Lagi-lagi dia kembali datang. Seorang pria bertubuh tinggi dan memakai kacamata hitam tengah duduk di bangku yang terletak di pojok kafe. Pria itu tak pernah absen untuk mendatangi kafe milkku. Saat hari sudah mulai menggelap, bunyi lonceng pintu selalu berbunyi menandakan pria itu telah datang dan memasan menu kesukaannya.
“Seperti biasa ya mbak.” Satu kalimat itu selalu kutunggu dari dirinya. Entahlah, seperti ada mantra tersendiri dari kalimat tersebut. Saat pria itu mengucapkan kalimat tadi, maka dengan sendirinya aku merasakan semangat power.
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, dimana aku harus mengantarkan pesanan ini pada dia. Jantungku mendadak berdebar dengan kencang. Aku mulai melangkahkan kakiku dengan perlahan.
“Terimakasih mbak,” balasnya yang lagi-lagi membuatku ingin pingsan di tempat. Senyum tipis khas nya dengan kacamata yang membuat dia semakin terlihat keren membuatku benar-benar jatuh dalam pesonanya.
Kira-kira begitulah yang selalu terjadi bila dia datang kemari. Pria itu bagaikan penjaga yang menjaga kafeku hingga malam hari. Bila Kafe sudah tutup, maka dia pergi untuk pulang.
Jika diperhatikan dengan seksama, aku selalu kebingungan terhadapnya. Entah apa yang dia tunggu sehingga setiap dia berada di kafe ini, dia selalu melihat keluar jendela seperti sedang mencari sesuatu.
Aku jadi teringat saat awal pria ini datang ke kafe milikku. Hujan begitu deras dan di luar petir terus bersahut-sahutan. Hingga seseorang masuk ke dalam kafe dengan basah kuyup lalu memesan sebuah pesanan yang sampai sekarang masih dia pesan. Aku sering menjulukinya pria varian matcha, karena dia selalu memesan varian tersebut dan tak pernah memesan yang lain.
Suatu hari, saat aku dengan asik mengamati pintu untuk menunggu pria itu kembali datang, aku dibuat kaget saat melihat pria tersebut datang dengan wajah datar seperti sedang bermasalah. Pria itu juga tidak datang ke meja barista untuk memesan minuman.
Hingga tak lama kemudian seseorang datang mendekat kearah pria tersebut. Terlihat seorang wanita dengan berpakaian serba biru mendekat dan ikut duduk di hadapan pria tadi. Bisa kulihat dari raut wajah pria itu hanya datar namun dari tatapan matanya terlihat seperti rindu.
Seperti terjadi perdebatan di antara keduanya. Aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka debatkan, sebab aku berada jauh dari meja yang mereka tempati. Dari gerakannya terlihat wanita yang ada di hadapan pria tersebut lebih emosional sedangkan pria tersebut hanya diam sambil memandangi.
Tak lama kemudian wanita tersebut menggebrak meja dan bangkit berdiri. Wanita itu mengatakan sesuatu kembali yang membuat raut wajah pria itu berubah menjadi terlihat sedih. Pria itu menyatukan kedua telapak tangannya, sikap seperti memohon. Pria tersebut terlihat ingin memeluk wanita itu, namun segera ditepisnya dan meninggalkan pria varian matcha tersebut. Pria varian matcha itu terlihat mengusap wajahnya dengan kasar lalu ikut pergi keluar meninggalkan kafe.
Waktu terus berlalu, aku selalu menandai kalender tentang pria itu yang masih belum pernah datang kembali. Terhitung sudah setahun dua bulan lamanya pria itu tak pernah lagi datang kemari. Semenjak kejadian di kafe waktu itu. Layaknya ditelan bumi, pria itu sampai saat ini tak pernah menunjukan kembali dirinya.
Pria varian matcha itu kemana? Apakah wanita waktu itu telah mengatakan suatu hal yang membuat pria itu pergi? Bagaimana kabarnya? Batin dan pikiranku terus bertanya-tanya. Seakan tersadar sesuatu, aku segera menggelengkan kepala, menampik segala pikiran aneh. Mengapa aku harus peduli? Bukankah dia hanya pelanggan biasa yang memesan matcha?
Berat rasanya bila aku tak memikirkan pria tersebut. Jauh dalam lubuk hatiku sebanarnya aku peduli pada dia. Tak pernah absen, aku selalu memandangi pintu kafe di jam yang selama ini pria tersebut datang. Berharap suatu saat pria itu kembali datang dan memesan minuman matcha kesukaannya. Hanya saja itu semua hanyalah harapan semata yang mungkin tak akan mungkin pernah terwujud.
Saat hari sudah mulai gelap, aku selalu menutup mata sejenak, mencoba membayangkan suatu saat mataku terbuka dan pria itu ada di hadapanku, namun itu semua hanyalah angan-anganku saja. Sedikit rasa kecewa terasa saat aku membuka mata namun tak pernah pria itu kembali datang di hadapanku.
Tak terasa, aku melakukan hal yang dianggap orang-orang kafe aneh sudah berjalan selama lima tahun lamanya. Penantianku tak kunjung datang, hanya fakta pahit yang lagi-lagi harus kutelan.
Pria varian matcha tersebut telah hilang dari kehidupanku. Mungkinkah takdir kita berdua lenyap sampai disini saja? Mengapa kau membuatku resah? Harusnya aku tak perlu resah pada dia yang pergi begitu saja, bak pelanggan yang telah selesai memesan pesanannya dan pergi setelah membayar. Bukankah dia sama saja dengan pelanggan biasa? Lagi-lagi ku bertanya.
Seolah takdir kembali menyatukan kita berdua. Pada hari ini aku melihatmu tengah berada berdiri di seberang jalan, seperti menunggu antrian. Perasaan dimana kamu datang ke kafe saat dulu kini kembali kurasakan namun lebih dari sebelumnya. Hatiku gundah. Apakah aku harus menegur sapa denganmu? Atau hanya berjalan mendekat namun tak bersapa, anggap seperti orang asing?
Setelah beberapa menit berperang batin, akhirnya kuputuskan untuk menyapamu. Saat berjalan menyeberang dan ingin menyapamu, kulihat seorang wanita yang tiba-tiba saja memelukmu dari samping. Wanita tersebut sama seperti wanita yang berada di kafe saat itu. Hanya saja sekarang berbeda suasana, dimana dulu mereka berdua tampak berdebat dan sekarang tertawa bahagia. Bahkan, terlihat perut perempuan itu sedikit membesar, tampaknya mengandung buah cinta kalian berdua.
Ternyata akulah yang bodoh. Bodoh menganggap bahwa aku dan kau akan dipersatukan oleh takdir. Hanya sebuah kebetulan yang benar-benar tak disengaja, namun dengan bodoh menganggap itu semua takdir untuk Bersatu.
Aku tertawa miris, bahkan air mataku perlahan mulai menetes setetes demi setetes. Bisa-bisanya aku yang hanya seorang barista kafe memikirkan akan ditadkdirkan dengan dirimu yang sama sekali tak dekat denganku. Bahkan percakapan kita berdua hanya sebatas penjual dan pembeli.
Lebih tepatnya, aku adalah penonton kisah cinta kalian berdua yang berjalan dengan penuh lika-liku hingga sekarang kalian akan mendapatkan hasil dari kisah cinta. Aku hanya bisa menerima takdir yang mengatakan bahwa kau bukanlah takdirku melainkan takdir wanita berbaju serba biru.
Cerpen Karangan: Bethoven1221 Blog / Facebook: Rebecca Seorang perempuan berkelahiran Medan. Masih menduduki bangku sekolah tingkat SMA. Anak pertama dari tiga bersaudara. Penyuka literasi sejak kecil dan mulai menuangkan karya-karyanya dalam bentuk tulisan.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com