Semburat rembulan kian memucat, mencumbu pucuk-pucuk mendira yang kian membuku dibalut embun kelabu. Suara derit mesin kendaraan yang lalu lalang di depan kantorku berangsur-angsur mulai sirna seiring berjalannya waktu. Yang terdengar hanya nyanyian jangkrik dan hembusan angin malam yang membelai ranting-ranting pohon beringin dan jambu bol yang ada di halaman depan kantor. Itu berlangsung hingga fajar menjemput di balik hari.
Aku duduk dalam ruangan kantor perpustakaan tempat aku bekerja sebagai penjaga malam. Aku sudah menjalani pekerjaan ini selama delapan tahun, setiap malam tanpa ada libur. Aku memang bekerja seorang diri, jika aku libur tentu tidak ada yang menggantikan tugasku. Pernah aku mengusulkan kepada atasanku agar menambah lagi petugas jaga malam, agar pekerjaan bisa dilakukan secara bergilir. Namun menurut atasanku anggaran untuk penjaga malam dari PEMKOT hanya satu orang. Mungkin kantor perpustakaan dianggap tidak terlalu rawan dari pencurian, maka untuk penjaga malam cukuplah satu orang. Sehingga dengan demikin hingga sekarang aku tetap bertugas seorang diri.
Sebagai seorang penjaga malam honorer tentu tidaklah memiliki gaji yang besar. Tapi aku tetaplah mensyukurinya, karena menurutku kebahagiaan tidaklah diukur dari gaji yang besar. Kebahagian akan kita rasakan jika kita selalu merasa syukur dengan apa-apa yang diberikan Sang Pencipta kepada kita. Dan aku pun terus bersyukur karena anak dan istriku tidak pernah minta yang berlebihan. Mereka selalu menampakkan wajah gembira dan penuh keceriaan, jika kami sedang berkumpul menikmati makanan di atas meja apa adanya.
Istriku pun tidak tinggal diam, sehari-hari dia membantu juga untuk menambah penghasilan kami dengan membuat cemilan untuk dititipkan di warun-warung. Hasilnya lumayanlah untuk membuat dapur tetap ngebul dan anak tetap bersekolah. Dan istriku dengan senang hati mengerjakan semua itu. Hingga sampai sekarang dia tetap setia menemaniku walau kami sudah berusia 50-an tahun.
Selama delapan tahun aku bertugas sebagai penjaga malam tak pernah ada gangguan apapun, baik dari alam nyata maupun alam yang kasat mata. Oh… ya aku hampir lupa, pernah satu kali ada anak muda makai motor dalam keadaan mabok. Motornya menabrak pintu pagar, sehingga slot pintu pagar lepas. Hanya satu kali itu saja.
Untuk gangguan dari alam ghaib tidak pernah sama sekali. Pernah seorang pegawai kantor yang sudah lama dariku bekerja di situ menceritakan hal–hal ganjil dan aneh yang dia alami selama bekerja di situ, kejadiannya di siang hari. Tapi aku tak pernah mengubris cerita-cerita semacam itu. Dia juga mengatakan bahwa kantor itu dulunya dibangun di atas kuburan tua milik Belanda. Aku anggap ceritanya itu hanya untuk menakutiku, jangan–jangan dia menginginkan aku agar tidak betah atau takut bekerja di situ. Aku yakin aku lebih tahu dari pegawai itu soal kantor itu, sebab aku dilahirkan di kota itu. Sedari kecil aku juga pernah bermain-main di sekitar kantor itu, yang dulu belum menjadi kantor perpustakaan seperti sekarang ini. Terus terang dalam kehidupan sehari–hari aku tidak terlalu suka dengan hal-hal mistis, walaupun aku sering menonton film horor.
Demikianlah hingga hari ini tidak ada kejadian yang berarti selama aku menjalankan tugasku sebagai penjaga malam. Aku menikmati pekerjaanku seorang diri di tengah kesunyian malam yang penuh ketenangan dan kedamaian.. Ditemani sebuah laptop dan secangkir kopi untuk menghibur diri dan mengusir rasa ngantuk, sehingga aku bisa tidur dan istirahat jika malam sudah hampir berakhir. Keamanan pun terus terkendali hingga sampai pada suatu malam….
Aku menonton film horor di video yutube. Itu aku lakukan hampir setiap malam. Sudah ratusan atau mungkin ribuan film horor sudah aku tonton di video yutube, baik yang dari barat maupun dari negeri sendiri. Tapi aku lebih suka yang dari Barat, sebab menurutku yang dari Barat lebih masuk akal daripada yang lokal. Terkadang aku juga nonton film action dan video-video lain yang tersebar di yutube. Itu semua aku lakukan untuk mengusir kejenuhan dan mengulur waktu hingga sampai saatnya aku menghempaskan tubuhku di atas sofa yang ada di ruangan kantorku untuk beristirahat.
Sejenak aku menoleh ke arah jam tanganku yang keletak di atas meja dekat laptop. Waktu sudah menunjukkan pukul 03:00. Kulihat juga jam yang ada di pojok bawah layar monitar untuk meyakinkan kalau-kalau arlojiku tidak akur, jam di monitor juga menunjukkan waktu yang sama. Mataku terasa sudah berat untuk melotot kearah monitor, sebentar melek sebentar merem. Aku sudah tidak jelas lagi awal dan akhirnya adegan di film yang kutonton. Aku menguap lebar tanda kantuk sudah benar-benar menyerang.
Kumatikan laptopku yang sudah termasuk usang, karena sudah sepuluh tahun yang lalu aku beli, yang selalu setia menemaniku setiap malam. Aku masukkan kedalam tas yang setiap aku berangkat kerja selalu aku bawa yang isinya selain laptop ada juga benda–benda lain yang aku perlukan. Usai itu aku menuju toilet yang rutin aku lakukan setiap malam sebelum aku menghempaskan tubuhku di atas sofa. Hal itu sudah diajarkan oleh ibuku sedari kecil, agar sebelum tidur buang air kecil dulu. Mungkin itu diajarkan juga oleh ibu-ibu yang lain kepada anak–anaknya.
Perlahan-lahan aku merebahkan tubuhku di atas sofa yang setiap malam menjadi ranjang bagiku. Kutarik kain sarung untuk membungkus tubuhku dari ujung kaki hingga sebatas leher. Tubuhku terasa nyaman. Hembusan AC yang sudah kukurangi volumenya, yang menempel di dinding kantor, membuat tubuhku tidak merasa gerah pada saat musim kemarau seperti ini.
Ada hal yang tak pernah aku tinggalkan saat menjelang tidur. Aku selalu mengucapkan doa dan zikir yang telah diajarkan oleh Ayahku sejak dari kecil. Karena saat tertidur hanya Allah yang menjaga diri kita dari segala gangguan baik yang datang dari bumi maupun dari langit, begitulah yang dikatakan Ayahku dulu. Dan itu tetap kuingat dan kuyakini betul hingga aku sudah menjadi seorang ayah juga.
Tapi entah mengapa malam itu aku benar-benar lupa mengucapkan doa dan zikir, mungkin karena kantuk sudah terlalu berat, sehingga begitu merebahkan tubuhku di atas sofa mataku langsung terpejam, membawaku ke alam mimpi.
Dalam mimpiku aku berada di sebuah goa yang tidak aku kenal di mana lokasinya. Karena aku memang tidak perah memasuki sebuah goa, baik untuk tujuan wisata maupun tujuan yang lainnya. Dan di daerah tempat tinggalku memang tidak ada goa. Tempat wisata di daerahku adalah pantai dan ada beberapa air terjun dan sumber air panas yang keberadaannya belum diperhatikan secara maksimal oleh pihak yang berwenang di daerah tempat tinggalku.
Aku pernah mendaki gunung, tapi itu pun sudah lama sekali, di jaman aku masih mengenakan seragam Pramuka dan seragam putih abu-abu. Di daerahku ada gunung, tetapi tidak terlau tinggi seperti gunung–gunung lain yang ada di nusantara. Mungkin boleh jadi masih dikategorikan sebagai bukit.
Goa yang ada dalam mimpiku, di sisi kiri kanan terdapat bongkahan–bongkahan batu besar, ada juga di sisi lain berbentuk runcing yang sebagian menempel langsung di dinding dan langit-langit goa. Di antara batu–batu itu ada juga air mengalir. Udara di dalam goa terasa sejuk walaupun tidak ada celah ataupun lobang kecil tempat keluar masuk udara maupun tempat menyeruaknya sinar mentari. Mungkin karena pengaruh aliran air di dalam goa sehingga membuat suasana di dalam goa terasa sejuk. Dan aku pun tak pernah tahu dari mana aliran air itu berasal. Yang kutahu hanyalah semua yang terjadi dan berlangsung di muka bumi ini sudah kehendak Sang Pencipta. Ada hal-hal yang terjadi di luar jangkauan akal kita. Hal semacam itu menurutku tidak perlu kita bersusah payah memikirkannya, karena akan membuat diri kita semakin bingung, syukur–syukur tidak sampai stress atau bahkan menjadi gila.
Saat aku terpana memandang ke arah sekeliling goa, aku merasakan ada tangan dingin dan kaku menyentuh pundakku. Secara refleks aku membalikkan tubuh dengan maksud untuk menghindar karena didera rasa gaget yang teramat sangat. Bersamaan dengan itu, di dalam gua menyeruak bau kemenyan yang entah dari mana datangnya, membuat bulu kuduk tambah merinding. Di hadapanku berdiri sesosok makhluk yang belum pernah aku lihat sepanjang hidupku. Dadaku terasa berdebar, bulu kudukku merinding, lututku terasa bergetar sehingga lantai goa yang aku pijak tidak terasa lagi. Perasaan takut dan cemas menyeran jiwa dan ragaku. Belum pernah aku merasakan takut seperti itu di dunia nyata.
Cerpen Karangan: Al Arudi Blog / Facebook: Al Arudi