Makhluk di hadapanku benar-benar makhluk aneh dan menyeramkam, lebih seram daripada makhluk-makluk yang pernah kutonton di film horor. Tubuhnya berbentuk besar tinggi, ditumbuhi bulu-bulu lebat dan hitam seperti gorila ataupun orang hutan. Daun telinganya lebar dan agak meruncing mengarah ke belakang. Di kepalanya terdapat dua buah tanduk yang runcing, bola matanya besar melotot berwarna merah seperti bara api yang masih menyala. Benar-beanar pemandangan yang menyeramkan bagi mereka yang tidak pernah berkubang dengan dunia mistik dan alam supranatural.
Dengan dada berdebar dan wajah agak memucat aku merasa ngeri untuk menatap makhluk yang sangat menyeramkan itu. Yang membantu menguatkan jiwaku hanyalah sepotong iman kepada yang menciptakan makhluk itu. Aku yakin tidak ada kekuatan yang bisa menandingi kekuatan-Nya, baik yang ada di langit maupun di bumi. Dengan didorong oleh pikiran seperti itu, perlahan-lahan aku beranikan diri untuk menatap makhluk itu, mulai dari ujung kukunya sebesar mata linggis hingga bola matanya seperti bola api yang pernah dijadikan oleh sebagian anak pesantren untuk bermain sepak bola.
Tapi anehnya makhluk itu tidak mengucap sepatah kata pun. Dia hanya menatapku dengan tajam mengerikan. Kemudian dia menyentuh tangan kananku dengan tangannya membuat dadaku makin bergemuruh. Tangannya sangat dingin dan kaku mebuat bulu kudukku kembali merinding. Kakiku terasa makin lemas menginjak lantai goa itu. Aku merasakan tangannya mulai meremas tanganku. Remasannya semakin lama semakin keras yang aku rasakan. Saat itu keluarlah dari mulutku firman Allah yang ada di Al-Quran yang sudah aku hafal dan sering aku ucapkan selama ini.
Aku tersentak kaget. Aku terjaga dari tidurku yang baru setengah jam. Semua mimpi-mimpi itu buyar seketika. Tak ada lagi batu-batu dan air mengalir yang ada di dalam goa saat aku bermimpi. Yang ada di sekelilingku sekarang hanya kursi; rak-rak buku, serta lampu yang cahayanya menerangi ruangan, yang tentu saja menjadi pemandangan yang aku lihat setiap malam di ruang kantor perpustakaan.
Saat itu juga aku merasakan ada sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Benda itu benar-benar aku rasakan keberadaannya di tanganku. Aku perhatikan pergelangan tanganku. Di tanganku melingkar sebuah gelang yang terbuat dari biji-biji tasbih berwarna hitam pekat. Aku tidak jelas terbuat dari bahan apa biji-buji itu. Hanya keesokan harinya kuperhatikan biji-biji tasbih itu mirip biji kacang kecipir yang sudah dikeringkan, yang di daerahku orangtua jaman dulu sering membuatnya menjadi gelang untuk anak-anak bayi, agar bayi tidak suka menangis di malam hari.
Aku sangat tidak menyukai gelang yang kuperoleh dari alam mimpi itu. Aku memang tidak suka berhubungan dengan hal-hal mistik. Karena menurutku hal semacam itu akan menjerumuskan kita ke jurang kemusyrikan, yang menurut ceramah para ustadz itu adalah dosa yang tidak bisa diampuni. Aku tidak punya niat sama sekali untuk menyimpan gelang itu apalagi memakai dan membawanya kemana-mana. Bagiku gelang itu miliknya para setan, jika aku pakai berarti aku menjadi temannya para setan. Akupun tak pernah menceritakan perihal gelang itu kepada isteri dan anakku, kareana menurutku mereka tidak perlu tahu dan memang tidak ada gunanya buat mereka.
Timbullah pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan yangkeluar dari otakku. Kemana aku harus membuang gelang itu? Akupun tidak berani sembarangan membuangnya. Aku khawatir jika aku buang sembarangan akan ada akibat buruk bagiku dan keluargaku. Perasaan bingung menyeruak ke benakku. Sebab makhluk dalam mimpiku tidak memberitahu apa-apa perihal gelang itu. Di samping itu aku juga khawatir perbuatan syirik bakal mendekatiku jika gelang itu tetap berada padaku. Dan akhirnya tentu saja akan menjadikanku umat yang ingkar kepda Allah dan mengikuti jejak-jejak setan.
Lama aku termenung memikirkan hal itu, hingga akhirnya aku ingat kepada seorang temanku yang suka mengoleksi benda-benda mistik. Temanku itu bernama Jarot. Aku tidak faham mengapa Jarot menyukai benda-benda seperti itu. Akupun tak pernah usil untuk menayakan perihal itu kepadanya. Biar bagaimanapun dia adalah teman, aku tidak suka membicarakan hal-hal yang menyinggung perasaan teman. Biarlah itu akan menjadi urusannya dengan Sang Pencipta di hari kemudian, karena hanya Dia yang berhak memberi hukuman kepada umatnya pada hari itu.
Keesokan harinya kutemui Jarot di rumahnya. Dia sehari-harinya berprofesi sebagai tukang gunting rambut. Terkadang jasanya sering dipakai juga oleh orang-orang yang suka mengobati penyakit dengan cara-cara ghaib, walaupun sebenarnya penyakitnya bukan berasal dari alam ghaib.
Kedatanganku diterima Jarot dengan ramah, sebagaimana layaknya seorang teman. Selang beberapa menit kemudian istri Jarot keluar dari dapur dan menghidangkan dua cangkir kopi hangat dan sepiring pisang rebus di atas meja. Dia mempersilakanku mencicipi hidangannya, kemudian masuk lagi ke arah dapur. Di dinding rumah Jarot terpampang keris dan beberapa benda kuno yang tak aku fahami.
“Ada apa, Bok? Adakah sesuatu yang akan kamu ceritakan hari ini kepadaku?” tanya Jarot kepadaku. Di kalangan teman-teaman, aku memang biasa dipanggil “Abok”. Aku tidak tahu mengapa mereka memanggilku seperti itu, padahal namaku bukan seperti itu. Yang kutahu panggilan “Abok” berarti “Kakek” dalam bahasa Indonesia-nya. Mungkin mereka memanggilku seperti itu karena rambutku sudah ditumbuhi uban, bahkan kumisku sudah tidak ada lagi rambut hitamnya. Teman-temanku yang sebaya sebenarnya juga sudah banyak yang memiliki uban, cuma yang paling banyak memang aku.
Menjawab pertanyaan Jarot, aku ceritakan semua kejadian di mimpi yang kualami. Dan tentu saja masalah gelang itu. Setelah mendengar ceritaku, tanpa basa-basi lagi dengan cepat Jarot mengambil gelang itu dari tanganku. Diperhatikannya gelang itu dengan teliti, kemudian dia tersenyum sambil menyeringai, sebagi tanda dia sangat menyukai bendai tu.
Menurut Jarot; gelang itu milik raja iblis bernama Datuk Antu Kuwek. Gelang itu berkhasiat untuk menundukkan segala makhluk dari golongan setan. Tapi aku tak peduli dengan segala khasiat dari benda itu. Yang aku tahu gelang itu milik setan, jika memakainya berarti akan dekat dengan setan.
Setelah puas melihat-lihat benda itu dengan seksama, Jarot berkata kepadaku, “Berapa, Bro?” sambil tangannya merogoh kantong celananya bagian belakang. Mungkin dia mau menagmbil uang dari kantong itu. “Gak usahlah, Bro. Ambillah.. gratis, kukasih Cuma-cuam.” Sahutku.
Setelah pulang dari rumah Jarot, aku tidak mau lagi memikirkan mimpi dan masalah gelang itu. Akupun tidak pernah bertanya kepada Jarot, apa yang akan dia perbuat terhadap gelang itu. Aku merasa lega karena gelang itu tidak berada di tanganku lagi. Dalam hati aku yakin Jarot tahu apa yang akan dia perbuat dengan gelang itu, karena dia sudah biasa berurusan dengan hal semacam itu.
Hingga sekarang akupun tidak pernah mengalami hal-hal buruk dan aneh yang berasal dari gelang setan itu. Setiap malam hari aku masih tetap menjalankan tugasku seperti biasa sebagai penjaga malam di kantor perpustakaan dan arsip. Dan setiap menjelang tidur aku tidak lupa lagi mengucapkan doa dan zikir.
Kabar yang terakhir kudengar dari Jarot, anaknya yang bungsu bernama Lengos yang masih berumur lima tahun, raib entah kemana rimbanya. Sudah dicari dengan cara nyata maupun dengan pertolongan orang pintar, tapi hasilnya nihil. Menurut teman-temannya, mereka melihat Lengos terakhir saat bermain hujan-hujanan di pinggir selokan. Karena memang saat ini baru memasuki musim hujan yang memang disukai anak-anak. Sudah hampir enam bulan di tempatku dilanda kemarau panjang. Menurut teman-teman Lengos, mereka melihat Lengos waktu itu memakai gelang tasbih warna hitam menyeramkam. Saat itu kelakuan Lengos agak kasar, suka menendang teman-temannya, sehingga teman-temannya menjauh dari Lengos
Cerpen Karangan: Al Arudi Blog / Facebook: Al Arudi