Suara tangisan yang tak berhenti membuat aku semakin merinding. Tepat hari ini, ibu dari ibuku, yah biasa dipanggil nenek, meninggal dunia. Nenek meninggal di usia 97 tahun. Semasa hidupnya, ia banyak menolong orang, bahkan menyembuhkan orang, tetapi kata mamaku tidak dengan cara yang baik.
Keesokan hari setelah kepergian nenek, rumah nenek belum kunjung sepi kedatangan orang-orang desa setempat. Beberapa dari mereka membawa hasil panen dan ternak mereka ke rumah nenek sebagai ucapan terimakasih karena pernah menolong mereka. Aku tidak paham, tetapi aku harus menghargai.
“Ma, untuk siapa nanti semua pemberian itu?” Tanyaku ke pada mama yang sedang merapikan barang-barang yang mereka beri. “Ya tentu untuk keluarga yang ditinggalkan, ga mungkin untuk nenek kan?” Jawab mama sambil menggodaku.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Hmm, ternyata tanteku, kuperjelas, adek dari mamaku. “Halo, sedang repot yah disini”. ujarnya sambil memegang pundakku. “Kak, ke belakang bentar, ada yang mau aku bilang. Biar Blessia yang lanjutin rapiin barang-barangnya”. Lanjutnya sambil menarik tangan mama. Oh iyaa, namaku Blessia Theophani. Tahun ini umurku genap 18 tahun, aku seorang mahasiswa baru, jurusan sosiologi di universitas swasta terdekat di daerah tempat tinggalku.
Setelah berbincang dengan tanteku, mama terlihat sangat aneh. Terlihat murung dan kebingungan sambil mencari papa yang sedang ngobrol dengan para tamu. Beberapa saat kemudian mama menemuiku sambil membawa beberapa barang-barang kami. “Blessia, beresein barang-barangmu, kita pulang sore ini karena si papa ada kerjaan mendadak, jangan sampai buru-buru nanti bahaya di jalan loh.” Kata mama sambil mengambil koper di atas lemari. Sebagai anak tunggal yang baik, aku nurut dan segera mengemas barang.
Satu persatu barang di masukan papa ke mobil, sementara mama dan aku sibuk salam-salaman dengan saudara-saudara yang lain. “Pamit yaa om baik.” Ujarku sambil bersalaman dengan kakak paling tua dari keluarga mamaku, om yang tidak pernah memarahiku sejak kecil, bahkan ia menganggapku seperti anaknya sendiri, oleh sebab itu aku memanggilnya “Om baik”. Beliau belum menikah padahal umur sudah hampir 50 tahun, kalau aku tanya sih katanya ia sudah berjanji tidak menikah seumur hidupnya untuk sebuah ilmu yang akan membuat ia kuat seumur hidup. Tidak perlu heran, keluarga mama emang masih kuat percaya dengan hal-hal itu.
Sore itu, kami pulang dari kampung dan menuju rumah yang jauhnya sekitar 7 jam dari kampung nenek. Ditengah perjalanan, tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang seperti mau bunuh diri. Ia berdiri di tengah jalan ketika mobil kami hendak melaju. Seketika aku berteriak kencang. “Aaaarggggghhhh!!!” sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Mama langsung memegangku, “Blessia! Kenapa sayang? Kenapa kamu teriak?”. Tanyanya dengan khawatir. Ini benar-benar aneh, sangat aneh. Aku melihat jelas ada wanita yang mau bunuh diri di tengah jalan, tetapi Papa dan Mama tidak melihatnya. “Mam, pap, tadi disitu tuh ada cewe berdiri di tengah jalan. Kayak mau kita tabrak.” Jawabku sambil menunjuk kearah belakang. “Hei, hei.. Sayang, kamu ngantuk kah? Tidak ada siapa-siapa di jalan, gak mungkin kan Papa tabrak orang ga kerasa.” Sahut Papa meyakinkan bahwa aku salah lihat. Aku cuma bisa terdiam, aku tidak ngantuk dan aku tidak mungkin salah lihat. Tadi itu benar-benar sangat jelas. Aku sangat berharap kalian melihatnya.
Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah, aku memutuskan untuk langsung tidur karena sangat lelah.
“Blessia! Blessia bangun! Bangun nak!” Mama menarik-narik badanku untuk membangunkanku. Ternyata sudah pagi, aku terbangun dan melihat mama dan papa yang tampak gelisah di sisiku. “Apa sih mam, pap, aku masih ngantuk, ntar lagi deh.” Kataku sambil berusaha duduk. “Kamu gak apa-apa kan sayang? ada yang sakit?” Tanya papa. Aku bingung, mengapa papa bertanya seperti itu padahal sejak kemarin kami bersama dan tidak terjadi apa-apa denganku. Lalu mama langsung menceritakan apa yang terjadi padaku barusan. Ternyata aku ngigau. Kata mama aku teriak-teriak dan memukuli badanku sendiri. Astaga aku benar-benar tidak sadar, bahkan tidak merasa kesakitan padahal tubuhku sudah merah-merah. Anehnya keadaan ini terus-terusan terjadi padaku setiap malam saat tertidur. Apa sebenarnya yang terjadi? Bahkan mama dan papa rela tidur di kamarku untuk menjagaku, agar tidak melukai tubuhku.
Karena hal ini benar-benar aneh, Mama menceritakan hal ini kepada keluarganya lewat telepon. “… Tapi dek, bukankah sudah dilepas? Mengapa Blessia masih kena?” Kata Mama yang sedang menelepon Tanteku. Spontan aku langsung bertanya ke mama, “Apa yang dilepas ma? Kena Apa?” Mama kaget melihat ku ada dibelakangnya dan langsung mematikan telepon. Akhirnya, Mama menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.
Saat aku lahir, Nenek sedang jatuh-jatuhnya dari pekerjaannya sebagai bidan desa. Karena tidak ingin usahanya hancur, Nenek menyerahkanku kepada sosok yang ia sembah selama hidupnya. Bukan kepada Tuhan, tetapi kepada roh jahat. Ia berjanji bahwa ia akan menjadikanku sama sepertinya kelak, bila ia sudah tiada. Mama marah, ketika ia tau hal itu, ia langsung membawaku ke rumah ibadah dan meminta agar Pendeta melepaskan perjanjian Nenek dengan roh kegelapan itu. Mama adalah anak yang paling dekat dengan Kakekku, sehingga mama ikut jalan Kakek. Beliau adalah seseorang yang taat agama, namun sayangnya beliau sudah lama meninggal bahkan sebelum aku lahir. Oleh sebab itu, mama berbeda dengan tante dan omku, mereka ikut dengan jalan Nenek.
Aku sangat kaget mendengar cerita Mama, aku sangat ketakutan. Mama berusaha meyakinkanku semuanya akan baik-baik saja. Namun, seketika saat itu tubuhku menjadi dingin, kepalaku sangat sakit. “Aaaaarghhhhhh!! Jangan lepaskan aku dari tubuh ini! Jangan coba-coba atau gadis ini akan menderita! Hahahah.. Bodohhh kalian!” Roh jahat itu masuk lagi kedalam tubuhku. Mama terkejut dan berteriak memanggil Papa, sementara roh jahat itu terus tertawa dan berteriak.
Papa datang dan langsung memeluk tubuhku dengan kuat, lalu mama mulai berdoa sambil memegang kepalaku. Roh jahat itu berteriak kesakitan lalu pergi, aku langsung lemas dan tak berdaya. Hal itu benar-benar membuatku takut, aku benci Nenekku, mengapa ia melakukan itu kepadaku. Aku sangat ketakutan sambil melihat seisi kamarku, berharap roh jahat itu tidak datang lagi.
Setelah kejadian itu, kami mendapat kabar buruk dari kampung. Ternyata Omku mengalami kecelakaan, ia harus kehilangan salah satu kakinya karena kecelakaan itu. Om baik sangat tidak berdaya, katanya ia mengalami kecelakaan karena jalan licin. Mama sangat tertekan, ia cuma bisa menangis melihat apa yang terjadi dengan keluarganya.
“Gimana keadaan om baik sekarang?” Tanyaku lewat telepon. Seketika Omku menangis mendengar suaraku, ia sangat ingin aku ada disana bersamanya, tetapi menurut ibu kediaman Nenek di kampung berbahaya untukku yang sedang seperti ini. “Om sudah baik sekarang, kamu juga baik kan nak?” Jawab Om dengan suara sedikit gemetar menahan nangis. Aku berusaha menguatkan dan menghibur Om baik, sekarang ia tidak bisa apa-apa. Ia kehilangan salah satu kakinya, dan ia menyesal. Impiannya untuk mendapatkan ilmu kuat justru membuat dia semakin lemah. Ia sadar bahwa semua kepercayaan buruknya adalah sia-sia, ia kehilangan banyak harta dan bahkan kesempatan untuk memiliki keluarga. Tanteku yang melihat langsung keadaan Om baik juga ikut tersadar, dan memilih untuk melepas semua kepercayaan buruknya dan memulai hidup dengan percaya kepada Tuhan. Mama dan Papa memutuskan untuk membawa Om baik tinggal bersama kami karena tidak akan ada yang merawatnya, sementara tanteku punya keluarga yang harus ia rawat juga. Mama berharap bisa membawa Om ku kepada hidup yang baru, yang jauh lebih baik. Aku senang sekali, akhirnya impian Mama melihat keluarganya bertobat terwujud, aku berharap setelah ini keluarga kami akan baik-baik saja.
Tetapi harapanku tidak semudah itu aku dapatkan, saat Mama dan Papa di perjalanan pulang dari kampung menjemput Omku menuju rumah, aku kembali di ganggu roh jahat itu. Bahkan ia sangat menguasaiku, membuatku menghancurkan seisi rumah bahkan lagi dan lagi melukai tubuhku. Tetangga yang sudah lama tau keadaanku segera mengabari Mama dan Papa, mereka langsung bergegas pulang ke rumah.
Roh jahat itu membawaku keliling halaman rumah sambil berteriak, “Kalian semua bodoh!Harusnya kalian percaya padaku!Ayo percaya padaku! Hahahahha.. Percayalah padaku!!” Semua tetangga keluar dan berusaha menangkapku yang sudah seperti orang gila. Sampai pada akhirnya salah satu tetangga memanggil Pendeta untuk mendoakanku. Aku berhasil ditangkap, lalu Pendeta merangkulku dengan lembut dan berbisik, “Nak, kamu bisa melawannya sendiri, jangan anggap dia kuat, karena kamu jauh lebih kuat sebab Tuhan besertamu, lawanlah! Sebut Nama Tuhan yang berkuasa dan akan melenyapkan roh jahat itu!” Aku mendengar jelas suara Pendeta itu, aku menangis. Lalu aku melakukan sesuai saran Pendeta, seketika roh jahat itu menjerit kesakitan dan langsung pergi dari tubuhku. Tepat saat itu juga Mama dan Papa sudah sampai dan langsung memelukku.
Pendeta menasehati kami sekeluarga agar terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Lalu Mama menceritakan kepada Pendeta bahwa saat kecil aku sudah didoakan untuk dilepaskan dari ikatan kutuk itu, tetapi mengapa masih belum lepas.
Tiba-tiba Omku yang duduk di atas kursi rodanya menyahut pembicaraan Mama dan Pendeta. Om mengatakan bahwa ia memberitahu Nenek tentang hal itu, sehingga Nenek kembali menyerahkanku kepada roh jahat tanpa sepengetahuan Mama. Saat mendengar itu, Mama langsung menangis dan sangat kesal, ia sangat sedih dengan kelakuan keluarganya.
Pendeta menjelaskan bahwa semua ini disebut kutuk, dimana kutuk ini akan menjerat garis keturunan bila tidak dilepaskan. Tidak hanya anak yang diserahkan yang akan kena, bahkan anak yang tidak diserahkan juga bisa kena, tergantung siapa yang dipilih. Tetapi Pendeta juga meyakinkan kami bahwa ini benar-benar sudah lepas karena aku sudah tau kunci melepaskannya. Ya, caranya adalah menguasai diri sendiri untuk percaya bahwa kekuatan Tuhan jauh lebih dahsyat dan berkuasa dari pada roh jahat itu dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk menguatkan iman percaya kita. Tuhan sekuat dengan apa yang kita percaya sendiri, kalau kita percaya Tuhan luar biasa, maka kekuatan Nya pun akan luar biasa.
Cerpen Karangan: Elisa Stephani Blog / Facebook: Elisa Stephani
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com