Gadis itu melihatku saat aku meminum “kopi” yang ia bikin “Bagaimana mas rasanya?” Aku tak menjawab “Kurang manis ya? Sebentar aku ambilkan gula” “Eh tidak, tidak” Aku berusaha untuk lebih sadar lagi, melogika segalanya, gadis ini cantik rupawan elok bagaikan artis ibukota, bahkan aku mulai yakin jika bidadari itu benar benar ada! Namun kontras, ibu penjual itu tampak lusuh, mukanya seperti tengkorak yang ditempeli kulit seadanya, rambutnya bahkan ada ulatnya!, Dan kopi ini rasanya pahit, kopi sesajen! Lengkap dengan bau kemenyan dan bunganya, bahkan bentuk tekstur dan warnanya seperti darah!
Aku berpikir sendiri, merinding, dan sesekali melirik gadis yang duduk tepat di sampingku, nampaknya ia tidak nyaman aku diam kan, namun aku juga tidak tahu aku harus berkata apa.
“Tadi simbok berkata, masnya beli makanan dan masih sisa, kata simbok uangnya masih sisa dan dikasih simbok, maka dari itu aku putuskan bikinin kopi untuk masnya” gadis itu berkata sambil memainkan telapak kakinya, ia tak memandangku “Eh, jadi ibu tadi simbok kamu” aku jawab dengan kaku, seperti dipaksakan “Iya, simbok itu ibuku, bapak belum pernah datang kesini” tiba tiba intonasi wajah gadis itu murung “Memang bapak kamu dimana?” “Eh,” gadis itu mencoba menutupi sesuatu “Kerja ya?” Aku mengejar kata katanya “Hanya kami berdua yang telah disini, bapak sebenarnya masih hid..” “Nduuukkk!” Tiba tiba ibu penjual bersuara agak kencang, nampak memberikan kode kepada anaknya, agar tak mengungkapkan sesuatu “Apa mbok?” Gadis itu tampak sebal kata katanya dipotong, ia menoleh nampaknya dia dikode dengan telapak tangan simbok untuk tidak mengatakan yang sesungguhnya. “Bantuin simbok, nasinya sudah matang tolong dibawa kesini ya nduk” kata simbok kepada gadis itu “Oh iya mas, aku masuk ke dalam dulu, bantuin simbok” kata gadis itu sambil cengengesan, berusaha untuk mencairkan suasana yang kaku “Eh,” aku berusaha mencegahnya, namun apa boleh buat?
“Sebentar, nama kamu siapa?” Dengan agak berteriak sebelum memasuki rumahnya ia bersuara dengan agak kencang menyebutkan namanya, lalu dia berkata “Panggil saja aku VIT mas” Gadis itu tersenyum dari balik pintu, melambaikan tangan Namun, Bruk k k k… Dengan agak kencang, ibu penjual itu menutup rumah dari luar, nampaknya tak suka dengan percakapanku dengan anaknya, suaranya terdengar keras, sehingga menyinggung perasaanku, Bagaimana tidak, seseorang menutup pintu dengan keras di depan tamunya.
Aku sadar diri, aku harus pergi sekarang, mungkin terlalu larut, mungkin ibu itu hendak menutup warungnya, besok pagi pasti aku akan ke tempat ini lagi. Aku berkemas membereskan mantel hujan, memasukkannya mengecek handphone yang sudah meninggal, lalu berangkat menuju ke selatan. Hujan sudah reda, dan perjalanan ini akan lebih nyaman Aku lelah, aku hendak tidur, aku akan pulang.
Aku masih di perkampungan unik ini, hawa merinding masih menjadi jadi, banyak hal unik yang tak bisa kuungkapkan, namun ah, gadis itu memasuki pikiranku, membuatku malambung, vit, aku pasti kembali lagi menemuimu, aku tersenyum kecil, menandakan perasaanku berbunga bunga.
Lalu terdengar suara, suara itu seperti tahlilan aku mulai merinding lagi, suara menyebut nama-Nya berulang ulang, Aku coba untuk memperjelas, menambah tingkat akurasi pendengaranku, Tak salah, aku masih berpikir positif tapi Astaga! Suara itu makin keras, makin kencang, Astaga! Suara itu bukan suara tahlilan, Namun suara yang dilantunkan ketika membawa mayat orang mati! Astaga, aku merinding nafasku tercekat, setir motorku terasa berat, nafasku naik turun dadaku terasa berdetak sangat kencang, aku seperti kehilangan arah, motor tetap kupacu namun pelan.
Tiba tiba Beberapa anak kecil merunduk berjalan ke arahku, Tak melihatku, menganggapku tidak ada, Anak anak itu berpakaian rapi lengkap, dan berpeci Lalu beberapa remaja, melewatiku, berjalan agak tergesa gesa, mereka menganggapku juga tidak ada Lalu beberapa bapak bapak, berjalan dengan tergesa pula, melewatiku, melewati motorku, tak melihatku, tak menganggapku ada, Semuanya pria, tak ada wanita