Waktu pulang kerja, Yadi melihat sebuah kaca mata tergeletak di pinggir jalan yang akan dia lalui untuk pulang. Kebetulan saja sebenarnya Yadi menemukan kaca mata itu. Dia melihat kilatan cahaya dari benda di tanah yang memantul karena terkena sorot lampu mobil yang lalu lalang di jalan raya itu. Dan entah dorongan apa yang membuatnya menghentikan motornya dan memeriksa asal kilatan cahaya itu.
“Kaca mata siapa ini?” kata Yadi pada diri sendiri sambil membungkuk dan memungut benda itu. Mungkinkah terjatuh benda itu dari pemiliknya? Mungkinkah sengaja dibuang? Tanpa pikir panjang, ia taruh saja benda itu di bagasi depan motornya. Dan dia melajukan lagi motornya pelan-pelan barangkali bertemu atau berpapasan dengan orang yang sedang mencari sesuatu yang jatuh. Gelagat orang yang kehilangan sesuatu itu tampak berbeda di matanya. Namun, sampai Yadi memasuki gang rumahnya tak dia jumpai orang yang ia maksud. Dia pun masuk ke rumah dan ia ambil kaca mata itu dari motornya dan ia taruh begitu saja di meja kerjanya.
Tengah malam Yadi terbangun. Seperti biasa ketika terbangun di tengah malam rutinitasnya adalah menulis sampai kira-kira pukul setengah tiga lalu salat tahajud. Setelah itu dia lanjutkan lagi menulis sampai azan salat subuh berkumandang. Saat itulah ia mengakhiri kegiatan menulisnya. Kemudian ia akan menunaikan salat Subuh di masjid desa yang tak jauh dari rumahnya.
Dia ambil laptop dan ia mencari-cari kaca matanya. Yadi lupa menaruhnya di mana. Mungkinkah tertinggal di meja kerja di kantor? Tiba-tiba dia teringat kaca mata yang ia temukan di jalan tadi petang dan ingin mencobanya barangkali cocok dengan minus matanya.
“Astaghfirlohallazim,” ucap Yadi terkejut ketika kaca mata itu ia pakai. Ternyata kaca mata itu kaca mata yang bisa digunakan untuk melihat makhluk-makhluk yang tak kasat mata. Kaca mata ajaib, batinnya. Dan di kamarnya ternyata berdiam dua makhluk yang tak kasat mata. Ada dua tuyul di kamarnya. Pantesan uang Yadi sering hilang. Itu yang membuatnya terkejut.
“Kamu anaknya siapa?” tanya Yadi pada si tuyul. Tuyul itu diam saja tak mau menjawab pertanyaan Yadi. Dia mencari akal agar tuyul itu mau mengatakan siapa pemiliknya. Dia membujuknya dengan halus.
“Kamu mau ini?” kata Yadi sambil membawa seekor ketam dan timba berisi sedikit air. Tuyul itu tersenyum senang sekali melihat Yadi membawa hewan kesukaannya buat bermain. Dia mendekat padannya. “Mau enggak?” tanya Yadi menggodanya. Dia mengangguk. Tapi jawab dulu pertanyaanku, “Kamu anaknya siapa?” tanya Yadi. “Sarmin,” jawabnya. “Benarkah?” tanya Yadi tak percaya. Sebab orang yang disebut itu menurutnya termasuk orang yang alim. Dia tak percaya. Tapi tuyul pasti tak berbohong. “Pantes saja juragan beras itu kaya,” kata Yadi dalam hati.
Sudah satu minggu kaca mata itu di tangan Yadi. Sejak tahu keajaiban kaca mata itu, Yadi tak berniat mencari pemilik kaca mata itu. “Biarlah aku pinjam dulu,” katanya dalam hati. Yadi berpikir kaca mata itu memang dikirim untuknya. Entah siapa yang mengirimkan dia tak peduli.
Sejak memiliki kaca mata itu, Yadi rajin memeriksa setiap toko yang ada di desanya dan sekitarnya. Dia penasaran dengan cara orang-orang itu begitu cepat kaya dengan usaha dagangnya.
“Bu Min, saya mau beli beras yang bagus ada?” tanya Yadi. “Mau bramu atau 64?” jawab bu Min. “Enak mana kalau dimasak?” tanya Yadi lagi. “Katanya bramu lebih pulen dan gurih tapi nggak mau banyak air,” jawab bu Min. “Kalau 64?” tanya Yadi lagi. “Oh, itu pera. Cocok untuk nasi goreng,” jawab Bu Min. “Baiklah saya ambil Bramu saja,” kata Yadi. “Berapa kilo?” tanya bu Min. “Lima kilo saja,” jawabnya sambil merogoh uang di saku celananya. Bu Min langsung mengambil ciduk dari bekas kaleng minyak goreng dan mengambil beberapa ciduk beras di karung untuk ditimbang.
Pada saat beras itu ditimbang, Yadi memakai kaca mata itu. Yadi terkejut tapi dia berusaha tetap tenang dan bersikap sewajarnya. Ada makhluk kecil berkepala gundul yang memberati timbangan itu sehingga timbangan tampak pas ukurannya. Padahal beras yang ditaruh belum sesuai timbangannya.
Setelah membayar beras itu, aku bergegas pulang dan ingin segera menimbang ulang beras itu dengan alat timbang elektronik yang dia punya di rumah. “Pantesan cepat kaya. Ini Cuma 4,5 kg,” kata Yadi sambil mengamati angka di timbangan elektronik itu. Ya, satu lagi toko yang dia ketahui curang dengan memanfaatkan bantuan “makhluk yang tak kasat mata” itu.
Sejak kaca mata itu di tangan Yadi, dia menjadi posesif terhadap kaca mata itu. Yadi tak ingin kehilangan kaca mata itu. Yadi khawatir jika kaca mata itu dimiliki oleh orang lain akan disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Sebab sejauh ini di tangannya kaca mata itu hanya dia gunakan untuk menerawang, melihat-lihat saja tanpa menyebarluaskan informasi atau fakta yang dia dapat. Semua itu ia simpan untuk dirinya sendiri. Rahasia. Sebab ia yakin hal itu dapat membuat gaduh ataupun merugikan orang yang dia lihat dengan kaca mata itu. Semua dia simpan rapat-rapat sebagai rahasia.
Hari ini Yadi merasa badannya terasa capek sekali. Pundaknya terasa berat sekali. Yadi berobat ke dokter, namun dokter mengatakan bahwa pundaknya tidak apa-apa dan normal saja. Pada foto rontgen terlihat normal. Kata dokter dia hanya kecapekaan dan harus istirahat.
“Astaghfirlohalazim, ucap Yadi ketika dia bercermin dan tak sengaja dia pakai kaca mata itu. Di cermin tampak makhluk hitam yang besar sedang duduk di pundaknya Pantas saja pundaknya terasa berat sekali. “Turunlah,” kata Yadi. Makhluk itu tidak menjawab, malah meringis menunjukkan taring-taring giginya. Tapi Yadi tak takut. “Turunlah,” kata Yadi sekali lagi. “Aku mau turun jika kau antar ke rumahku,” jawabnya. “Baiklah, di mana rumahmu?” tanya Yadi. “Jembatan kembar,” jawabnya. Yadi terkejut.
Yadi melihat jarum jam menunjukkan pukul 23.45. WIB. Yadi mengeluarkan motornya dan berniat mengantar sesosok makhluk hitam yang minta gendong pundaknya itu. Mungkin tetangganya akan heran kemana Yadi pergi malam-malam begini sebab itu bukan kebiasaannya. Yadi jadi kuatir bertemu tetangganya yang biasanya masih melek dan cangkruk di pos kamling yang akan dia lewati.
Jembatan kembar cukup jauh dari rumah Yadi. Jembatan itu memang terkenal angker. Banyak kecelakaan terjadi di jembatan itu dan menelan korban jiwa. Ketika motorku melaju cukup kencang, tiba-tiba dua motor memepet Yadi dan menghentikannya.
“Berhenti,” bentak lelaki itu. Yadi gelagapan. Ini jelas begal yang ingin merampas motornya. Yadi terpaksa berhenti dan dua orang dari mereka berusaha merebut motornya. Yadi mempertahankan sekuat tenaganya. Tiba-tiba pundaknya terasa ringan. Makhluk yang dipundaknya itu tampak sekilas melompat ke pemotor yang di depannya yang mesin motornya tidak dimatikan. Kemudian tiba-tiba motor itu melaju kencang ke arah mobil yang berlawanan. “Braak,” terdengar tabrakan motor dan truk itu. Dan truk itu terus melaju tak berhenti.
Dan di waktu yang bersamaan pundak Yadi tiba-tiba sangat berat lagi dan dua orang yang berusaha merebut motornya menjerit kaget, kemudian jatuh pinsan seperti orang ketakutan. Rupanya makhluk hitam itu menampakkan diri di depan dua begal itu. Aku tertegun sendiri.
“Sudah, turunlah. Aku sudah mengantarmu,” kata Yadi. “Baiklah, terima kasih,” jawabnya. “Tapi kenapa kau membunuh dua orang itu?” tanya Yadi. “Keluargaku butuh makan, lagipula mereka orang jahat,” jawabnya. “Oh…” “Sudah, cepat pergi sana sebelum orang-orang datang,” kata makhluk hitam itu.
Yadi pun pergi melajukan motornya meninggalkan tempat itu. Malam semakin larut. Jalan semakin sepi dan tak ada lagi mobil yang melintas. Dua orang yang tergeletak di tengah jalan di atas jembatan kembar bersimbah darah dan tak bergerak-gerak, sementara dua orang lagi pingsan di pinggir jalan sebelum jembatan kembar itu juga belum bangun.
Paginya terjadi kegemparan di tempat itu. Orang-orang menyebut ada tabrak lari. Namun tak ada seorang pun yang mengetahui kejadian itu. Polisi tampak olah TKP. mengamankan tempat itu.
“Penunggu jembatan minta jatah,” celetuk orang-orang. “Jatah apa Kang?” tanya yang lain. “Jatah makan,” kata seseorang. “Tumbal?” tanya seseorang. “Terserahlah kau sebut apa,” sahut lainnya.
Waktu terus melaju hari semakin terang seiring mentari yang kian menampakkan wajahnya di ufuk timur. Dan orang-orang semakin banyak yang ingin melihat kejadian itu. Mobil dan motor berhenti hingga jalan macet.
Dan kaca mata itu masih di tangan Yadi sampai kini. Terkadang ingin dia buang saja ke sungai tapi Yadi masih kuatir benda itu jatuh ke tangan orang yang tak tepat. Itu jauh lebih berbahaya daripada ia yang pegang benda ajaib itu.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S