Di kegelapan hamparan aspal aku langkahkan kaki. Sesekali kepalaku berkeliling dengan mata yang meraba himpitan malam. Bulu roma terasa bangkit dari tidurnya, kala aku merasakan keanehan. Seperti ada yang sedang memperhatikanku dari jauh. Tapi nyatanya tak ada siapapun di jalanan ini.
Cahaya lampu yang tak bisa memecah keheningan menjadi terasa angker untuk kupandang. Aku beranikan diri untuk tetap melangkah di jalan ini. Walau banyak rumor yang mengatakan jalan ini angker. Benar saja, karena disamping jalan ini ada bangunan tua mirip bekas bangunan Belanda. Bau anyir dan amis terkadang suka melintas di hidung orang yang melewat di depannya.
Tak jarang sosok perempuan berambut panjang memakai daster putih terlihat sedang menyisir rambutnya di lantai dua bangunan tua itu. Sering pula terdengar suara-suara aneh yang memekakan telinga. Setiap dicari sumber suaranya, tak ada seseorang atau benda bersuara yang didapat. Seolah menjadi lagu mistis pengiring kehidupan para penghuni bangunan tua itu.
Kutarik resleting jaket sampai ke leher dan memberanikan diri untuk terus berjalan. Mulutku tak henti-hentinya berkomat-kamit karena ketakutan. Sesuatu aneh terjadi. Seperti ada yang berjalan disampingku dan menundukkan kepala persis sepertiku berjalan. Saat aku menoleh, tak ada siapa-siapa yang berdiri di sampingku.
Bulu romaku semakin jadi berdiri. Bergidig ngeri. Aku kembali berjalan. Dan kali ini aku putuskan untuk sesekali melirik kearah sampingku. Penasaran akan siapa yang sedang ingin bermain-main denganku.
Deg! Aku terdiam sejenak. Aku melihat bayanganku ada empat. Nah loh? Siapa ini? Saat aku berpaling, hanya ada lampu satu yang menerangi jalanan ini. Setahuku jika lampunya satu tidak mungkin bayangannya jadi empat gini. Saat aku melihat kembali kearah bayangan itu, bayangannya telah menghilang. Kembali normal. Kok bisa?
Aku kembali berjalan berselimut rasa takut yang masih bergelayut. Kembali. Aku merasakan ada yang berlalu di depanku dengan cepat. Setiap kulihat, tak ada siapapun.
Pandanganku kembali tertunduk, dan kini bayanganku kembali menjadi empat. Ditambah ada bayangan seorang perempuan sedang merangkulku. Tapi aku tidak merasakan ada orang yang merangkulku.
Segera kupercepat langkah kakiku, aku benar-benar menjadi bahan mainan oleh hantu-hantu penunggu bangunan tua itu.
Tak tak tak! Bayangan yang sempat menghilang kini kembali muncul. Aneh, padahal hanya ada aku disini. Tapi kenapa bayangan itu seolah berjalan tergesa-gesa saat aku berhenti?
Brum brum!! Suara aneh kembali kudengar. Seperti suara motor yang sedang digas. Saat aku edarkan pandangan, hanya kegelapan pekat yang kuraba. Mataku kembali tertuju pada bangunan tua yang jaraknya sudah lumayan jauh dariku. Dari sana, seperti banyak mata yang tertuju perhatiannya padaku.
Tak tak tak! Brak brak brak! Lagi-lagi suara itu. Aku kembali menghadap depan. Nihil. Tak ada siapapun didepanku.
Ngek ngok ngek ngok. Ceklekk! Sreekk! Aku tutup telinga. Karena takut mendengar suara-suara itu. Bayangan itu kembali hadir, bayangan itu menyerupaiku. Tapi kenapa dia melambaikan tangan? Sedangkan aku sedang menutup telinga.
Puk puk. Deg! Aku merasakan ada seseorang yang menepuk bahuku. Mulutku terus berkomat-kamit berharap aku tidak melihat rupa dari makhluk yang sedang menggangguku.
Seseorang yang ada di belakangku terus menepuk bahuku. Akhirnya aku beranikan diri untuk memalingkan muka dengan mata yang terpejam.
“Jangan ganggu aku. Jangan ganggu aku,” kata-kata itu yang selalu keluar dari mulutku.
Perlahan, aku membuka mata. Dan …
“Aaaaaaaaaa!” aku berteriak histeris.
Segera aku berlari kocar kacir meninggalkan sosok yang aneh itu. Sosok itu tak serupa dengan manusia dan tak mirip dengan binatang. Dia tersenyum ngeri padaku dengan kepala miring. Mungkin sosok itu yang sempat menggangguku tadi.
—
Setelah aku ceritakan semuanya pada Ibuku, ternyata rumor yang beredar dari mulut ke mulut itu benar. Bukan sekedar mitos belaka. Ternyata sosok yang tadi malam mengerjaiku adalah seseorang yang hidup di zaman Belanda dan mati secara mutilasi. Sampai sekarang jasadnya tidak ditemukan. Hingga akhirnya mendiami bangunan tua itu.
Semenjak itu, aku tidak pernah lagi melewati jalan itu. Biarpun aku harus memutar dan berjalan lebih jauh, tak masalah. Asalakan tak ada lagi makhluk tak kasat mata yang menggangguku. Walau terkadang suka teringat kembali sosok bayangan misterius dalam pikiranku.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana