“Pencuri!” teriakku. Tukang parkir mengejarnya, menambrakan badannya ke pencuri. Pencuri pun jatuh, berdiri, terus melarikan diri. Jantungku berdebar ketika tukang parkir tersebut mengembalikan sepeda motorku. “Neng …, hati hati, saya Juna, Arjuna,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Terima kasih, saya Euis, Euis Jayanti, ” kataku.
Sejak itu, hubunganku dengan Arjuna semakin erat. Aku dan Arjuna sering rekreasi di hutan pinus dengan aroma khas pinus di sekitar Cikole. Kegiatan outbound paling mengasyikan, berjalan bergandengantangan, berkejaran, duduk di tepi sungai kecil, menatap air terjun yang tidak seberapa besar dan kegiatan lainnya. Hamparan hutan pinus yang tidak terlalu lebat memudahkan untuk berlarian. Selain itu, perdu di bawahnya lumayan lebat untuk bersembunyi.
“Juna, kejar aku. Juna cari aku!” teriakku dengan riangnya. Kami berlarian, berkejaran. Aku sembunyi. Tiba tiba Arjuna sudah menangkapku dari belakang. “Ketangkap!” teriak Arjuna. Arjuna mendekapku, memandang mataku dengan tajam. Aku menunduk, tidak sanggup menatapnya.
Tiba-tiba sesuatu hangat yang menempel di bibirku. Mataku terpejam, badanku bergetar, lemas. Aku pingsan sejenak bagai tersengat setrum 15 watt. Arjuna telah menciumku. Ciuman pertama yang akan selalu aku ingat.
“Juna, kamu harus datang ke rumah, minta sama ayahku, kamu akan menikahiku.” “Tapi…, Euis, aku masih belum punya pekerjaan.” “Pokoknya kamu harus melamarku!” kataku dengan suara keras.
Arjuna dengan keberanian yang dipaksakan datang ke rumahku. “Bapak, saya melamar Euis untuk jadi istri saya,” kata Arjuna. Sebenarnya ayah kurang senang dengan Arjuna. Preman kampung, banyak tato di badannya. Tetapi ayah juga menyadari bahwa usiaku semakin bertambah. Umurku sudah delapan belas tahun. “Euis itu perawan tua, nggak laku, tidak ada lelaki yang mendekatinya.” Aku selalu jadi bahan gunjingan. Di kampungku, teman temanku usia 15 tahun sudah kawin, punya anak dua. Malahan banyak juga yang sudah jadi janda. “Baiklah Arjuna, bapak terima lamaranmu.”
Aku lega dengan jawaban ayahku. Gelar perawan tua sangat menakutkan bagi orangtuaku dan juga bagiku. Perayaan nikahpun berlangsung dengan meriah. Ayah dan ibu sumringah, senyum ditebarkan kepada setiap tamu yang datang. “Selamat Pak Haji, selamat Ibu Hajjah semoga cepat punya cucu,” begitu kata para tamu. “Selamat Euis, selamat Arjuna,” kata teman-temanku, dan juga teman-teman Arjuna.
Malam pertama…, malam yang sangat indah. Jiwaku terbang ke angkasa, tinggi menjulang menikmati hangatnya awan. Bulan dan bintang mencoba mengintip dari celah celah jendela. Jangkerik, kodok, burung hantu dan binatang malam lainnya berdendang dengan riangnya mengiringin malam pertamaku. Krik… krik… krik… Wrebekk – wrebekk – wrebekk, Kung kong – kung kong – kung kong, Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk… Malam dimulainya kehidupan baru, istri harus melayani suami.
Ayah membelikan mobil pick up kepada Arjuna untuk mengirim sayuran ke pasar atau untuk keperluan lainnya. Aku diberi modal untuk buka warung sembako. Dalam usia perkawinan tiga tahun, anakku sudah dua. Laki semua, Wawan dan Maman. Penghasilan Arjuna lumayan. Rumah yang tadinya semi permanen sudah menjadi permanen. Bahkan Arjuna juga sudah mampu membeli mobil mini bus bekas. Sampai pada akhirnya… Ketika Arjuna sedang mencuci mobil, tiba tiba lima polisi menggerebeg warungku. Arjuna ditangkap, diborgol. Rumah digeledah. Warung di obrak abrik. Diketemukan bubuk putih, nark*ba! “Ayah, ayah, ayah!” teriak Wawan sambil menangis.
Desa gempar. Ayah dan ibuku ikut jadi korban, dikucilkan oleh masyarakat. Arjuna, kenapa engkau begitu jahat. Bukankah nark*ba barang haram? Bukankah aku tidak menuntut apa-apa, rezeki yang kita terima sudah lebih dari cukup. Arjuna, aku juga tidak bisa menjawab ketika Wawan bertanya. “Ibu…, kenapa ayah ditangkap polisi?” Ibu kapan ayah pulang? Arjuna, dinginnya malam selalu menyelimutiku. Tidak ada lagi kehangatan darimu. Entah sampai kapan. Arjuna…, aku benci kamu. Aku benci… Aku menangis dalam kesendirian.
PoV “Arjuna dua minggu lagi kamu bebas, rencanamu pulang kemana?” tanya sipir penjara. “Saya juga tidak tahu Pak, saya sudah tidak mempunyai keluarga.” “Bukankah kamu punya anak, punya istri?” Aku diam saja.
“Pak Sipir, bolehkah saya minta satu lembar kertas dan pinjam pulpen?” tanyaku. Pak Sipir sangat baik, selain memberikan kertas, meminjamkan pulpen juga memberiku uang. Untuk bekal di perjalanan katanya.
“Euis, dua minggu lagi aku bebas dari Nusakambangan. Aku memberanikan diri menulis surat kepadamu. Selama lebih dari tujuh tahun aku telah menyengsarakanmu dan anak anak. Aku masih berani menghadapi kejamnya Nusakambangan. Tapi…, denganmu, Euis, kebodohanku belum aku tebus. Aku tidak tahu cara menebusnya. Apapun akan aku lakukan untuk menebus dosaku. Aku masih mencintaimu. Aku mencintai anak-anak kita, Wawan dan Maman. Tentu mereka sudah besar. Ma’afkan aku.”
“Euis, aku masih berharap diberi kesempatan mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga berharap dapat bermain bersama anak-anak. Aku sadar sepenuhnya bahwa perbuataku sangat menyakiti hatimu, sangat memalukan ayah dan ibu.”
“Euis, apakah permintaan ma’afku sudah terlambat? Euis…, jika engkau mema’afkanku, maukah engkau memberi tanda? Ikatlah SEHELAI PITA PUTIH PADA POHON PINUS di depan jalan masuk rumah kita. Apabila aku tidak melihatnya, aku menyadari dan aku mengerti. Aku akan meneruskan perjalanan entah kemana kakiku melangkah. Aku berdoa agar engkau dapat hidup damai bersama Wawan dan Maman. Aku juga berdoa agar engkau memperoleh suami yang jauh lebih baik. Doaku juga untuk Ayah dan Ibu.”
Juna.
Akhirnya, hari pembebasan tiba. Surat balasan Euis tidak datang. Apakah suratku sampai? Mengapa Euis tidak mau membalas? Apakah Euis tidak mema’afkanku? Banyak pertanyaan yang ada di kepalaku.
Pintu gerbang penjara dibuka. Begitu gembiranya teman-temanku. Mereka berjalan cepat, setengah berlari. Para istri, bersama anak-anaknya berlari menyambut suaminya dengan penuh suka cita. Berpelukan. Aku berdiri sendirian, melihat dengan perasaan iri. Euis dan anak-anak tidak kelihatan. Dengan jiwa hampa, kakiku melangkah menuju terminal bus. Cikole tujuanku. Perjalanan yang cukup jauh, hanya sekedar untuk melihat lilitan sehelai pita putih di pohon pinus. Ketika bus memasuki terminal Lembang, mentari sudah mulai terbenam. Cahayanya mulai redup. Sehari menyinari bumi rupanya cukup melelahkan. Bintang bintang dan bulan yang seharusnya menggantikannya tidak menampakkan diri. Mendung tebal menggelantung di langit, menutupinya. Sayup sayup terdengar adzan magrib.
Setelah istirahat sebentar Pak Sopir melanjutkan perjalanan menuju Cikole. Hujan mulai turun dengan cukup deras. Jalanan gelap, tidak ada lampu jalan yang meneranginya. Lampu mobil satu satunya yang menerangi jalan. Meski sepi, mobil berjalan dengan pelan. Selain hujan, juga jalanan menanjak dan terus menanjak. Di kiri kanan terlihat hamparan hutan pinus yang menandakan Cikole sudah dekat.
Hatiku mulai gelisah, tegang. Keringat dingin membasahi bajuku. Sebentar lagi sampai Cikole. “Bapak kenapa? Apakah sakit?” pria yang duduk di sebelahku heran melihatku. Mataku mulai berkaca kaca. Aku menceritakan secara singkat kisahku. Seisi bus terharu.
“Pak Sopir, pelan pelan. Kita akan lihat apakah ada sehelai pita putih di pohon pinus,” kata penumpang di sebelahku. Jantungku berdegup cukup kencang. Aku menunduk dan memejamkan mata. Takut melihat kenyataan.
“Lihat, di depan terlihat pita putih di pohon pinus!” teriak seorang penumpang. “Ya…, betul. Pita putih…, pita putih di pohon pinus.” Teriak beberapa penumpang bus lainnya. Aku tersentak mendengar teriakan penumpang. Benar…, ya…, benar. Aku lihat pita putih, melilit di setiap pohon pinus. Sorotan lampu bus dengan jelas menyinari pita putih yang melilit di pohon pinus. Aku cubit tanganku, sakit. Tidak bermimpi. Mataku berkaca-kaca. Tanpa terasa, air mataku mengalir. Air mata kebahagiaan.
Pita putih tidak hanya satu, ada puluhan. Bukan hanya lilitan pita putih di pohon pinus, tetapi juga pita putih bergantungan di pohon pinus. Pohon pinus telah berubah warnanya, daun hijau jarum berpadu dengan pita putih. Sangat indah.
“Stop Pak Sopir,” kataku.
Setengah berlari, aku menuju rumah. Di depan rumah telah berdiri Euis, Wawan, Maman, ayah dan ibu. Mereka para malaikat bagiku. Kembali, mataku berkaca kaca. “Ayah,” teriak Wawan dan Maman secara bersamaan. Mereka berlari menyambutku, memelukku. Euis menghampiriku, memelukku. Aku menghampiri ayah dan ibu, bersujud mencium kaki ayah dan ibu.
Dikamar…, “Euis…,” belum selesai aku berkata, Euis telah menutup mulutku dengan tangannya. “Juna, aku telah mema’afkanmu. Engkau telah kembali, Aku tidak ingin engkau pergi untuk kedua laginya. Peluk aku Juna, peluk aku yang erat,” pinta Euis.
Kriik… kriik… kriik…, Wrebekk – wrebekk – wrebekk…, Kung kong – kung kong – kung kong…, Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…, Suara yang sama saat malam pertama pengantin baru bernyanyi kembali …
PoV Esoknya, masyarakat Cikole geger ketika dipebukuran Cikole dijumpai mayat lelaki bertelanjang dada sedang memeluk papan nisan Euis. Warga sangat mengenal lelaki tersebut adalah Arjuna, suami Euis yang baru bebas dari penjara Nusakambangan.
Dua hari yang lalu, Euis dan seluruh keluarganya termasuk ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan. Mobil yang ditumpangi masuk jurang sehabis memasang pita putih di pohon pinus. Kini, ratusan pita putih yang menjadi saksi bisu pertemuan kedua insan masih melilit di pohon pinus.
Kebun Raya Residence BOGOR 15 Maret 2022
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog: Blog Bambang Winarto BAMBANG WINARTO (Mbang Win) dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor (1974-1978). Bekerja di Kementerian Kehutanan 1979-2010. Memperoleh gelar Magister Manjemen (MM) bidang studi Agribisnis dari Universitas Gajah Mada tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik. Bambang Winarto aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Hobby menulis dilakukan untuk tidak cepat lupa. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya yang fenomenal yang jadi pegangan para rimbawan. Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com;
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com