Hari-hari biasa, suasana biasa, kelas biasa, pelajaran biasa, semuanya nampak biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Daguku menempel pada meja kayu kecoklatan, sementara mataku kurang fokus menatap Bu Hilma mengajar, ah sekarang pelajaran sejarah, pelajaran yang bisa membuat beberapa orang mengantuk terutama aku.
Namun pandanganku refleks teralihkan ke sumber teriakan yang menggema disuasana kelas yang hening, netraku menyipit tak percaya. Tepat di salah satu sudut kelas, seorang gadis sedang menggigit leher teman sebangkunya, hingga darah mengalir deras. Ouh itu si Tasya, dia mungkin sedang buat prank zombie jadi-jadian, bodo amat ah, kutampar aja wajahnya!
“Eh Tasya, gak puas lu ngerjain gua pakek hantu jadi-jadian kemarin malem?” ujarku agak teriak, menghiraukan teman-temanku yang menatapnya dengan gemetar.
Tasya berhenti dari aktingnya yang seolah memakan Lola, teman sebangkunya. Dia menatapku tajam dengan bola mata busuknya, mulutnya dupenuhi liur bercampur darah, dia menggeram, borok dan retakan di setiap inci tubuhnya menambah kesan nyata dalam wujudnya sebagai zombie. ah bodo amat!
Plak… Kutampar wajahnya karena kesal, akibatnya tangan putihku dipenuhi cairan merah, bukannya berhenti si Tasya malah semakin menggeram, ini anak kurang kerjaan. Tapi tunggu dulu, cairan merah di tanganku bau anyir, jangan-jangan…
“Amel awas!” Suara teriakan memanggil namaku, bersamaan dengan tanganku yang ditarik cukup kuat, menghindari terjangan Tasya yang haus darah. tapi tarikan itu membuat kedua lenganku tak sengaja melingkari pinggang seseorang.
“Kamu gakpapa kan Mel?” tanyanya, merengkuh kedua bahuku.
Wajahku seketika merah padam ketika bertatapan langsung dengan si ketua kelas yang lebih tinggi dariku. “Cie…. cuit wiw!” seluruh kelas menjadi gaduh sebagian lagi mengumpat. “Andra modus—”
Setelah berteriak, Diki diterjang oleh Lola yang bergerak cepat. seketika Diki kaku membiarkan Lola mengigit lehernya. Suasana kembali seperti tadi, tegang, penuh kecemasan dan ketakutan. Teman-teman sekelas berhamburan keluar, sementara aku masih bersama Andra.
Tasya kini mulai bangkit lalu dengan cepat menerjangku, namun sebuah hantaman kursi dari Andra membuat Tasya ambruk.
“Kita keluar!” Andra menarik lenganku, menuju ke luar kelas. Namun di ambang pintu temanku yang telah jadi Zombie menghalangi jalan, dengan sekuat tenaga Andra melompat dan menendang mereka hingga terjengkang, pada akhirnya kami bisa keluar kelas.
Entah sejak kapan, dinding koridor dan lantai dipenuhi bercak darah, makhluk aneh itu bertambah, mereka berhamburan keluar dari setiap kelas, ah ini gawat! “Kita harus ke gerbang!” ujarku seraya berlari mendahului Andra.
Kami tiba di lapangan, beberapa zombie yang menghadang berhasil kami lewati, kini kami telah sampai di gerbang, namun sialnya gerbang ini digembok.
“Satpam telah menguncinya, mungkin kuncinya berada di TU atau wakasek, kita kesana sekarang!” Andra berucap. “Tapi bagaimana mereka?” Kumpulan zombie bergerak cepat ke arah kami, kini kami terpojok.
“Bagaimana ini?” Aku mulai panik melihat bilah tajam yang dibawa mereka. “Ikuti aku!” Andra melesat menerjang mereka hingga menimbulkan efek domino, salah satu zombie mencoba menusuknya, namun dengan gesit Andra mengelak lalu mematahkan lengan zombie sekaligus merebut pisaunya. “Jangan cuman diam aja, ikuti aku!” titah Andra selagi terus menebas untuk membuka jalan.
Berkat Andra kami berhasil keluar dari kerumunan zombie, secepatnya kami bergerak memasuki wakasek lalu memblok pintunya dengan lemari.
Aku melihat di balik gorden, ”sepertinya kita terjebak, tapi beruntungnya tak ada satupun yang tau kita disini.”
Andra menengadah melihat monitor CCTV, akupun dapat melihat kini makhluk-makhluk aneh itu berkeliaran di mana-mana, aku tak yakin masih ada yang hidup selain kami, aku mencoba menghubungi siapapun yang dapat menolong namun sayangnya di sini tidak ada sinyal, begitupun dengan Andra. “Sepertinya kita terjebak,” ujarku bingung.
Andra melangkah menuju lemari, lalu membukanya dan di sana ada seorang perempuan sedang memeluk lututnya sendiri. “Dinda?” Aku refleks mendekat dan mengeluarkannya dari lemari. “Ku kira kalian Zombie.” Dinda menghela nafas “Ternyata percobaan mereka menjadi bencana,” gumamnya. “Percobaan?” Andra mengerutkan kening. “Mereka, anak-anak 11-IPA melakukan uji coba terhadap virus berbahaya di laboratorium. Mereka sengaja menyatukan DNA bakteri jahat ke virus, hingga virus itu bermutasi, mentang-mentang jenius mereka ingin buat senjata biologis akhirnya virus itu bocor mungkin bagian terburuknya menyebar melalui udara,” jelas Dinda. “Loh itu kan ilegal! Darimana mereka dapat bahannya? Kok bisa sih sampe dibawa ke sekolah?” tanyaku terkejut ketika mendengar penjelasan Dinda. Sementara Andra menggaruk kepala ekspresinya tak dapat ditebak. “Ma—maaf ya, ini salahku. Aku membelinya dari situs rahasia pakai bitcoin hehehe…” Andra masih menggaruk kepala. “Andra!” teriaku kesal. “Apa? Dasar hacker gak guna, bikin masalah aja lu! Gak puas retas akun teman sekelas? Bisa gak sih kelebihan lo gak dipake buat nyusahin orang? Tanggung jawab lo!” Dinda mulai ngegas, emosinya akan meluap. “Lah, mana gue tau jadinya kek gini, sebagai teman gue hanya bantu mereka!” Andra membela dirinya. “Hah? Bantu bikin onar atau hancurin dunia?” teriak Dinda.
“Udah-udah.” Aku mencoba melerai mereka. “Pertama, sekarang kita cari cara supaya bisa keluar dari sini.” Mereka sejutu akhirnya kami mulai membuat rencana, intinya kami harus mencari kunci gerbang sekolah, katanya Dinda sudah memeriksanya di TU tapi dia juga belum menemukan kuncinya. Berarti kunci tersebut dibawa oleh satpam sekolah, namun kami tidak menemukannya di layar monitor CCTV tapi tidak mungkin jika kami menelusuri seluruh sekolah ini itu sama saja dengan bunuh diri.
Dugaan kami sepertinya jam segini satpamnya sedang di kantin apel ke bu kantin, yah pasti di kantin kan tidak ada CCTV jadi dengan leluasa pak satpam godain bu kantin, eh udah jadi zombie kayaknya. Kami mengambil sebuah tongkat untuk senjata dan perlahan keluar dari ruangan, sepertinya zombie di sini tidak terlalu banyak, kami dengan hati-hati melangkah di koridor dan berusaha tidak menimbulkan suara gaduh.
“Di sini bau anyir” gumamku. “Aku belum mandi tak tuk tuang tak tuk tuang…” Suara nada dering hp Andra menggema hingga zombie berdatangan.
“Lari Ipin lari hahaha!” Kini nada dering hpku yang berbunyi, ah sial kenapa harus sekarang sih? Kami lari secepat mungkin saat berlari aku sempat medengar Dinda mengumpat “Dasar pasangan konyol” tentu saja aku tidak terima, tapi masalahnya sekarang kami sedang terkepung.
“Kita lawan!” Andra melesat ke arah mereka. Dengan gesit Andra menghantam mereka dengan tongkat, namun beberapa lagi mendekat ke arahku, seketika tubuhku lemas dan gemetar, untungnya Dinda menghalau terjangan Zombie. “Jangan diam saja!” Dia membentakku. Aku mencoba memukul zombie-zombie itu meski hampir tergigit dan untungnya Dinda dengan sigap membantu.
“Ambil ini!” Andra melempar sesuatu kepadaku. Aku menangkapnya dan ternyata ini kumpulan kunci, salah satunya adalah kunci gerbang, Andra mendapatkannya dari salah satu zombie itu. kami berhasil membuka celah dan keluar dari kerumunan zombie. Kami bergerak cepat menuju ke gerbang sekolah, kini zombie-zombie yang mengejar kami bertambah banyak.
Ketika kami berada di gerbang, aku masih bingung yang mana kunci gembok gerbang? Semua kunci hampir terlihat sama, sementara kumpulan Zombie itu telah sangat dekat. Andra dan Dinda mencoba menghalau mereka sementara dengan tangan gemetar aku terus mencoba mencocokan kunci, ah kenapa sesulit ini?
“Andra!” teriak Dinda refleks aku menoleh. Aku menatap tak percaya, salah satu zombie sedang menggigit leher Andra, sesaat kemudian Dinda diterjang oleh zombie mengakibatkan dia bernasib sama dengan Andra. “Andra! Dinda!”
Kini gerbang masih terkunci mereka sekarang sangat dekat “Tidak menjauh, jangan deketin aku, enyalah kalian!”
Tiba-tiba semua gelap, aku merasakan kepalaku sakit seolah aku dilempari sesuatu, ketika kubuka mataku, seluruh teman sekelas menatapku aneh, sebagian berbisik sebagian lagi mengataiku gak jelas dan entah sejak kapan di mejaku ada penghapus papan tulis.
“Amel, udah tidur mengigau lagi, sekarang ibu minta tunggu di luar!” titah Bu Hilma.
Dengan wajah yang merah padam, aku meninggalkan ruangan dan teman sekelas menertawaiku habis-habisan, ah tapi aku bersyukur itu cuman mimpi, ini akibat bergadang nonton film kali ya?
“Hey disuruh nunggu di sini juga ya?” tanya seseorang tiba-tiba. Aku menoleh dan mendapati Andra. “Loh, kamu ngapain di sini?” “Aku lupa bawa buku, jadi ya tunggu di sini hehehe,” dia tersenyum. Seyumnya manis juga, ngomong-ngomong dia tampan, eh tunggu pikiran macam apa itu? Ini pasti efek mimpi tadi aku jadi suka kepadanya, dasar aku hahaha…
“Kamu tadi kenapa mengigau sampe nyebut namaku? Kedengeran loh sampe sini,” tanya Andra. Tunggu, apa? Ba—bagaimana bisa? Jadi aku mengigau sampe kedengaran keluar kelas? Memalukan sekali aku ini. “Masa sih?” aku tak percaya menyembunyikan panasnya wajahku yang memerah Dia menahan tawa, “Makanya kalau ngehayal itu secukupnya jangan ketinggian entar jatuh. Ngimpiin aku ya? Hihihi.” “Iya tadi aku ngimpi ada zombie di sekolah lalu kamu mati, sekarang kamu mau apa? ngejek aku!” bentakku dengan wajah semakin memerah. “Bukan itu yang aku inginkan?” “Terus?”
“Aku suka padamu boleh gak?”
Tamat
Cerpen Karangan: Miftah Wattapad: MAP171615 Facebook: Miftah Abdul Patah Hai aku Miftah, Mulai menulis sejak di bangku SMP, yah awalnya menulis itu cuman karena bikin alur buat game lama-lama jadi hobi diwaktu senggang dan kalau ada inspirasi datang sih secara tak terduga, entah itu di buku, film, anime, game, pengalaman dimanapun dan apapun selama itu menarik. Cerita yang aku tulis kebanyakan horror karena itu genre pertama yang aku kuasai, dan sekarangpun aku tau masih banyak kekurangan ditulisanku. Jadi jangan sungkan untuk memberikan saran ya dan jangan lupa kunjungi Wattpadnya 🙂
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com