Cerita macam apa ini? Pikiranku menjerit. Mataku melebar tak percaya dan jantungku berdegup kuat, seperti ingin melompat dari rongga dada. Di sela-sela jari dan telapak tangan keringat dingin merembes. Semula kupikir, ketika setuju untuk mendengar kisah dari mitos Lemari kosong, akan membuatku semakin menganggap bahwa mitos itu konyol.
Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, siapa yang tidak tahu tentang mereka? Kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang menjadi kilas balik pembuatan candi prambanan. Akan tetapi semua orang juga tahu, jika candi prambanan tidak dibuat hanya dalam semalam dengan bantuan para jin, melainkan pembangunan komplek candi terbesar di indonesia itu dipelopori oleh Raja Rakai Pikatan yang saat itu menduduki tahta raja mataram kuno. Yang membutuhkan waktu begitu lama, bahkan sempat mengalami kendala yang menghentikan pembangunan candi.
Mulanya kupikir mitos yang telah berkembang selama dua dekade di SMU Kandat, sekolah yang baru saja aku masuki seminggu yang lalu- Ya, aku adalah siswi pindahan, hanyalah karangan lama seperti kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, namun ternyata aku salah. Kejadian yang melatar belakangi mitos lemari kosong adalah kejadian nyata. Kejadian nyata yang berhasil merenggut nyawa seorang siswi bernama sekar.
Dalam kisahnya, Sekar diceritakan meninggal tertimpa lemari ketika hendak mengisinya dengan buku pembelajaran. Tak dinyana, lemari kayu jati yang baru dipesan dan sangat kokoh bisa oleng dan ambruk menghancurkan tubuh Sekar. Dan yang begitu menyesakkan, bahwa Sekar tidak tewas seketika, melainkan tiga jam setelah tubuhnya hancur tertimpa lemari. Tidak bisa dibayangkan bagaimana gadis itu bertahan dengan berat di atas luka di seluruh tubuhnya hingga esok harinya ditemukan tak bernyawa oleh penjaga sekolah.
Sehari setelah penemuan mayat Sekar, kepala sekolah memerintahkan pegawai untuk memindahkan lemari ke gudang belakang. Mulai dari sinilah kejadian aneh mulai bermunculan, lemari yang telah berpindah lokasi, esok harinya diitemukan kembali ke tempatnya semula. Mulanya pihak sekolah mengangap itu hanya perbuatan orang iseng, dan kembali memberikan perintah untuk pemindahan, tetapi seperti sebelumnya lemari kosong kembali ke tempat yang sama.
Kejadian itu terus berulang sampai kepala sekolah geram dan memutuskan untuk memusnahkannya dengan pembakaran. Berliter-liter minyak tanah diguyurkan ke seluruh badan lemari hingga bagian dalam, tidak memungkinkan untuk satu serpihan kayu pun tersisa. Sayangnya, kayu yang telah menjadi abu, abu yang telah disapu bersih esok harinya kembali utuh seperti tidak pernah termakan api.
Ketika prosesi pembakaran dilakukan, banyak saksi mengatakan bahwa mereka mendengar teriakan lembut berdesir di telinga mereka, ‘Tolong! Sakiit! Keras!’ terus berulang-ulang sampai lemari hangus menjadi abu.
Wajahku mengkerut ketika linda-orang yang berperan sebagai narator, tiba-tiba berteriak tidak jelas. “NAH, sekarang masuk ke bagian yang paling seru?” linda berbicara dengan antusias, posisi duduknya bahkan semakin maju, memepet dengkulku dan wajahnya hampir menabrak wajahku. “Apa kamu siap?”
Aku mendengus kesal, lalu mendorong kening linda dengan jari telunjuk sambil berbicara. “Memang apa yang terjadi selanjutnya?” saat ini, kami sedang duduk sila di lapangan belakang, di waktu pelajaran olah raga. Tetapi karena guru yang mengajar tidak hadir, kami dibiarkan bebas di lapangan. Dan kesempatan ini linda gunakan untuk merecokiku dengan cerita mitos lemari kosong. Meski awalnya aku malas-malasan mendengar ceritanya, tetapi semakin masuk lebih dalam aku semakin penasaran. Kemudian linda kembali bercerita,
Setelah pembakaran dianggap gagal, akhirnya pihak sekolah menyerah dan membiarkan lemari kosong di tempatnya, dan membuat larangan tegas tentang lemari itu, bahwa tidak ada yang boleh mendekat, membuka atau apapun yang bisa menimbulkan kejadian ganjil lainnya terulang.
Naasnya, dua tahun kemudian, tepat saat dies natalis SMU Kandat diadakan, kejadian ganjil kembali terulang. Kejadian kali itu, bahkan sampai membawa korban jiwa, lima orang siswa dari tahun pertama.
Sore hari saat itu, kala semua siswa asik dilema kemeriahan acara dies natalis, ada lima orang siswa tahun pertama yang dengan gagah berani melakukan uji nyali di kelas lemari kosong. Sepertinya mereka terlalu menganggap remeh peringatan dari kakak kelas dan menjajal sendiri.
Tepat pukul lima sore, acara yang seharusnya meriah lantaran guncangan dari band lokal tiba-tiba berubah menjadi mencekam begitu terdengar jeritan keras dari arah kelas lemari kosong. Semua orang yang saat itu berada di area sekolah segera mencari sumber suara dan menemukan lima orang siswa yang melakukan uji nyali tengah kerasukan masal. Keadaan kelimanya begitu memprihatinkan, tubuh mereka penuh darah dan seragam mereka sobek-sobek, seolah-olah mereka baru saja terserang sesuatu. Mereka juga secara serempak terus mengulang kata, ‘Tolong! Sakiit! Keras!’ dengan suara perempuan. Akhirnya pihak sekolah memanggil tetua atau orang pintar terdekat, sayangnya bahkan ketika telah didatangkan begitu banyak orang pintar roh atau apapun itu yang merasuki kelima siswa tersebut tidak bisa dikeluarkan hingga tiba-tiba keluar sendirinya dengan membawa lima nyawa dari kelima siswa.
Kejadian itu tentu sangat mengguncang seluruh sekolah dan daerah setempat, setelah kejadian itu banyak wali murid menarik keluar anak mereka untuk dipindah ke sekolah lain. Tentu saja, memang orangtua mana yang tega membiarkan anak mereka belajar di tempat yang bisa saja mengancam nyawa mereka. Meski begitu, pihak sekolah tetap memberikan yang terbaik untuk siswa yang tinggal, membuktikan pada orang-orang bahwa mereka tidak salah menitipkan siswa mereka ke sekolah ini. Hingga pada akhirnya rumor yang beredar mulai menipis dan sekolah kembali ke kejayaannya.
Kejadian yang menghilangkan nyawa 5 siswa tahun pertama, menunjukkan jika lemari kosong bukan main-main, dan sekolah secara tegas memberikan larangan pada siapapun untuk tidak mendekati lemari kosong pada pukul lima. Kenapa pukul lima sore? Karena sekar menghembuskan nafas terakhir tepat pada pukul itu, dan kelima siswa yang mengalami kerasukan juga terjadi pada pukul lima sore.
“Lalu, apa kelas itu sedari dulu telah bernama kelas XII MIPA 6?” sangat tidak beruntung untukku, seorang siswa pindahan yang ternyata dijadikan salah satu penghuni kelas lemari kosong. Linda mengangkat bahu dan menjawab dengan nada ringan. “Tidak. Denah sekolah selalu berubah-ubah kan, entah dulu kelas ini diberi nama apa. Ketika aku kelas satu lalu, kelas ini diberikan untuk anak X Sosum 2, sebelum tahun ini beralih menjadi XII MIPA 6.”
Tet! Teeet! Teeeeeet! Aku yang ingin kembali bertanya terhenti, bel pergantian pelajaran berbunyi dan kami digiring oleh guru piket untuk kembali ke ruang kelas. Dua jam pelajaran olah raga yang kosong aku habiskan hanya untuk diam sambil mendengarkan cerita lemari kosong, sekarang otakku seperti tercuci otak dan hanya meninggalkan kekhawatiran jikalau aku lupa pada pantangannya. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya seperti itu udara terakhir di paru-paruku. Mungkin, mulai menyusun rayuan untuk memindahkanku lagi bukan ide yang buruk untuk menanggulangi bencana.
Bel pulang berdentang tepat pukul tiga sore, tetapi karena masih perlu untuk mengikuti ekstra PMR aku tidak langsung pulang. Dan karena hari ini jadwal ekstra adalah praktik P3K, waktu yang dibutuhkan lebih banyak dari hari biasanya. Kami-para anggota PMR, akhirnya dapat pulang ketika matahari hampir bersembunyi di balik punggung gunung.
“Eh, tunggu dulu!” aku menghentikan langkahku, membuat linda yang berjalan beriringan juga menghentikan langkahnya. “Ada apa?” “Kayaknya seragam olahragaku masih di kelas, deh. Tunggu ya, aku mau ambil dulu.” tanpa menunggu sahutan linda aku segera berlari. “Diambil besok kan bisa.” teriakan linda membuatku menoleh sambil terus berlari lalu menjawab dengan nada sama kerasnya. “Enggak bisa. Mau langsung aku cuci, takut jamuran kena keringat. Tunggu, ya!” “Rin, besok aja! Ini sudah jam lima, Rin.” Karena aku berlari dengan kencang aku tidak mendengar ucapan linda dengan jelas.
“Duh, capeknya lari-lari!” keluhku, memperlambat langkah larian menjadi jalan karena sudah dekat lorong jurusan MIPA. Sekolah sudah sangat sepi, tentu saja karena mereka sudah pulang dan hari ini hanya ada ekstra PMR dan semuanya juga sudah pulang. Mungkin di sekolah ini hanya tinggal ada aku, Linda dan dua satpam penjaga sekolah.
Namun, entah mengapa di setiap langkah aku semakin dekat kelas XII MIPA 6 punggungku terasa panas dan nafasku juga menjadi berat. Padahal taman di lorong ini penuh pepohonan dan bunga hasil praktek anak MIPA.
“Sakit! Tolong! Ini keras!” Tepat satu langkah ke depan pintu kelas XII MIPA 6, tubuhku mematung dan kaku. Bulu roma di sepanjang leher hingga betisku berdiri seiring suara-suara halus itu merasuk ke gendang telingaku.
Cerpen Karangan: Kheiyn Nak Blog / Facebook: Kheiyn Nak Kheiyn Nak adalah nama pena.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com