Gelap semakin larut ketika aku tersadar tengah berada di sebuah halte bus trans. Yang kuingat, aku harus segera pulang karena anakku bisa marah-marah kalau aku pulang larut lagi. Memang tidak pernah ada cukup waktu bagiku di usia senja ini untuk berjalan-jalan sendiri, sekadar menikmati suasana kota yang telah berubah.
Kadang-kadang, saking asiknya aku berjalan-jalan, aku sampai lupa kalau malam semakin larut. Hingga menantuku harus menjemputku di pusat kota. Aku paling tidak suka membuat orang repot. Jadilah hari itu aku tegaskan ke menantuku, agar tidak usah menjemput kalau aku belum menelepon ke rumah.
Aku terbiasa kemana-mana berjalan berdua dengan mendiang suamiku. Kami naik angkutan umum. Bahkan di usia pensiun kami. Aku heran kenapa orang-orang muda sekarang sulit sekali diajak naik angkutan umum. Padahal kian hari fasilitasnya makin menarik.
Biasanya kami bakal berjalan-jalan menikmati hari dengan berkeliling kota dan bercerita tentang masa lalu kami dan bangunan-bangunan di kota ini.
“Kamu ingat kan, gedung ini dulunya bioskop? Kita nonton di sini, lho!” kata suamiku menunjuk pada sebuah gedung kantor bertingkat. “Disana pula aku memergokimu hendak menonton bersama mariani, kan?” Aku berniat menggodanya. “Apa iya?” “Iya!” “Iya?” “Iyaaa.” Kupanjangkan nadanya tanda aku benar-benar yakin. “Iya deeh.”
Setelah suamiku meninggal, sesekali aku berjalan-jalan seperti hari ini. Kalau aku tidak bergegas pulang barang beberapa menit lagi saja, anakku pasti akan menelepon. Huh!
Sulit sekali bagi perempuan tua sepertiku untuk bepergian dengan angkutan umum sendirian. Apalagi jaman sekarang, sudah jarang orang yang mau berbagi kursi denganku. Padahal, sewaktu aku muda dulu, aku sering berbagi kursi dengan orangtua seusiaku. Jadi terpaksalah aku berdiri bergelayut di antara penumpang lain.
Aku melihat sebagian besar penumpang bus ini adalah orang muda. kalau kuhitung, satu.. dua.. hmm.. lima.. ada enam orang tua selain aku yang ada dalam bus ini. Keenam-enamnya duduk kecuali aku! Sial! Padahal di depanku ada perempuan muda yang aku yakin bakalan lebih kuat berdiri dibandingkan aku. Kalau saja itu aku yang dulu, aku pasti sudah berbagi kursi dengannya. Tapi kulihat, bahkan perempuan muda ini tidak pernah lepas memerhatikan ponselnya.
Bus terus melaju dan berhenti di setiap halte, sementara pikiranku masih menggerutu menyesali ketidakpekaan anak muda sekarang. Lututku berderak-derik karena lama sekali aku berdiri. Mereka tidak mendengarnya karena suara derikan lututku tidak lebih keras dari deruman kendaraan jalanan.
Sesekali aku meringis mengernyitkan pinggiran mataku karena sakitnya tidak tertahankan. Ringisanku memang lirih, sehingga tidak ada yang mendengarkannya. Mereka juga tidak ada yang peduli denganku sedari tadi, bukan?
Aku terkejut ketika kulihat perempuan muda didepanku tiba-tiba menoleh ke arahku. Herannya, aku tidak bisa merasakan tatapannya. Tatapan itu seolah-olah menembus diriku dan sampai di jendela belakangku. Kosong. Aku tidak bisa merasakannya sama sekali. Aku melihat sekeliling. Benar saja! Aku tidak merasakan tatapan mereka. Sesekali diantara mereka ada yang memutar pandangan ke sekeliling, dan ketika tatapan itu menuju padaku, sama! tatapan itu menembusku!
Ya Tuhan, aku pasti salah masuk bus. Aku pernah membaca cerita soal angkutan umum berhantu. Entah itu bus atau kereta. Biasanya, bus atau kereta itu pasti telah terlibat kecelakaan hebat yang menewaskan seluruh penumpangnya. Ya Tuhan! Ya Tuhan! Aku tidak menyangka akan mengalami ini di usiaku yang telah renta.
Derak-derit di kakiku menjelaskan aku pasti akan mati kalau langsung lompat dari bus ini. Apa yang bisa kuandalkan? Semua orang-orang ini tidak bisa dan tidak mungkin bisa mendengar suaraku agar bus ini berhenti. Mereka semua mati! Supir itu sudah mati! Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak kuat, kakiku yang sedari tadi berderit pasti kehilangan tenaganya, sehingga aku terduduk diantara kerumunan ini.
Eh? Aku sadar sesuatu! Para penumpang yang naik maupun turun tidak pernah menyenggolku. Bahkan sepertinya mereka sengaja bisa menghindariku agar tubuh kami tidak tertabrak. Bagaimana bisa? Apa jangan-jangan bus berhantu itu hanya pikiranku saja? Ah, memang benar! Benar! Aku salah! Aku hanya terpengaruh suasana.
Syukurlah aku kembali sadar. Kekuatan kakiku kembali. Aku bisa berdiri lagi. Kini pikiranku sudah kembali tenang. Aku mengatur napas dan melihat sekeliling. Benar saja, ini berbeda dengan keadaan yang digambarkan cerita-cerita yang pernah kubaca. Dalam cerita, biasanya penumpangnya berkulit pucat. Duduk tenang tak bergerak. Dan tidak seorangpun diantara mereka yang bakal peduli satu sana lain, seolah mereka semua sudah tertidur lelap.
Sementara di bus ini, kukatakan dengan mantap, kulit mereka tidak ada yang pucat. Bahkan perempuan yang duduk paling ujung sana berkulit putih, tapi tidak pucat. Pemuda yang berdiri disampingku ini berkulit coklat. Eh? Tunggu? Ih! Jijik sekali! Pemuda ini tidak pernah bercukur apa, ya? Bulu ketiaknya lebat sekali! Terlebih dia memakai kaus berkerah yang lengannya hanya sebatas bahu.
Beberapa penumpang tengah asik ngobrol. Anak sekolah berambut ikal yang berdiri di dekat pintu juga, dia senyum-senyum sendiri sejak tadi. Telinganya disumbat sesuatu. Benar-benar ya, sekarang orang sudah sibuk sendiri. Tidak peduli lagi dengan orang lain. Kalau di masa aku masih muda, anak-anak sekolahnya model dia suka menggoda perempuan di depannya. Tapi, kalau begitu keadaan jadi lebih baik, ya?
Perempuan muda di depanku tiba-tiba mendongak ke atas. Tatapan kami bertemu, tapi masih saja kosong. Dia seolah tidak melihatku. Yah, tidak masalah. Khas anak muda sekarang. Dia lalu berdiri hati-hati melewatiku. Aku melepaskan peganganku agar ia bisa leluasa lewat. Beberapa detik kemudian kulihat dia sudah ada di halte. Sibuk kembali dengan ponselnya.
Aku turun di halte berikutnya. Secara serempak, orang-orang di depanku beringsut memberiku jalan. Akhirnya aku benar-benar yakin kalau aku tidak naik di bus hantu. Bus itu pergi dan tidak ada penumpang yang turun bersamaku. Aku tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan. Hah, pikiran orang tua memang sudah tidak bisa diandalkan.
Aku pulang ketika malam sudah mulai larut. Langit yang tadinya merah keunguan sudah hilang. Berganti warna hitam pekat. Aku berjalan cukup jauh menuju halte bus trans. Aku ingat perbincanganku tadi sama si Iwan. Katanya kalau naik bus trans saat malam begini harus hati-hati.
“Memang kenapa?” Ku tanya karena memang tidak mengerti. “Begini, katanya. Kalau kamu naik trans, perhatikan lantainya. Kalau trans yang kamu naiki itu ada tanda merah di lantainya, jangan diinjak! Hindari saja. Kalau ada orang yang menginjaknya, nggak usah dihiraukan! Itu hantu! Hii!” Dia memeluk tubuhnya sendiri seolah tengah kedinginan. “Ah, yang benar?” “Benar!” “Benar?” “Benar!” Kali ini aku yakin dia serius. “Atau kuantar saja, bagaimana?” “Nggak mau, ah! Oh, ini jangan-jangan ini akal-akalanmu saja, ya kan? Biar bisa pulang sama aku? Ya kan?” Aku menuding. Aku punya prinsip tidak mau begitu saja ditawari sama laki-laki. Apapun! Apalagi aku orang baru di kota ini. Baru seminggu. Biasanya juga aku pulang sore hari, tidak ada apa-apa tuh. “Ya sudah, kalau tidak mau. Memang sih, kemungkinan kamu naik trans yang aku sebut tadi kecil sekali. Tapi aku hanya memperingatkanmu. Orang-orang di kota ini, khususnya yang naik trans sudah pada tahu. Lihat saja nanti.”
Beberapa menit menunggu di halte, bus trans yang kutunggu datang. Kuperhatikan, di pintu masuk ada peringatan untuk tidak menginjak tanda merah. Aku bergidik! Tidak dapat kupungkiri, aku langsung terpengaruh peringatan Iwan tadi. Kulihat Arlojiku sudah menunjukkan pukul 20:48.
“Ini bus terakhir, kak!” Kata kernet memperingatkanku. Seolah ia tahu pikian apa yang menahanku untuk masuk. Sial! Di dalam bus memang kulihat ada tanda oval sepanjang empat puluh senti. Kursi di depan tanda itu kosong. Padahal ada orang-orang yang berdiri. Tapi tak kulihat apa-apa di atas tanda itu. Tak ada hantu.
Kuputuskan untuk duduk di kursi itu, orang-orang seperti memperhatikan gerak-gerikku. Mata mereka awas. Jadilah dengan bodohnya aku melewati tanda itu seolah-olah ada orang berdiri di atasnya. Aku duduk. Ah lega. Kakiku memang butuh istirahat. Seharian ini aku mengantar pasien dari bangsal ke bangsal. Ternyata rumah sakit di kota memang selalu penuh. Tidak seperti klinik di daerah.
Bus ini berhenti di halte berikutnya. Kulihat sorang nenek tua setengah bungkuk masuk. Orang-orang yang berdiri di dekat pintu serentak memberinya jalan. Dengan tertatih dia berjalan ke arahku. Betapa terkejutnya aku melihat dia berdiri di atas tanda larangan itu. Dia menatapku. Aku yang telah diperingatkan tidak berani menatapnya. Kukeluarkan ponselku dan menyibukkan diriku dengannya. Ah sial. Padahal sesekali aku harus melihat ke arahnya agar tahu aku sudah sampai mana. Ah sial!
Cerpen Karangan: Irsad Hidayat Facebook: facebook.com/irsyad.hidayat.16547 Pria berkepala kotak yang tengah beranjak dewasa (atau memang sudah dewasa, ya?). Kunjungi saya di instagram, @irsyad_sqhd.