Hujan turun membasahi kota. Rintiknya begitu deras, sampai-sampai membuat celanaku sudah kuyup lebih dulu. Aku termangu di depan gedung tempat ibu mendaftarkanku pada les sebuah mata pelajaran sebab musim ujian sudah tiba.
Tak lama kulihat sebuah mobil mendekat ke tempatku berdiri, kemudian berhenti tepat di depanku, kaca pengendara turun sedikit dan memperlihatkan wajah ayah di sana.
“Cepat masuk!”
Tanpa menunggu lagi aku segera berlari ke sisi lain mobil dan masuk di bagian kursi depan. Segera setelah itu mobil melaju menggilas aspal di tengah hujan demi bisa sampai ke rumah.
Hanya ada hening selama kami berada dalam mesin roda empat itu, sejak ibu begitu keras mengurungku, ayah pun jadi tidak ingin banyak bercakap denganku, berbeda sekali sebelum titah tersebut diturunkan.
Di rumah, ketika aku mengganti pakaian. Ibu sedang sibuk di dapur dan memasak makanan berkuah. Makanan berkuah dapat menghangatkan tubuh lebih cepat, katanya.
Aku keluar dari kamar mandi tepat saat suara piring pecah terdengar dari sana, jeritan pelan pun ikut menggemakan dinding dapur. Aku langsung melangkah ke tempat kejadian dan menemukan jari telunjuk Ibu yang sudah bersimbah darah.
“Ibu!” Aku berlari menuju tempat wanita tersebut, kemudian meraih tangannya. “Ibu kenapa? Kenapa bisa luka begini?” “Gak apa-apa Arlan, cuma luka gores.”
Sejurus kemudian tanpa kusadari pula jari Ibu yang sudah berlumuran darah tersebut sudah kuisap, kulumat habis darahnya, bahkan masih kusedot darah yang ada di jarinya.
“Arlan, kamu ini jorok.” Mendapati perlakuanku yang aneh, ibu langsung menarik jarinya dengan kuat. Sebentar dia perhatikan jarinya tersebut sebelum memandangku dengan tatapan menusuk.
Aku membuang muka untuk menghindari tatapannya tersebut, perasaan yang sama seperti kala kecelakaan tempo lalu kembali membuncah dalam dadaku. Sebuah perasaan ketagihan dan nikmat yang entah apa artinya.
Tanpa berbicara aku melangkah meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamar. Pikiran masih mencoba untuk memahami perasaan aneh barusan, apa aku punya kelainan?
—
Langkah kakiku terasa gontai untuk mencapai rumah, di hari Sabtu ini kedua orangtuaku sibuk dengan urusan masing-masing sehingga tidak dapat menjemputku dari tempat les. Tak ada pilihan, aku pulang seorang diri dengan berjalan kaki.
Setibanya di tempat tinggalku, aku langsung berjalan menuju dapur untuk melihat adakah makanan yang bisa disantap. Namun, kesialan kembali kudapati saat tudung saji kubuka, tak ada apapun di sana kecuali sebuah catatan.
“Ibu tidak sempat masak hari ini, kau bisa memesan makanan lewat Gupud.” “Arrgh …,” erangan pelan tak bisa kutahan, aku sudah lapar sejak pulang sekolah dan tidak sempat makan karena harus mengikuti les. Begitu sampai di sini aku kembali tidak bisa makan dengan normal!
Disertai rasa kesal, aku berjalan kembali ke luar rumah agar bisa menenangkan diri, pandangan mata langsung menemukan rumah reot Mei di sisi kiri. Kutemukan juga sosok mungil Mei yang sedang bermain dengan boneka pemberianku. Dengan sendirinya langkah kakiku berjalan begitu saja ke gerbang rumah, kubuka dan melangkah menuju tempat Mei. Tempat yang sudah tidak kujajaki setelah dua bulan berlalu.
Tak seperti yang kuduga, Mei menoleh setelah aku cukup dekat dengannya, kemudian dia tersenyum. “Hai Mei.” kusapa dia lebih dulu, sedikit rasa malu pun kurasakan sebab aku sama sekali tidak dapat menyapanya selama masa ‘tahanan’ Ibu. “Hai,” Mei membalas sapaku dengan riang. “Ayo masuk.”
Dengan cepat aku masuk melewati pagar tembok rumah Mei dan duduk di sampingnya, tanpa bicara dia memberiku beberapa boneka dan mengajakku bermain. Sejak saya itu aku semakin akrab dengan gadis kecil ini, kami bermain bersama di teras rumahnya dan hanya di sana. Aku tidak pernah diperbolehkan masuk ke dalam rumah, juga tak tahu bagaimana rupa kedua orangtua Mei karena memang tidak pernah keluar rumah dan menyapa, mendengar suara mereka pun tidak.
Sampai tiga bulan berlalu, aku masih betah bermain dengannya.
“Hei Arlan. Apa kau lapar?” Mei bertanya setelah dia selesai mengganti pakaian sebuah boneka Barbie. Sejenak aku terdiam, sedikit aneh dengan pertanyaan itu karena tak pernah terlontar dari mulut Mei selama ini. “Ya, tentu saja aku lapar, aku belum makan sejak pulang dari les.” “Bagaimana kalau kau makan masakanku? Kujamin kau suka.” “Masakanmu?” “Ya, biar aku ambilkan.”
Tanpa bisa mencegah Mei sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, tak lama nampan dengan mangkuk dan piring sudah ada di tangannya, makanan dengan warna kecokelatan terlihat di atas piring, dengan sedikit selai yang berwarna senada.
“Ini, aku masak sate.”
Aroma bumbu kacang dan juga daging bakar segera memenuhi rongga hidungku, menari di dalam sana dan menggugah rasa lapar. Tanpa banyak bicara kami segera melahap potongan-potongan kecil daging itu. Aku sendiri begitu ketagihan sejak pertama bumbu kacang dan daging tersebut bersentuhan dengan indera pengecapku.
Tapi entah hanya perasaanku, daging ini seperti memiliki rasa lain dari yang biasa aku makan, sebuah rasa yang hanya pernah kucicipi saat menyesap darah si pengendara motor dan juga ibuku.
“Masakanmu enak sekali, daging apa ini?” akhirnya aku memilih bertanya saja. Mei sedikit terdiam sebelum menjawab, “Kau ingin tahu?” “Tentu saja. Ini enak, kalau aku tahu ini daging apa, aku akan meminta ibu untuk memasaknya nanti.”
Terlihat raut menimbang-nimbang di wajah Mei, seolah untuk menyebutkan daging itu saja seperti hendak memberikan kode nuklir. Dengan pelan gadis itu bangkit, kemudian berjalan menuju pintu rumahnya.
“Kalau kau ingin tahu, ayo ikut aku.”
Mendengar itu aku langsung bangkit dan menyusulnya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam sana. Ke bagian paling belakang rumah. Setibanya di tempat tujuan aroma yang tidak begitu asing langsung tercium oleh hidungku, aroma yang sama seperti saya kecelakaan di depan sekolah tempo lalu, yang juga membuatku teringat akan rasa dari darah yang kusesap.
Sementara Mei sendiri membuka pintu kulkas; terdiam menungguku untuk ikut melihat ke dalamnya.
Saat kutengok terdapat dua buah ****** manusia dewasa tergeletak di sana, sementara di tingkatan bawah terdapat dua buah lengan, dan di bagian freezer terlihat tumpukkan daging yang entah daging apa.
“Yang barusan kau makan adalah **** ibuku.” jelas Mei tanpa merasa bersalah, dia menoleh padaku dengan sebuah senyuman. “Sudah tahu begini, apa kau tetap akan menyuruh ibumu memasak?”
“Ya, tentu saja.” Aku menoleh pada Mei hingga mata kami berdua bertemu, dan kuberikan senyuman terbaikku. “Aku akan memasak mereka nanti.”
Cerpen Karangan: IllegalCreature41 Blog / Facebook: Juang Ilcre PatTu Seorang sci-fi geek Hanya suka baca tulis, nonton anime dan film, seta mendengarkan musik
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com