10 november 2015 Pagi itu kehebohan melanda warga desa jati baru. Mayat pak Mukhlis ditemukan tergeletak bersimbah darah di bagian belakang kediamannya. Anak dan istrinya menangis histeris. Sementara di tengah tengah kerumunan warga, sesosok pria berbadan tegap terlihat mengamati. Tak tampak raut kesedihan maupun rasa panik di wajahnya. Ia datang sekali lagi hanya dalam rangka memastikan kematian pak Mukhlis. Setelah yakin nyawa pak Mukhlis benar benar melayang, ia pun bergerak pergi.
Pria itu tiba di kediaman juragan Bejo; pemilik pabrik kelapa sawit yang angkuh, bengis dan miskin empati. Sudah sedari lama juragan bejo mengincar anak gadis pak Mukhlis yang bernama Ayu nirmala atau yang biasa dipanggil Mala. Daun muda itu memang cantik mempesona. Tak heran penjahat tua berhidung belang seperti juragan Bejo pun terpincut padanya.
“Fael, gimana tugasmu? Sudah selesai?” juragan Bejo bertanya kepada pria gagah yang bernama Fael itu.. “sudah pak, saya datang meminta bayaran yang telah disepakati” dengan suara beratnya ia menjawab. “ini, uang 50 juta sesuai dengan kesepakatan”
Senin, 9 November 2015 Pagi itu, Fael baru saja terbangun dari tidurnya. Belum lagi ia bangkit dari kasur, tiba tiba suara ketokan pintu tedengar. Dengan malas ia berjalan menghampiri gagang pintu dan membukanya. Di depan pintu Aceng berdiri, anak buah juragan Bejo itu memberi sebuah bungkusan kepada Fael. “El, pak Bejo menitipkan ini”. Fael mengambil bungkusan lalu menutup kembali pintu rumahnya.
Ia kembali ke kamarnya. Bungkusan yang diberikan Aceng ia buka. Didalamnya terdapat beberapa lembar kertas penuh dengan foto pak Mukhlis (kepala desa JatiBaru) di lembar terakhir juragan Bejo menitip pesan, “Fael, bangsat ini sok jual mahal, dia kira anak gadisnya seberharga itu. Cuiih… kepala desa miskin melarat seperti dia berani menghalangi kemauanku. kau sudah lama tidak beraksi bukan? 50 juta cash akan segera kubayarkan, asal aku menerima berita kematian si keparat Mukhlis.”
Fael Menghela nafas. Rasanya ia ingin menolak permintaan juragan Bejo dan berlibur lebih lama. Namun kondisi keuangan sudah mengajaknya kembali menjalankan aksi.
Ia melirik kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Senin 9 November 2015, kebetulan hari itu pak kades melalukan rapat di luar kota dan biasanya ia pulang larut malam. Mencegatnya sepulang rapat adalah langkah yang tepat. Kiranya itulah yang Fael pikirkan.
Senin malam Selasa, 9 November 2015… Rintik rintik gerimis mulai turun mendominasi gelapnya malam. Awan hitam memenuhi langit sehingga bulan dan bintang tak berkesempatan menyumbang cahayanya. Desa Jati Baru sepertinya melamun di malam itu. Jalanannya sepi dan penduduknya sudah menutup pintu rumah rumah mereka. Memang suasana gerimis dirasa tidak bersahabat.
Sementara itu Fael sudah bersiap, rencanaya sudah matang. pisau kecil yang sudah ia asah disisipkan di balik celana. Tak lupa celana panjang dan hodie hitamnya ia kenakan. Ia pun berangkat untuk memulai aksinya. Sembari menunggu kepulangan pak kades, ia nimbrung sejenak di warung kopi bersama bersama segelintir warga yang bergadang hingga larut malam.
Pukul 23:30 mobil pak kades melintas. Ia mengendarai mobil seorang diri. Sesaat setelah mobil melewati warkop, Fael beranjak dengan senyap. Para pengunjung lain sibuk dengan kartu remi mereka, sehingga keluar masuknya orang tak begitu mereka hiraukan.
Pak Mukhlis tiba, ia memarkir mobil di halaman rumah. Sebelum masuk ia mencoba memeriksa keadaan sekitar. Setelah dirasa aman ia pun memasuki rumah. Setibanya di dalam ia mendapati keluarganya sudah larut tertidur. Ia pun melanjutkan aktivitas seorang diri. Sebelum beranjak ke kamar tidur ia berniat untuk duduk duduk sejenak di sofa rumah.
Baru saja pak Mukhlis duduk dan meraih secangkir air putih yang sudah ia persiapkan. Tiba tiba ketukan pintu terdengar dari rumah bagian belakang. “Aneh, ngapain orang mengetuk pintu belakang” pikirnya. Bukan tanpa dasar, pak Mukhklis berpikir demikian karena rumah bagian belakangnya dipenuhi semak dan pepohonan. Tidak masuk akal rasanya kalau ada yang mau menemuinya melalu pintu tersebut.
Pak Mukhlis mencoba berpikir positif, ia bangkit ke arah pintu belakang dan membukanya. Didapatinya sesosok pria yang berbadan cukup besar tergeletak membelakanginya, pria itu merintih pelan meminta tolong. Ia terperanjat, bulu romanya mulai naik. “siapa gerangan orang ini” pikirnya. Tak ingin larut dalam rasa penasaran ia berniat menghampiri sosok misterius itu meskipun rasa takut memenuhi benaknya. “Mas… ada yang bisa saya bantu” tanya pak mukhlis. Tak ada jawaban yang terdengar. Pak Mukhlis pun memberanikan diri menghampiri, ia mencoba menyingkap tudung hitam yang menutupi kepala pria itu.
Belum lagi tangan pak mukhlis menyentuh badan pria tersebut, tiba tiba saja orang itu berbalik, tangan kirinya bergerak cepat menangkap tangan pak mukhlis. Sementara tangan kanannya dengan sigap melingkar di leher lalu naik membekap mulut kepala desa yang malang itu. Setelah menguasai keadaan, ia mengelurkan pisau kecil nan tajam yang tersisip dibalik celananya. Ya… Fael yang sedari tadi berlakon berniat mengakhiri muslihat serta menyelesaikan misinya. Ia pun mengunci pergerakan kepala pak kades dengan tangan kirinya. Tanpa belas kasih dan rasa bersalah leher kepala desa itu ia gor*k. Pak Mukhlis meregang nyawa, sementara Farel berdiam sejenak di tempat memastikan tugasnya sudah benar benar selesai lalu ia beranjak pergi. Pak Mukhlis yang malang pun resmi menjadi korban kesekian dari keganasan Fael si pembunuh berdarah dingin.
Fael berjalan pulang menyusuri perkebunan dengan tenangnya. Membiarkan guyuran hujan yang mulai melebat membersihkan lumuran darah yang mengalir di tangannya. Entahlah, baginya itu hanya dari sekian cerita. Baginya itu hanya satu dari sekian nyawa.
Cerpen Karangan: S.Hamdan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com