengingat semuanya telah menikah dan dirinya saja yang belum mendapat giliran. Tidak ada jalan lain yang bisa Pepo lakukan selain berhenti berimajinasi dan mewujudkan mimpi.
Pepo kemudian membasuh badannya dan beranjak tidur sembari mengisi energi untuk bekerja esok hari. Sejak itu dia selalu berpikir bahwa hari ini akan lebih baik daripada hari kemarin. Dan hari esok akan lebih baik daripada hari ini. Tak lupa, dia juga membuka foto Pita yang sedang foto bersama dengan Pika dan Pia di ponselnya sembari menciumnya, serta memeluk erat celengan ayam kesayangannya yang memberat karena terisi uang. Sebagai penutup, Pepo menuliskan sebuah kalimat di celengan ayamnya yang bertuliskan, “Biaya Buat Nikah”.
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falih Winardi Tetaplah menulis! Sosial Media Saya: IG: @falihfale
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com