“Lagi-lagi kau membawa mayat” “Maafkan aku” “Sudahlah, sekarang kita pikiran cara untuk mengubur mayat wanita ini” “Aku tau tempatnya” ujarnya dengan menampakkan smirk di wajahnya.
Namaku Hiraya Arabella. Aku bekerja sebagai sekretaris di perusahaan Wijaya. Umurku 26 tahun. Jika wanita lain sudah tergesa-gesa mencari pasangan pada umur segitu. Lain halnya denganku yang belum ada pikiran untuk menikah. Menikah adalah hal gila untukku. Dua orang mengucap janji suci yang nantinya juga akan ia ingkari. Sama halnya dengan kisah kedua orangtuaku.
“Hiraya, masuk ke dalam ruangan saya sekarang!” pinta bosku, Pak Aiden. “Iya Pak” jawabku. Aku memasuki ruangan Pak Aiden. Tercium aroma khas parfum yang dipakai olehnya. “Permisi Pak, ada apa ya pak?” tanyaku sopan. “Duduk!” Aku pun duduk di depannya. Meja yang cukup besar ini menjadi penghalang antara aku dan Pak Aiden.
“Apakah hari ini saya sudah tidak ada meeting penting lagi?” tanya Pak Aiden yang memandangiku dengan tajam. Entah mengapa dia selalu memandangiku seperti itu. “I-iya Pak, tidak ada meeting lagi” ucapku dengan sedikit gugup. “Oke kalau begitu. Saya akan keluar” ujarnya. Aku hanya membalasnya dengan anggukan sembari tersenyum. Dia pergi meninggalkanku sendiri di ruangannya. Segera aku juga ikut keluar dari ruangan Pak Aiden.
Sekarang sudah sore. Waktunya aku untuk pulang. Hari ini aku pulang mengendarai sepeda motor, karena mobilku masih diperbaiki di bengkel. Aku memakai helm dan melajukan sepeda motorku. Aku berniat ingin membeli makanan terlebih dahulu sebelum aku pulang ke apartemenku. Aku memarkirkan sepeda motorku di tepi jalan dan menuju warung makan yang ada di seberang jalan. Belum sampai aku di warung tersebut, tanganku ditarik oleh seseorang dan memasukkanku ke dalam mobilnya.
“Kau siapa?” teriakku. “Ini aku” dia membuka masker wajahnya. “K-kamu?” Aku mengerutkan dahiku. “Iya, sekarang kamu ikut aku” “Terus sepeda motorku gimana?” “Biar nanti diurus anak buahku” Dia menghidupkan mobilnya dan mengendarai dengan kecepatan tinggi. Aku menutup mata. Awas saja aku pulang tinggal nama.
Ternyata dia membawaku ke bangunan tua tak berpenghuni. Aku tak asing lagi dengan bangunan ini. “Bantu aku mengubur mayat ini” ucapnya. Aku menganga tak percaya, dengan mudah dia meminta hal itu seperti meminta permen padaku. “Apa kau gila hah?” ucapku sarkas. “Sudah berapa kali aku memintamu untuk tidak membunuh orang lagi” omelku. “Sudah diam kau!” “Bantu aku sekarang”
Dia mulai menggali lubang untuk mengubur mayat wanita ini. Aku mengangkat mayat itu dengan sekuat tenaga. Lagi-lagi dia merepotkanku hari ini. Setelah mayat itu dikubur, kami segera berganti pakaian dan menghilangkan bercak darah yang ada di lantai bangunan tua tersebut.
“Sudah puas kau merepotkanku hari ini?” ucapku dengan melipat tanganku ke depan dada. Bukannya membalas perkataanku, dia malah menatapku dengan tatapan horor. “Kau telah membawaku ke sini. Jadi kau harus mengantarkan aku ke apartemenku” “Iya akan kuantar”
Keesokan harinya, seperti biasa aku pergi bekerja. Bosku sedang berpersentase mengenai pekerjaannya. Semua rekan bisnis sangat kagum kepadanya. Tetapi mereka tidak mengetahui sifat asli dari Pak Aiden.
Meeting pun selesai. Aku dipanggil untuk masuk ke ruangan Pak Aiden. “Ada apa ya pak?” tanyaku sopan. “Kita bicara biasa saja, di sini aman” bisiknya. “Ada apa kau memanggilku ke sini? Apa kau meminta bantuan untuk mengubur mayat lagi?” tanyaku pelan. “Tidak” jawabnya singkat. “Lalu?” “Aku mempunyai sasaran wanita lagi” ujarnya. “Terserah, jangan libatkan aku dalam perbuatan burukmu” bentakku. “Pelankan suaramu!” dia melihatku dengan sinis sekali. Aku mendengus kesal, berdiri dengan niat akan keluar dari ruangan ini. “Berhenti atau aku bongkar semua rahasiamu” ancamnya. ‘Dasar psikopat yang semua permintaannya harus dipenuhi’ gerutuku dalam hati. “Aku bisa membaca pikiranmu. Bantu aku nanti jam 9 aku jemput” “Aku tidak mau. Kenapa kau selalu memaksaku?” tanyaku heran. “Karena kamu yang bisa aku andalkan” Aku memutar bola mataku malas. Mau tidak mau aku harus menurutinya. Aku tidak mau semua rahasiaku dibongkar olehnya.
Sekarang pukul jam 9 malam. Aku sudah mengenakan jaket hitam dan memakai topi serta masker hitam untuk menutupi wajahku. Mobil berwarna hitam berhenti di depanku. Bos psikopatku ini sudah sampai.
“Apakah kau siap malam ini?” tanyanya yang membuatku kesal. Aku berdehem. Sangatlah mubazir membuang kata-kataku untuknya. Dia tersenyum dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia selalu mengendarai dengan seperti ini, seakan-akan mengajakku untuk menuju dunia lain.
“Kita sudah sampai dan itu sasaran kita” katanya dengan menunjuk seorang wanita berambut hitam pekat, memakai baju merah dengan celana panjang berwarna hitam. “Kenapa kau ingin membunuhnya?” tanyaku dengan pelan. “Dia musuhku. Kau tidak ingat dia menghina keluarga kita dulu?” bisik Aiden. Aku mengingat-ingat. “Zea? Dia Zea?” Aku terkejut. “Bukannya dia tinggal di luar negeri ya?” “Iya, dia sekarang sudah kembali” “Sekarang waktunya kita untuk membalasku dendam keluarga kita” ujar Aiden.
Aiden mendekati wanita itu dan langsung membiusnya. Walaupun wanita itu sempat memberontak akhirnya dia pun tertidur karena bius itu. Aku khawatir kalau ada orang yang lewat. “CEPAT!” teriakku lumayan keras. Aiden memasukkan wanita itu ke dalam bagasi mobil. Kami segera pergi dari tempat tersebut dan menuju bangunan tua kemarin.
Setelahnya sampai di sana kami membawa wanita itu. Selang beberapa menit wanita itu akhirnya sadar. “Aku di mana ini?” teriak Zea histeris. “Hai lama tak bertemu ya” sambutku. “Pasti kamu sudah lupa dengan kami” sambung Aiden. “Kalian?” “Dasar adik kakak tak tahu diri!” pekik Zea dengan mata melotot. “Dih anjir diam lu” aku mendengus kesal. “Ternyata kamu masih ngeselin kayak dulu ya?”
Aiden mengambil kayu besar dengan duri tajam di permukaannya. Seperti tau apa yang akan dilakukan oleh Aiden. Zea bergerak mundur dengan perlahan. “Apa yang mau kamu lakukan?” bentak Zea. Aku menyaksikan kejadian langka ini dengan bersender pada dinding sembari melipat tanganku di depan dada. “Aku mohon jangan apa-apakan aku” mohon Zea. “Sorry, kau berhak mati sekarang” ujar Aiden. Aiden memukul kayu itu ke kepala Zea. Bukan hanya sekali dua kali, Aiden berkali-kali memukul kepala Zea yang membuat gadis itu tersungkur tak berdaya.
“Sudah Den” aku mencoba menghentikan Aiden. “Dia belum mati” “Tapi cukup, dia sudah lemah” “Tidak, dia harus mati” Satu kali lagi pukulan mendarat di kepala Zea. “Sepertinya dia sudah mati” “Ayo kita kubur sebelum memunculkan bau mayat” “Iya”
Keesokan harinya aku bangun kesiangan. Aku kelelahan karena kemarin malam. Aku juga belum melihat batang hidung Aiden. Aku memutuskan untuk pergi ke toilet karena panggilan alam yang tak tertahankan. Setelah memenuhi panggilan alam tersebut aku keluar dan betapa terkejutnya aku, Aiden menunggu di luar dengan berkacak pinggang.
“Kau?” sergahku. “Pak!” protesnya. “Eh iya, Pak” ucapku dengan menekan kata ‘Pak’. “Datanglah ke ruanganku, ada hal penting yang aku bicarakan” “Iya Pak”
Aku memasuki ruangan yang telah diperintahkan. Aku menarik kursi untuk kududuki. “Aku ingin bertanya kepadamu” “Apa?” “Kenapa kau tidak pernah datang ke rumah kita dulu? Dan memilih tinggal di apartemen sendiri” tanyanya dengan menatapku dengan serius. Aku memalingkan wajahku malas. “sudah tidak ada gunanya aku ke sana” jawabku ketus. “Dan aku juga ingin menanyakan sesuatu padamu” ucapku pelan. “Kenapa kamu selalu membunuh orang? Bahkan kadang-kadang orang yang kau bunuh itu tidak aku kenal” tanyaku balik dengan menatap matanya intens. “Itu caraku untuk meluapkan amarahku” jawabnya santai.
“Apakah kau mencintai Ibu?” “Kenapa kau menanyakan itu? Jelas saja aku mencintainya” “Jika kau mencintainya, berhenti membunuh orang” Baru pertama kalinya aku mengatakan ini kepadanya. “Kau siapa menyuruhku?” “Aku adikmu” “Sejak kapan kau menganggapku kakak?” Aku tersenyum “Tak penting aku beritahukan itu padamu. Yang terpenting kau berhenti membunuh demi Ibu kita” “Pasti dia menangis di surga melihat perilakumu yang sadis ini” sambungku.
Tanpa membalas perkataanku dia meninggalkanku. Aku tak bisa menahan air mata ini. Aku merindukan sosok Ibu yang bisa menasihati kakakku ini. Ibuku telah meninggal saat aku usia 8 tahun. Ia korban pembunuhan. Itu pun pelakunya ayahku sendiri. Peristiwa itu sangat membekas di ingatan kami. Kami sempat trauma karena itu.
Aku pulang ke apartemenku. Merebahkan diriku di sofa depan televisi sambil menonton film kesukaanku. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aku segera membukakan pintu itu. “Aiden?” aku terkejut. “Masuklah” suruhku. “Apakah seorang pendosa sepertiku pantas memasuki apartemen adiknya?” “Jangan bilang begitu, aku tetap adikmu” Dia memelukku dengan sesenggukan tangis. “Aku akan berjanji tidak membunuh lagi” Aku senang mendengar itu. “Dan aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan burukku” Aku mengerutkan dahiku. Dia melepas pelukan itu dan menatapku. “Tenang saja aku tidak akan membongkar rahasiamu” “Tapi aku terlibat kan?” “Tidak akan kubiarkan kau mendekam di penjara bersamaku” Aku terpatung bingung mau membalas apa. “Sudah ya, jaga dirimu baik-baik” “Kakak” pertama kalinya aku memanggil ia kakak dari sekian lamanya. Aku memeluknya erat dengan menangis sejadi-jadinya. Ini sungguh perih namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Dia memaksaku untuk melepaskan pelukan ini dan berlari meninggalkanku yang masih menangis. Aku mengejarnya sampai keluar apartemenku. Aku melihat ia yang menyeberang tanpa melihat kendaraan yang ada di sekitarnya. “KAK AWASS” teriakku sekeras-kerasnya.
Bruk… Ia tertabrak dan terpental jauh. Aku berlari mendekati kakak kandungku itu. Tubuhnya bersimbah darah. Aku memeluk ia dan tidak memedulikan bajuku terkena darahnya. Ia tak sadar diri. “Tolong kakakku!”
“Dia sepertinya sudah meninggal” ucap seseorang yang ada di sana. “Tidak! Kakakku tidak meninggal!” teriakku histeris. Aku langsung mengecek nafas dan detak jantung kakakku. Benar saja, tak ada hembusan nafas yang keluar dari hidungnya dan detak jantungnya seperti berhenti.
Ambulans datang dan membawa Aiden menuju rumah sakit. Aku menggenggam tangan kakakku yang terbaring tidak sadar sembari berdoa dia masih hidup.
Sesampainya di rumah sakit, Aiden diperiksa oleh dokter. Aku menunggu di luar dengan rasa khawatir yang tak karuan. Dokter ke luar dari ruangan kakakku diperiksa.
“Maafkan kami” ucapnya dengan tertunduk lesu. “apa maksudmu?” “kami sudah berusaha menyelamatkan kakakmu, akan tetapi takdir berkata lain” “apa yang terjadi?” “kakakmu sudah tiada” Aku terduduk lemah. Menangis sejadi-jadinya. Tak peduli semua mata tertuju kepadaku. Aku sudah kehilangan ibuku, sekarang kakakku. Kenapa dunia ini tidak adil kepadaku?
Cerpen Karangan: Nazwa Andiva Salsabila Blog / Facebook: Nazwa Andiva Salsabila
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com