“Imah, tolong belikan lilin di toko” teriak Ibu. Aku yang tengah sibuk mengerjakan tugas sekolah di kamar, sontak menghampiri Ibu dengan tergesa-gesa. Dari tadi siang, listrik di rumahku mati sampai matahari hampir terbenam pun tak kunjung hidup. Padahal ada banyak pekerjaan sekolah yang harus dikerjakan.
“Riwueh! Listrik mati” keluhku sambil mengambil uang yang diberikan Ibu untuk membeli lilin. “Eh, Imah tidak boleh mengeluh seperti itu. Tuhan tidak suka hambanya berputus asa” nasehat Ibu sambil mengangkat jari telunjuk padaku sebagai isyarat. Aku mengangguk pasrah lalu, meletakkan kedua tangan di telinga, satu kaki yang diangkat dan mulut yang harus membaca istighfar 33 kali. Unikkan Ibuku?. Seperti itulah kebiasaan, jika aku melakukan kesalahan tapi, membuatku kapok untuk tidak mengulanginya di depan Ibu.
Setelah melaksanakan hukuman, aku langsung bergegas pergi karena cuaca yang hampir gelap. Tak lupa aku menyalami tangan Ibu dan mengucapkan salam. “Kok, jadi takut!” gumamku sambil berfikir ragu. Tetapi karena, teriakan Ibu yang menyuruhku untuk cepat pergi, terpaksa aku harus melangkahkan kaki dengan berat.
Ketika melihat jalanan yang hampir gelap nan sunyi membuat pikiran aneh melayang di otak namun aku menangkasnya dengan berusaha tenang dan terus melangkahkan kaki. Mataku menatap penuh waspada hal sekitar dan mulutku tak berhenti berkomat-kamit, entah membaca apa? yang penting di hati meminta perlindungan kepada tuhan dari usikan setan yang laknat.
Aku mempercepat langkah kaki ketika melihat pelepah pisang seperti bayangan hitam dan seorang wanita yang baru pulang dari sawah terlihat seperti kuntilanak karena membawa karung putih yang lebih besar dari tubuhnya. “Kenapa ketika gelap semuanya nampak seperti setan” pikirku. Untungnya, toko itu tidak terlalu jauh dari rumahku jadi, tak butuh lama aku sudah melihat bayangan toko itu.
“gelap itu membuat gelisah” ucapku ketika sampai di toko. Aku memegang lutut sambil mengatur nafas yang ketinggalan di tempat tadi.
“Assalamu’alaikum” seruku namun tak ada yang menjawab. Aku semakin diusik oleh halusinasi aneh karena begitu sepi, ditambah penerangan yang minim karena hanya menggunakan patokan lilin yang hampir redup karena angin yang menerpa. Suasana ini membuatku seperti ada di film horor.
“Paman!” seruku meninggikan suara. “Halo, apa ada orang”. Aku masih belum menyerah. “Paman!” ujarku lagi. Berulang-ulang kupanggil penjual toko namun, hanya desisan hening yang kudapat. Aku pun mengambil duduk di tempat itu. “Apa aku pulang saja” pikirku sambil merengut kesal dan mulai melangkah pergi.
Baru hanya beberapa langkah, suasana sunyi langsung dipecahkan oleh suara seseorang yang membuatku terkejut. Suara itu berasal dari dalam toko. “Eh tunggu! Kamu mau beli apa Nak?. Maaf karena membuatmu nunggu lama, saya sedang salat Maghrib tadi” ucap seorang lelaki penjual toko. Aku pun membatalkan niatku untuk pulang dan menghampiri penjual itu dan bertanya. “Ada lilin?” tanyaku sedikit kesal. “Aduh Nak, lilinnya sudah habis”. Aku mendengus kesal mendengar jawaban lelaki itu dan tanpa mengucap salam, aku pergi dari tempat yang menyebalkan hatiku.
“Sepertinya gelap tak menyukaiku sedangkan aku memang tak menyukainya” gerutuku kesal sambil mengepal tangan. Melihat jalanan yang sudah sangat gelap, membuatku bulu kudukku berdiri. “Baiklah, drama pulang rumah akan lebih seru” pasrahku lalu berlari secepat mungkin sambil memejamkan mata saking takutnya.
Bruuukkk… “Upssss… siapa yang kutabrak?” pikirku sambil membuka mata. “Aaaaa…” teriakku.
Cerpen Karangan: Ummu Aminatuz Zahroh Semoga kalian menikmati.