Tangannya yang kurus mulai memunguti ceceran plastik dengan telaten. Mata elangnya tidak membiarkan satu sampah pun terlepas. Sudah menjadi keseharian Sekar untuk mengumpulkan sampah-sampah itu. Walaupun hari ini Sekar sudah membersihkan semua sampah sampai tak tersisa, besok halaman rumahnya pasti akan penuh lagi oleh warna-warni sampah plastik.
Bukan berarti Sekar senang melakukan ini. Setiap harinya, Sekar mengutuk para manusia yang dengan entengnya membuang plastik begitu saja tanpa memilahnya. Mereka bahkan tidak pikir pusing dengan akibat dari plastik yang mereka hamburkan. Contohnya seperti kampung Sekar saat ini, penuh dengan warna-warni sampah di setiap sudutnya.
Gunung-gunung sampah yang menjulang itu belum menghiasi pemandangan. Mata air masih mengalirkan air besih lagi jernih. Tanah belum tercemar gerlapan plastik. Tidak ada karung-karung berisi sampah yang memenuhi pakarangan rumah. Begitulah kiranya keadaan kampung Sekar 6 bulan yang lalu.
Sekarang, rumah-rumah warga terhiasi oleh kilauan sampah plastik. Sumber air menjadi semakin keruh dan kotor. Pola hidup masyarakat kampung pun menjadi tidak sehat. Belum lagi ditambah letak kampung yang terpencil dan sulit dijangkau. Hal ini mengakibatkan para warga sulit untuk mendapatkan bantuan maupun informasi dari luar.
Gerakan tangan Sekar terhenti ketika melihat sosok wanita yang memondong sebuah kendi, sedang berjalan cepat ke arahnya. Wajahnya terlihat kalut dan bingung. Sekar memandang ibunya dengan ekspresi bertanya. Raut khawatir kentara sekali di wajah sang ibu. Ketika Sekar ingin bertanya, wanita itu malah langsung masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. Sekar yang bingung kemudian membuntutinya masuk menuju dapur.
Dengan tangan gemetar dan wajah pucat, wanita paruh baya itu membungkus semangkuk bubur yang Sekar masak pagi ini. Sambil terbatuk-batuk ia menyerahkan bungkusan tersebut kepada Sekar. “Sekar, tante Ratih sudah tertular,” bagaikan dihantam sebuah batu, Sekar terpaku menatap sang ibu, “ini tolong kamu antarkan ke rumahnya, ya,” pintanya dengan suara yang hampir habis, karena menahan tangis. Sekar meneliti penampakan wanita yang berdiri di hadapannya itu. Kemudian mendekat dan menyentuh dahinya dengan penuh kekhawatiran. Tetapi, sang ibu memepis pelan tangannya dan membuat isyarat bahwa ia baik-baik saja.
Bagaimana Sekar tidak khawatir? Satu-satunya orang yang ia sayangi mungkin saja sedang tertular penyakit mengerikan itu. Semenjak sampah-sampah memenuhi kampung, sebuah penyakit menular menyerang para penduduk kampungnya. Awalnya orang-orang mengira ini hanyalah penyakit demam biasa. Namun, semakin lama gejalanya semakin parah dan mengerikan. Tidak seperti demam biasa yang akan sembuh dalam hitungan hari, penyakit ini tak kunjung sembuh juga walau sudah berminggu-minggu.
Hampir seluruh warga di kampungnya sudah tertular. Termasuk Ali, anak tante Ratih yang merupakan adik dari ibu Sekar. Dan sekarang sang tante juga sudah tertular. Bukan hal yang tidak mungkin jika ibunya juga ikut terjangkit. Pasalnya setiap hari sang ibu selalu menjenguk keadaan Ali dan tante Ratih. Bukannya tak mau pergi ke dokter, tapi jalan menuju kota terdekat sangat sulit untuk dilewati, dan juga jaraknya sangat jauh sehingga perlu berhari-hari untuk sampai ke kota. Para warga pun lebih memilih untuk mendatangi dukun daripada pergi ke rumah sakit atau klinik.
Dengan berat hati Sekar mengambil bubur dari tangan ibunya. Kemudian ia segera keluar dan pergi menuju rumah tante Ratih. Butuh sekitar 20 menit untuk sampai dengan berjalan kaki. Sebenarnya jarak rumah Sekar dari rumah tantenya hanya terhalang oleh tiga rumah, tetapi jarak satu rumah dengan rumah lainnya memang cukup jauh.
Sekar melangkahkan kakinya dengan lebih cepat agar segera sampai dan mengetahui keadaan sang tante. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara hantaman yang keras dari dalam rumah yang sedang ia lewati. Suara hantaman terdengar lagi, kini semakin keras disusul dengan suara teriakan dan barang-barang berjatuhan.
Sekar ingin mendekat, tetapi urung karena tiba-tiba suasana menjadi hening dan tidak terdengar apa-apa. Mungkin hanya seekor tikus atau kucing, begitu pikir Sekar. Sekar pun melanjutkan jalannya hingga sampai di depan sebuah pintu kayu yang sudah lapuk. Sekar mengetuk beberapa kali, hingga membuat seorang wanita membuka pintu dan keluar. Sekar memperhatikan wanita dengan daster merah tersebut, tubuhnya semakin kurus saja sejak terakhir kali ia melihatnya. Bibir pucatnya tersenyum ramah menyambut Sekar. Sekar menatap khawatir pada adik dari ibunya tersebut. “Tenang saja Sekar, tante baik-baik saja. Besok pasti sudah sembuh,” ujarnya menenangkan Sekar yang terlihat khawatir. Kemudian, mempersilakan Sekar masuk ke dalam rumah kecilnya.
Masih belum berubah, hal pertama yang Sekar lihat ketika memasuki rumah tersebut adalah sebuah foto hitam putih yang tergantung di dinding, menampakkan seorang berseragam tentara bersama dengan seorang wanita yang sedang menggendong bayi laki-laki. Rumah ini tidak terlalu luas, bahkan bisa dibilang sempit. Dari depan pintu masuk, Sekar bisa langsung melihat seorang pemuda yang terbaring di atas dipan.
“Sudah tiga hari ini Ali tak mau makan sama sekali,” dengan menatap sedih pada sang anak, ia mulai membuka percakapan, “kondisinya juga semakin buruk. Setiap malam ia akan bangun, berteriak kesakitan, mencakari dan melukai dirinya sendiri.” Suaranya mulai bergetar dan terisak. Sekar memandangnya dengan tatapan prihatin, kemudian mencoba menenangkan wanita berambut ikal tersebut dan memberikan bungkusan yang ia bawa. Tante Ratih mengambilnya dan berucap, “Tante mau nyiapin ini dulu, tolong jaga Ali sebentar, ya.” Sekar mengangguk setuju.
Di atas dipan yang sempit itu terbaring seorang laki-laki kurus dengan kondisi yang memprihatinkan. Ruam-ruam merah menghiasi seluruh tangan, kaki, dan tubuhnya. Luka bekas cakaran juga bertengger di bagian lengan dan lehernya. Wajahnya yang pucat terhiasi bekas-bekas luka dan ruam merah. Kalau tidak salah tadi Sekar juga melihat ruam yang sama pada tangan tante Ratih. Sekar berhenti mengamati kondisi Ali. Suara batuk masih terdengar dari arah dapur, ketika Sekar melihat mata Ali yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka.
Bukannya senang atau lega melihat Ali yang sudah siuman, Sekar justru takut karena mata Ali yang terbuka sepenuhnya berwarna putih keruh dengan pupil yang mengecil. Sekar langsung bergegas menuju dapur. Belum sempat ia memberi tau tante Ratih, suara teriakan terdengar memekakan dari tempat Ali berada. Tante Ratih dan Sekar segera berlari menghampiri Ali.
Sekar melihat tante Ratih yang berusaha mendekati Ali yang tengah berteriak histeris dan membantingi barang-barang di sekitarnya. Kendi air, piring, dan gelas yang ada di dekat dipan, pecah berserakan di lantai. Tante Ratih mendekap Ali dan memeluknya. Ali memberontak dan berteriak semakin kencang. Tangannya yang penuh ruam merah, mencakar-cakar tubuh tante Ratih. Kemudian, tante Ratih memberi isyarat pada Sekar untuk memanggil bantuan. Sekar segera berlari menuju pintu. Namun, ketika akan membuka pintu, gerakannya terhenti karena mendengar jeritan tante Ratih.
Sekar lemas seketika. Badannya gemetar ketakutan. Air mata mulai mengalir turun. Degup jantungnya berdetak sangat kencang. Isakan terdengar dari mulutnya. Di sana Sekar melihat Ali sedang menggigit leher tante Ratih dengan buas. Seperti kesetanan sampai darah terciprat kemana-mana. Tubuh tante Ratih langsung targeletak dengan darah yang menggenang, memberi warna merah pada lantai kayu rumah itu.
Sekar semakin terisak ketika bau anyir mulai memasuki penciumannya. Tatapan kosong Ali beralih dari tubuh tak bernyawa tante Ratih, menuju Sekar yang terisak ketakutan. Sekar yang sadar akan bahaya, segera bangkit dan bergegas membuka pintu. Ia melihat Ali yang berusaha mendekatinya dengan langkah terseok. Mulut sampai lehernya berlumuran darah segar. Sekar yang ketakutan langsung keluar dan menutup pintu, kemudian menahannya dengan barang apupun yang ada di sekitarnya. Sekar berjalan perlahan ke belakang. Suara teriakan bercampur geraman masih menghiasi pendengarannya. Disusul dengan suara gedoran dan cakaran pada pintu.
Sekar segera berlari dari sana menuju rumahnya. Dengan air mata yang masih deras mengalir, Sekar mempercepat larinya. Ia tak peduli lagi dengan kerikil dan ranting-ranting yang tengah menggores kakinya yang telanjang tanpa alas. Rasa perih dan rasa sesak seakan menjadi penyemangat untuk terus berlari.
Ketika Sekar hampir sampai, sialnya ia tersandung sebuah batu yang membuatnya langsung terjatuh mencium tanah. Saat akan bangun, jeritan dan pekikan terdengar dari arah seberang jalan tempat Sekar terjatuh. Di sana ada sebuah rumah, dari jendelanya terlihat seorang wanita yang berusaha keluar dari sana. Rambutnya berantakan, tubuhnya penuh luka dan bersimbah darah, ruam-ruam merah tampak pada wajahnya, mulutnya yang memekik berlumuran darah, matanya membelalak berwarna putih. Dan yang membuat Sekar gemetar ketakutan adalah ia tengah menatap Sekar dengan menggertakkan rahang, seolah ingin menggigitnya.
Sekar yang menyadari hal itu langsung berlari lagi, tanpa peduli pada lututnya yang terluka. Suara geraman masih terdengar di telinganya. Memaksa Sekar berlari lebih kencang lagi. Tetesan peluh dan air mata mengalir menjadi satu, debaran jantung yang sudah tak terkendali lagi, dan juga rasa perih di kaki menemani Sekar berlari menyusuri jalan pulang.
Pintu rumah sudah terlihat, Sekar segera mempercepat larinya. Begitu menggapai gagang pintu, ia langsung masuk dan mengunci pintu dari dalam. Dengan air mata yang kian deras dan napas yang terengah, Sekar terduduk lemas di lantai. Perutnya seperti terlilit, ia merasa pusing luar biasa saat melihat sosok sang ibu yang tergeletak pingsan. Seluruh tubuhnya penuh dengan ruam merah dan juga luka cakaran yang terlihat masih baru. Seolah seluruh oksigen di sekitarnya dirampas, Sekar merasa semakin sesak ketika melihat sang ibu membuka mata hitamnya yang berubah menjadi putih keruh.
Cerpen Karangan: Eucalyptus
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com