Aku tidak menyangka, artefak yang hampir saja memusnahkan umat manusia, telah hancur di tanganku. Aku melihat sekelilingku. Nampaknya, semua undead yang tadinya ingin menyerangku, seketika terbakar tanpa sebab. Mereka berteriak kesakitan, yang membuat telingaku menjadi perih mendengar suara serak mereka. Undead-undead sialan itu pun akhirnya hangus menjadi abu. Yang tersisa di hadapanku adalah barang-barang laboratorium yang berserakan, beberapa darah yang menggenang di lantai ruangan, dan sebuah tubuh temanku yang tergeletak di meja percobaan.
Dia sangat membantuku dalam perlawanan dengan roh dalam artefak yang terbangun. Sepertinya, dia sangat kelelahan dan ketakutan, mungkin sekarang dia tertidur lelap. Untung saja tidak ada undead ataupun benda lain yang menyerang dia. Mungkin cara tidurnya seperti orang mati, mereka pun menganggap Levina telah mati. Undead tidak mempunyai otak yang bekerja, mana mungkin mereka dapat membedakan orang mati dengan orang yang tertidur.
Aku pun beranjak menuju tempat Levina tidur, dan menggendongnya dengan hati-hati, agar ia tidak terbangun atau pun kaget saat ia tahu kalau aku sedang mengangkat tubuhnya secara perlahan. Levina memang orang yang tidak suka digendong, namun bagaimana lagi, ia sedang tertidur lelap, aku merasa tidak enak jika membangunkannya.
Kami beranjak keluar dari laboratorium, dan berjalan melewati lorong yang gelap. Syukurlah aku masih dapat melihat keadaan, meskipun tidak terlalu jelas. Aku dapat merasakan kakiku menginjak sesuatu yang becek dan lembek. Yap, betul. Benda ini merupakan darah manusia yang mati akibat diserang oleh beberapa undead. Aku yakin, satu dari 10 mayat yang tergeletak di lorong merupakan mayat salah satu temanku yang lain. Jasanya terukir jelas di dalam hatiku, bagaimana dia melindungi kami, di saat kami terjebak dalam kumpulan undead yang mengelilingi kami. Ialah Raymond. Salah satu siswa yang paling cerdas di sekolah kami. Raymond satu kelas dengan Levina, itulah sebabnya aku mengenalnya.
Tidak sampai 2 menit, kami berdua pun akhirnya keluar dari laboratorium. Silau sinar matahari sedikit membuat mataku sakit. Sudah lama sejak kami terkena sinar matahari. Udara di sekitar cukup bau, karena banyak mayat manusia yang tergeletak di sembarang tempat. Sudah jelas hal ini diperbuat oleh sebagian undead yang bertugas untuk menyerang. Aku ingat sesuatu yang pernah ayah katakan padaku. Roh Cadaver memiliki dua jenis undead-undead bawahan. Penyerang, dan penjaga. Sesuai nama jenisnya, undead penyerang bertugas untuk menyerang manusia sesuai perintah tuannya. Sedangkan tugas bagi undead penjaga menjaga tuannya dari serangan musuh. Undead penjaga memang lebih kuat dari undead penyerang, namun jumlahnya lebih sedikit dari undead penyerang.
“Hoahmmm.. Dimana aku..?” Ucap Levina lemas. Wah, ternyata Levina sudah terbangun dari tidur lelapnya. Aku takut dia marah karena aku menggendongnya tanpa izin, hehe. “Lh-lho?! Kok aku digendong sih?? Turunkan aku sekarang!” Marah Levina. Tuh kan apa, dia bakalan marah. “Lah, kamu tadi ketiduran. Ya sudah aku gendong, lagian aku bangunin kamu nggak bangun-bangun sihh.” Ucapku. Aku menurunkan Levina dari punggungku, dan melihat dia dengan wajah merah seperti tomat. Aku tertawa kecil, aku tidak menyangka dapat melihatnya seperti itu lagi.
“Raymo- Lho, Ray dimana?” Tanya Levina. Aku terdiam. Tidak menjawab pertanyaannya. Sepertinya, lebih baik tidak kujawab agar dia tidak terlalu memikirkannya. Levina terlihat berpikir beberapa saat, dan dia pun ikut terdiam seketika, setelah mengetahui jawabannya. Air matanya hampir menetes, namun ia berusaha untuk menyembunyikannya dari penglihatanku. Ia berusaha untuk tetap tenang, dan akhirnya pun kembali normal seperti sedia kala.
“Sekarang, kita ke mana lagi Carl? Apa kita perlu menunggu tim penyelamat agar dibawa ke tempat lain? Kamu kan tahu, kota Cendrich yang kita pijaki ini tidak ada satupun orang lain selain kita.” Jelas Levina panjang lebar. Aku menghembuskan nafas. Dan tersenyum kecil kepadanya. Tiba-tiba, tanganku menjulur ke arahnya. Entah mengapa, aku merasa sangat ingin menggenggam tangannya yang lucu itu. Levina menatap ke arahku. Dia pun tertawa kecil, dan menarikku dan berjalan ke selatan. Tentu saja ku mengikutinya, lagipula aku menggenggam tangannya bukan?
“Ah sudahlah, kita jalan-jalan dulu aja deh! Sekalian nyari makanan di swalayan di dekat sana!” “Jalan-jalan aja dulu, kamu kan sudah berjuang keras demi kota Cendrich?” Lanjut Levina sambil tersenyum lebar ke arah ku. Aku hanya dapat menghela nafas. Melihat kelakuannya yang begitu aneh membuat orang lain yang memandangi terkagum. Aku pun mengikutinya berjalan, mencari beberapa tempat yang memiliki persedian bahan pangan, sambil menunggu tim penyelamat menyelamatkan kami.
Untung saja saat itu aku memperhatikan penjelasan dari ayah, mengenai artefak yang bernama Cadaver. Jika tidak, mana mungkin aku dan Levina bisa selamat dari kumpulan undead-undead tadi.
Cerpen Karangan: Puruhitatapin
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com