Angin kencang musim kemarau menerbangkan rambut panjang milik seorang gadis yang duduk melamun. Dari arah belakang muncul seorang laki-laki berjalan mengendap-endap. “Woi ayam!” kejut laki-laki itu berusaha mengejutkan gadis itu, Sea namanya. Sea, perempuan tulen 17 tahun memiliki prestasi 20 besar peringkat kelas. Sedangkan Arsand, laki-laki 17 tahun berponi macam oppa Korea yang beruntungnya rambut berharganya itu tidak pernah kena sidak, berperingkat 5 besar di kelasnya. Sungguh dunia yang berbeda, bukan? Sea hanya bergeming. Sand heran kemudian ia memikirkan cara lain untuk mengusiknya. Ia menarik rambut panjangnya yang saat itu tidak diikat. “Diam atau gue tabok!” teriak Sea dengan suara cemprengnya. “Ceilah galak bener kayak ga dapat jatah uang aja lo” Sea tetap diam tak membalas. “Jangan-jangan lo lapar karena ga punya uang buat beli makan di kantin”. Sea menoleh malas tak menanggapi Merasa suasananya memburuk dan tiba-tiba ada hawa mencekam. Sand menepuk bahu Sea, “Ayo ikut gue! Cepetan atau gue seret pala lo!. Sea menegak lalu melangkah lemas seperti mayat hidup. Sand melengos dan membuntuti Sea kemudian dengan tangan kurusnya, ia mencengkram kerah belakang seragam Sea dan menyeretnya.
Sepertinya hanya hati Sea yang mendung nyatanya langit cerah membiru dan mentari bersinar dengan teriknya. Udara panas dan bau knalpot berpadu membuat kebetean Sea bertambah apalagi motor yang ditumpanginya bersama Sand mulai memasuki kawasan perumahannya. “Gue lagi males pulang!” “Siapa juga yang mau nganter lo pulang” Kendaraan beroda dua yang ditumpangi dua manusia itu akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang yang ditumbuhi bunga kecil bundar berwarna putih. Sesekali batangnya bergoyang mengikuti angin yang mengayun-ayun. Sea melangkahkan kakinya yang masih terbalut kaus kaki dan converse lusuh ke pohon kecil namun rimbun daunnya. Sea bersandar sambil memejamkan mata sembari menghembuskan nafasnya yang terasa berat berharap semua kekesalannya ikut keluar bersama karbon dioksida yang ada di paru-parunya.
Sand ikut duduk di sebelah Sea kemudian Sand memetik bunga itu. Sand tahu ia bersalah. Sand juga sadar kalau Sea badmood karena kesalahan Sand. Kemarin malam Sea meneleponnya, Sea menagih janji Sand dua minggu yang lalu untuk mentraktir Sea karena Sea berhasil mendapat nilai 78 di ulangan matematika. Sand kaget, tidak biasanya Sea mengajaknya tiba-tiba. Karena Sand sedang kencan dengan Manda akhirnya panggilan dari Sea ia matikan.
Sand berdehem “Sebagai permintaan maaf, nih dandelion buat lo” Mendengar Sand mengeluarkan suaranya, Sea membuka mata. Sea menerima dandelion yang disodorkan sahabat kecilnya itu. Sea memutar-mutar batang dandelion itu. Ia teringat 12 tahun yang lalu di tempat ini saat dirinya ngambek karena Sand tidak menepati janjinya untuk bermain sepeda. Sand meminta maaf dengan memasangkan dandelion di daun telinganya. Katanya dandelion itu lambang keceriaan. Sand ingin Sea terus bahagia seperti dandelion. Sea mengerjap “Sand, menurut lo kenapa dandelion itu punya arti keceriaan padahal kan bunga matahari lebih ceria tuh”. Sand memetik lagi dandelion di dekatnya, “Se, lo tau dandelion terbang terbawa angin bisa sampai 5 mil jauhnya itu bukan karena rapuh dan mudah goyah. Ketika dandelion jatuh di trotoar bahkan di selokan seperti itu,” Sand menunjuk “Ia tetap optimis tetap tumbuh dan cepat beradaptasi meski lingkungannya tidak memungkinkan, seperti halnya dengan hidup kita yang keras dan kejam”. Sand menoleh menatap manik mata Sea, sedikit memiringkan kepalanya Sand melanjutkan ”Dandelion itu ceria walaupun ia sudah tahu bahwa angin kencang dapat menerbangkannya sejauh mungkin, ia tetap bergoyang-goyang mengikuti irama. Sand tersenyum “Gue harap lo bisa terus begitu. Gue ga mau lo sedih”. Sea merasa ia tidak sendirian selama ada Sand di sisinya sekejam apapun dunia kepadanya asal Sand masih bersamanya, Sea tetap bisa berdiri tegak. Namun Sea salah besar. Salah karena bergantung dan berharap kepada selain dirinya sendiri. “Sand gue ga tau…” Ucapan Sea terpotong oleh getar HP tanda ada notif membuat Sand mengalihkan perhatiannya pada benda kotak itu. Sand tersenyum kecil dan beranjak, ia berikan dandelion yang kedua kalinya kepada Sea. “Kalau ada apa-apa bilang. Ga usah sok dipendem, Se”.
Sea menatap motor yang semakin menjauh membawa tuannya entah kemana meninggalkan Sea dan ladang dandelion. “… harus gimana lagi ngelanjutin hari-hari gue” lanjut batin Sea yang perkataannya tadi terpotong belum sempat terucapkan kepada Sand. “Sand, asal lo tau gue ga butuh dandelion banyak, asal lo disini temenin gue.” lirih Sea. Sea bersandar lagi memikirkan kenapa semua orang di dekatnya pergi. Mama Papanya serta Wak Ija bahkan Sand yang selama ini ada dalam suka dukanya. Sea tersenyum miris, manusia memang selalu datang dan pergi kan?
Sea tak tahu kalau hari itu hari terakhirnya bersama Sand. Sea juga susah bertemu walaupun masih satu komplek. Kini juga Sea tidak satu kelas seperti dulu ketika masih kelas 10. Intinya Sea susah bertemu. Karena Sand sibuk dengan dunianya. Manda adalah dunianya bagi Sand. Cewek manis tinggi semampai yang menjadi pengibar bendera saat upacara senin sekolahnya adalah pacar Sand. Iya, Sand yang masih disukainya sejak Sea belum menginjak masa pubertas. Bersama Manda, Sand terlihat berbeda. Senyumnya, tawanya. Sea belum pernah melihat senyum dan tawa Sand yang seperti itu ketika bersamanya. Bersama Manda, hidup Sand semakin berwarna. Bersama Manda, Sand mengisi kesepiannya. Bersama Manda, Sand tidak terlalu merasa kosong setiap kali kedua orangtuanya kerja tanpa pernah ingat pulang ke rumah. Bersama Manda, hidup Sand bahagia. Sea masih ingat ketika Sand pernah mengatakan bahwa Manda seperti bayangannya. Selalu ada.
Sea menatap ke seberang kelasnya, dua sejoli itu saling berbagi donat. Sea hampir lupa kalau Manda jago masak. Sea mengasihani dirinya yang menghidupkan kompor saja tidak becus. Sea mendengus. Kenapa ia jadi membandingkan diri begini? Sea melangkah berniat menghampiri ketika Manda pergi ke kelasnya meninggalkan Sand sendiri. Namun sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada Sea, Dion, teman futsal Sand sudah mengajak Sand berbincang. Mungkin memang belum waktunya pikir Sea. Sea tersenyum sendu.
Hari ini adalah hari yang ditunggu tunggu Sea setelah minggu-minggu sebelumnya yang menguras hati dan pikiran. Sea menarik nafas panjang. Sea sudah berulang kali memikirkan keputusan ini. Namun rupanya Sea sudah mantap meninggalkan kota kelahirannya untuk memulai lembar kehidupan yang baru bersama Nenek Uti. Buat apa sebatang kara disini kalau Mama Papanya egois tak memedulikannya. Mungkin memang benar alasan Sea masih disini adalah Sand. Dan alasan pergi dari sini juga karena Sand. Seperti Dandelion yang terbang terbawa angin, kemudian mendarat dan berusaha keras berjuang hidup dimanapun tempat itu. Sea akan berusaha seperti itu. Terus tumbuh dan berkembang.
Sea tersenyum dan melangkahkan kakinya mantap ke pintu masuk bandara. Sebuah pelukan dari arah belakang yang amat dikenali Sea menerjang badannya saat beberapa langkah ia akan masuk. Kepalanya bersandar di bahu Sea, lengan kurusnya mengerat setelahnya berkata “Maaf, Se.”
Cerpen Karangan: Wahyuning Suci
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com